BERDASARKAN
perundang-undangan yang berlaku, hanya ada 2 pemimpin pemerintahan di Indonesia
yang bisa dipastikan akan terpilih setelah meraih dukungan mayoritas.
Kedua
pemimpin itu adalah pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
serta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sementara
ratusan pemimpin pemerintah lainnya di Indonesia bisa terpilih menjadi pemimpin
di satu daerah otonomi meski hanya meraih dukungan minoritas.
Bahkan
bisa jadi, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil
bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota yang hanya didukung oleh 20
persen pemilih pun bisa menjadi pemenang dan kemudian memimpin 80 persen pemilih yang mendukung calon lain.
Artinya,
pemimpin dengan dukungan minoritas (20 persen) –bisa dukungan parpol atau
dukungan pemilih-- akan menjadi pemimpin bagi mayoritas pemilih dan parpol yang
tidak mendukungnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Tetapi,
inilah konsekuensi dari demokrasi melalui pemilihan secara langsung yang dianut
Indonesia saat ini: minoritas memimpin mayoritas.
Pemilihan
secara langsung dan penentuan pemilih berdasarkan suara terbanyak adalah
demokrasi yang lahir dan dikembangkan di negara barat (Amerika Serikat dan
Eropa).
Demokrasi lahir di negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM, merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas (Miriam Budiardjo,2010).
Demokrasi
itu diimpor para pakar atau politisi didikan barat lalu diusulkan dan dibuat
menjadi hukum positif yang kemudian menjadi dasar ketatanegaraan di Indonesia.
Kini,
proses pemilihan kepala pemerintahan semua level, mulai tingkat tertinggi,
yakni Presiden, sampai tingkat terendah, yakni kepala desa, dipilih secara langsung.
Dasar Penentuan Calon Terpilih
Di
Indonesia sampai tahun 2014 setidaknya ada 542 daerah otonom yang pemimpinnya
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ke-542
daerah otonom itu terdiri atas:
- 34
provinsi;
- 415 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta); dan
- 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta).
- 415 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta); dan
- 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta).
Di
samping itu, ada satu pemimpin tertinggi, yakni Presiden dan Wakil Presiden,
yang juga dipilih secara langsung.
Dengan
demikian, Indonesia memiliki 543 pasangan pemimpin pemerintah yang setiap lima
tahun sekali dipilih secara langsung oleh rakyat.
Meski ada
542 daerah otonom, ternyata hanya ada satu provinsi, yaitu Provinsi DKI Jakarta,
yang penentuan pemenang pilkadanya berdasarkan perolehan suara lebih
dari 50 persen.
Pilkada
di 541 daerah otonom lainnya, penentuan pemenangnya hanya berdasarkan perolehan
suara terbanyak. Artinya, meski pasangan calon
hanya meraih 20 persen bisa ditetapkan sebagai pemenang apabila
perolehan suara calon lain di bawah 20 persen.
Penentuan
pemenang berdasarkan perolehan suara lebih dari 50 persen juga berlaku bagi
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UU No 7 tahun
2017 tentang Pemilu.
Mari kita
lihat peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar penentuan pasangan
terpilih menjadi pemimpin pemerintahan, baik pada Pemilu Presiden maupun
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pilkada
secara langsung pertama kali dilaksanakan tahun 2007 setelah lahirnya UU No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Ayat (1)
Pasal 56 UU No 32 tahun 2004 berbunyi: Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Ayat (2)
berbunyi: Pasangan calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai
politik.
Ayat (2)
ini kemudian dilakkukan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian membatalkannya dan memunculkan
kententuan adanya calon independen (calon yang tidak diusung oleh parpol) pada
Pilkada.
Calon
independen pertama kali ikut pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 yang
dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Mayjen (Purn) Prijanto.
Penentuan pemenang pada rezim pertama
pilkada secara langsung ini diatur dalam Pasal 107 UU No 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
pemenang Pilkada adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50
persen.
Apabila
tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen,
maka pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen ditetapkan
sebagai pemenang.
Apabila tidak ada yang memperoleh suara lebih dari
25 persen, maka dilakukan pemilhan tahap kedua.
Artinya, rezim pertama pilkada secara langsung
mewajibkan pemenang pilkada adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50
persen (jika ada) atau lebih dari 25 persen.
Dalam perkembangannya, lahir rezim pilkada tahap dua
yang memunculkan istilah Pilkada secara serentak.
Pilkada
serentak dimulai tahun 2015 yang diatur berdasarkan UU No 1 tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-undang.
UU No 1
tahun 2015 kemudian diubah lagi menjadi UU No 8 tahun 2015 tentang Perubahan
atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
Tahun 2015, pilkada serentak dilaksanakan di 269
daerah otonom. Ke-269 daerah otonom itu terdiri atas 8 provinsi, 170 kabupaten,
dan 26 kota.
Tahun 2016, kembali dilakukan perubahan terhadap
UU yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Lahirlah UU No 10 tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
UU ini menjadi dasar Pilkada serentak tahun 2017
dan 20018. Pilkada 2017 dilaksanakan di
101 daerah otonom pada 15 Februari 2017.
Ke-101 daerah otonom itu
terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten atau khusus bagi daerah yang
akhir masa jabatan kepala dan wakil kepala daerahnya antara Juli 2016 dan
Desember 2017.
Pilkada serentak 2018 digelar pada Rabu 27 Juni 2018 di 171 daerah
otonom.
Ke-171 daerah otonom tersebut terdiri atas 17
provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Pada pelaksanaan pilkada serentak, baik yang
dimulai tahun 2015, 2017, dan 2018, pemenangnya adalah mereka yang meraih suara
terbanyak, tanpa disebutkan besarnya. Ketentuan itu diatur dalam UU No 1 tahun
2015, UU No 8 tahun 2015, dan UU No 10 tahun 2016.
Ayat (1) Pasal 109 UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur
dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai
pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Pasal 107 UU No 10 tahun 2016 berbunyi: Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh
suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati
terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.Ayat (1) Pasal 109 UU No 10 tahun2016 berbunyi:Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Pilkada di DKI Jakarta yang berstatus sebagai Daerah Khusus Ibu Kota.
Penentuan pemenang Pilkada Jakarta diatur dalam UU tersendiri, yakni UU No 29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.
Pasal 11 UU No 29 tahun 2007 menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Meski penentuan pemenang pilkada berbeda-beda, syarat pencalonannya tetap sama, yakni parpol atau gabungan parpol peraih 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu dan calon independen.
Dengan demikian, di setiap daerah otonom sangat
mungkin muncul lima pasang calon yang berasal dari parpol (masing-masing
didukung oleh 20 persen parpol peraih kursi DPRD) dan sejumlah calon
independen. Andai saja ada 6 pasang calon, maka secara teori perolehan suara
masing-masing calon bisa hanya di bawah 20 persen.
Dengan sistem peraturan perundang-undangan
seperti itu, maka hanya ada satu daerah otonom dari 542 daerah otonom di
Indonesia yang pemimpinnya dinyatakan sebagai pemenang pilkada setelah meraih
dukungan lebih dari 50 persen suara sah di daerah itu. Daerah tersebut adalah
Provinsi DKI Jakarta.
Karena itu, hanya Pilkada di DKI Jakarta pula
yang memungkinkan terjadinya pilkada putaran kedua karena untuk mendapatkan
dukungan suara lebih dari 50 persen.
Dengan dukungan suara yang besar ini, secara
politik gubernur/wagub mempunyai
legitimasi politik yang kuat pula.
Kepercayaan dan dukungan politik rakyat yang
lebih besar dari 50 persen itu lah yang menjadi salah satu faktor Gubernnur DKI
Jakarta pada era Joko Widodo dan dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama berani
berseberangan dengan DPRD DKI.
Ahok dalam beberapa kali pernyataan secara tegas
berani melakukan itu karena didukung oleh mayoritas warga DKI Jakarta yang
memilihnya.
Sementara 541 daerah lain yang pemenangnya hanya
ditentukan mereka yang meraih suara terbanyak, maka sangat mungkin –dan pada
umumnya memang demikian—pemimpin terpilih akan memimpin mayoritas warga
(pemilih) yang tidak memilihnya.
Dengan demikian, secara riil legitimasi dan
dukungan politiknya pun tidak akan sekuat kepala daerah yang meraih suara lebih
dari 50 persen.
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang hanya
didukung oleh minoritas pemilih (tidak sampai lebih dari 50 persen) di satu
daerah, maka setelah menjabat dia akan berusaha mencari dukungan politik kepada
anggota DPRD.
Dukung DPRD lebih dibutuhkan daripada rakyat karena
dewanlah yang memiliki kekuasaan secara
legal formal untuk memengaruhi secara langsung keputusan atau kebijakan
eksekutif.
Rakyat yang ketika pemilu dicari-cari karena
dibutuhkan suaranya, begitu selesai penghitungan suara maka tak lagi
diperhatikan. Tak ada mekanisme secara formal yang memberikan kekuasaan kepada
rakyat untuk mencabut atau membatalkan kontrak di tengah jalan apabila pemimpin mereka tak menepati janji-janjinya.
Pakar kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Prof Taliziduhu
Ndraha menyebut dari tiga subkultur (subkultur kekuasaan/SKK, subkultur
ekonomi/SKE, dan subkultur sosial/SKS) dalam proses pemerintahan, maka SKS
adalah subkultur yang paling lemah dan paling tak berdaya menghadapi SKE dan
SKK.
SKS atau warga negara hanya dibutuhkan dan
benar-benar ‘menjadi pemegang kedaulatan’ saat menjelang pemilu/pilkada, tetapi
kemudian menjadi korban tak berdaya dan tak lagi berdaulat begitu penghitungan
suara selesai.
Tokoh SKS yang seharusnya berada di garis depan
memperjuangkan aspirasi warga, langsung berubah orientasi begitu menyeberang
dan berperan sebagai SKE (pengusaha) dan SKK (pemegang kekuasaan, pejabat publik).
Tetapi, inilah konsekuensi dari rezim pilkada
secara langsung yang mengadopsi demokrasi ala barat.
Ir Soekarno, proklamator dan salah satu pendiri
bangsa ini, sudah sejak dini mengingatkan kita untuk tidak meniru demokrasi ala
barat tersebut.
Bagi Bung Karno, ketika bicara demokrasi saat
merumuskan Pancasila, demokrasi Indonesia adalah demokrasi perwakilan,
permusyawaratan, dan mufakat. Dan yang
lebih penting, demokrasinya tidak hanya sebatas pada politik, tetapi haruslah
menyejahterakan rakyat Indonesia. Tetapi, semua itu masih sebatas utopia yang ada
di awang-awang.