Selasa, 27 Maret 2012

Wali Kota Demo, Mendagri Siapkan Sanksi



Unjuk rasa yang dilakukan satu wali kota dan dua wakil wali kota untuk  menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Selasa (27/3), menunjukkan ketidaktaatan ketiganya terhadap etika pemerintahan. Selain itu, tiga kader partai politik (parpol) tertentu itu pun sepertinya tidak mengerti atau paling tidak kurang memahami sistem pemerintahan di Indonesia dan struktur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai Wali Kota Malang, Wakil Wali Kota Surabaya, dan Wakil Wali Kota Solo, semestinya Peni Suparto, Bambang DH,  dan FX Hadi Rudyatmo, menyadari bahwa mereka kini adalah pejabat negara, pejabat pemerintah, dan pejabat publik. Mereka tidak bisa lagi bertindak dengan mengedepankan kepentingan pribadi, parpol, atau kelompoknya. Mereka terikat dalam etika pemerintahan dan segala perundang-undangan yang ada, termasuk sumpah yang telah mereka ucapkan.
Sebagai pejabat pemerintah, sesungguhnya mereka tidak bisa lepas dari segala sesuatu yang telah diputuskan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan selagi keputusan itu tidak melanggar UU. Konstitusi kita secara tegas menyebutkan bahwa  “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang” (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Dengan adanya pasal itu, sesungguhnya hanya Presidenlah yang memiliki kekuasaan pemerintahan di negara ini. Tetapi, karena kekuasaan pemerintahan itu begitu luas dan kompleks, maka Presiden dibantu oleh  para menteri yang diangkatnya. Presiden juga melimpahkan kekuasaan itu kepada menteri-menterinya sesuai bidang tugas yang diemban seperti disebutan dalam pasal 17 UUD 1945 ayat (3) hasil perubahan pertama tahun 1999 yang berbunyi:  “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dan pemerintahan”.
Di samping itu, Presiden pun memberikan kekuasaan pemerintah kepada para gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (selanjutnya disebut pemerintah) dan instansi vertikal pemerintah di daerah dalam bentuk dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), serta menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan atau yang disebut desentralisasi. Selain dekonsentrasi dan desentralisasi, pemerintah juga bisa memberikan tugas pembantuan atau penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Untuk setiap penugasan atau pelimpahan/penyerahan wewenang pemerintahan itu diikuti dengan pendanaan. Semua ketentuan ini secara jelas diatur dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Meski konsitusi memberikan kekuasaan kepada daerah dalam bentuk otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Ayat (2) Pasal 18 UU 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”, bukan berarti antara bupati, wali kota, dan gubernur, tidak memiliki hubungan. Kebebasan mengatur urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan yang masih dipegang pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fisnal nasional, serta agama) itu hanya terkait dengan otonomi daerah. Tetapi, hierarki pemerintahan tetap ada. Di negara federal pun, antara negara bagian dengan pemerintah pusat masih tetap memiliki hubungan. Apalagi Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Ayat (1) Pasal 1 UUD 1945).
Karena itu, menjadi aneh ketika para kepala daerah dan wakil kepala daerah justru ramai-ramai ikut berunjuk rasa menentang kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah pusat –dan tentunya akan diputuskan dalam bentuk UU jika disetujui oleh DPR. Saya tidak setuju dengan kenaikan harga BBM karena pemerintah belum secara serius melakukan efisiensi dalam segala segi sehingga solusi kesulitan subsidi itu bisa diatasi. Meski demikian, saya juga tidak sependapat dengan langkah para pejabat pemerintah itu yang ikut ramai-ramai turun ke jalan.
Sebagai pejabat publik dan pejabat negara, seharusnya mereka menyadari betul bahwa mereka kini bukan lagi semata-mata mewakili parpol tertentu. Mereka sudah terikat dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Mereka juga harus berdiri di atas semua golongan. Karena itu, menjadi aneh jika mereka justru lebih mematuhi perintah pimpinan parpolnya ketimbang mematuhi undang-undang. Padahal, sebelum memangku jabatan publik tersebut, mereka telah mengucapkan sumpah seperti diatur dalam Pasal  110 Ayat (2) UU No 32 tahun 2004. Bunyi sumpah itu adalah “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Jadi, jika Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi mengancam akan memberikan sanksi administrasi kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berunjuk rasa menolak rencana kenaikan BBM, itu masih dalam koridor UU yang ada. “Sumpah jabatan kepala daerah, antara lain, patuh pada peraturan dan perundang-undangan. Kalau ada undang-undang, keppres, peraturan pemerintah yang mengatur soal itu (kenaikan BBM), apa boleh mereka tidak setuju? Kalau melanggar sumpah, bisa diberhentikan,” ujar menteri  yang berasal dari Solok, Sumatera Barat ini (www. waspada.co.id  26 Maret 2012).
Masalahnya, beranikah Menteri Gamawan menjatuhkan sanksi itu. Atau jangan-jangan dia hanya gertak sambal seperti yang selama ini disampaikan bosnya.  

Saya suka sambal.
Palmerah, 280312
**pro**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar