Selasa, 26 Juni 2018

Pilkada Langsung: Lahirkan Rezim Penguasa Minoritas dengan Dukungan Sedikit Parpol

Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup! Ir Soekarno, 1 Juni 1945.



BERDASARKAN perundang-undangan yang berlaku, hanya ada 2 pemimpin pemerintahan di Indonesia yang bisa dipastikan akan terpilih setelah meraih dukungan mayoritas.

Kedua pemimpin itu adalah pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Sementara ratusan pemimpin pemerintah lainnya di Indonesia bisa terpilih menjadi pemimpin di satu daerah otonomi meski hanya meraih dukungan minoritas.

Bahkan bisa jadi, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota yang hanya didukung oleh 20 persen pemilih pun bisa menjadi pemenang  dan kemudian memimpin 80 persen pemilih yang mendukung calon lain.

Artinya, pemimpin dengan dukungan minoritas (20 persen) –bisa dukungan parpol atau dukungan pemilih-- akan menjadi pemimpin bagi mayoritas pemilih dan parpol yang tidak mendukungnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada).

Tetapi, inilah konsekuensi dari demokrasi melalui pemilihan secara langsung yang dianut Indonesia saat ini: minoritas memimpin mayoritas.

Pemilihan secara langsung dan penentuan pemilih berdasarkan suara terbanyak adalah demokrasi yang lahir dan dikembangkan di negara barat (Amerika Serikat dan Eropa). 

Demokrasi lahir di negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM, merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas (Miriam Budiardjo,2010).

Demokrasi itu diimpor para pakar atau politisi didikan barat lalu diusulkan dan dibuat menjadi hukum positif yang kemudian menjadi dasar ketatanegaraan di Indonesia.

Kini, proses pemilihan kepala pemerintahan semua level, mulai tingkat tertinggi, yakni Presiden, sampai tingkat terendah, yakni kepala desa, dipilih secara langsung.

Dasar Penentuan Calon Terpilih

Di Indonesia sampai tahun 2014 setidaknya ada 542 daerah otonom yang pemimpinnya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Ke-542 daerah otonom  itu terdiri atas:
- 34 provinsi;
- 415 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta); dan
- 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta).

Di samping itu, ada satu pemimpin tertinggi, yakni Presiden dan Wakil Presiden, yang juga dipilih secara langsung.

Dengan demikian, Indonesia memiliki 543 pasangan pemimpin pemerintah yang setiap lima tahun sekali dipilih secara langsung oleh rakyat.

Meski ada 542 daerah otonom, ternyata hanya ada satu provinsi, yaitu Provinsi DKI  Jakarta,  yang penentuan pemenang pilkadanya berdasarkan perolehan suara lebih dari 50 persen.

Pilkada di 541 daerah otonom lainnya, penentuan pemenangnya hanya berdasarkan perolehan suara terbanyak. Artinya, meski pasangan calon  hanya meraih 20 persen bisa ditetapkan sebagai pemenang apabila perolehan suara calon lain di bawah 20 persen.

Penentuan pemenang berdasarkan perolehan suara lebih dari 50 persen juga berlaku bagi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Mari kita lihat peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar penentuan pasangan terpilih menjadi pemimpin pemerintahan, baik pada Pemilu Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan tahun 2007 setelah lahirnya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Ayat (1) Pasal 56 UU No 32 tahun 2004 berbunyi:  Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ayat (2) berbunyi: Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Ayat (2) ini kemudian dilakkukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian membatalkannya dan memunculkan kententuan adanya calon independen (calon yang tidak diusung oleh parpol) pada Pilkada.

Calon independen pertama kali ikut pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Mayjen (Purn) Prijanto.

Penentuan pemenang pada rezim pertama pilkada secara langsung ini diatur dalam Pasal 107  UU No 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pemenang Pilkada adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen.

Apabila   tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen ditetapkan sebagai pemenang.

Apabila tidak ada yang memperoleh suara lebih dari 25 persen, maka dilakukan pemilhan tahap kedua. 

Artinya, rezim pertama pilkada secara langsung mewajibkan pemenang pilkada adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (jika ada) atau lebih dari 25 persen.

Dalam perkembangannya, lahir rezim pilkada tahap dua yang memunculkan istilah Pilkada secara serentak.

Pilkada serentak dimulai tahun 2015 yang diatur berdasarkan UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

UU No 1 tahun 2015 kemudian diubah lagi menjadi UU No 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

Tahun 2015, pilkada serentak dilaksanakan di 269 daerah otonom. Ke-269 daerah otonom itu terdiri atas 8 provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota.
Tahun 2016, kembali dilakukan perubahan terhadap UU yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Lahirlah UU No 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
UU ini menjadi dasar Pilkada serentak tahun 2017 dan 20018. Pilkada 2017  dilaksanakan di 101 daerah otonom pada 15 Februari 2017.
Ke-101 daerah otonom itu terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten atau khusus bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala dan wakil kepala daerahnya antara Juli 2016 dan Desember 2017.
Pilkada serentak 2018  digelar pada Rabu 27 Juni 2018 di 171 daerah otonom.
Ke-171 daerah otonom tersebut terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Pada pelaksanaan pilkada serentak, baik yang dimulai tahun 2015, 2017, dan 2018, pemenangnya adalah mereka yang meraih suara terbanyak, tanpa disebutkan besarnya. Ketentuan itu diatur dalam UU No 1 tahun 2015, UU No 8 tahun 2015, dan UU No 10 tahun 2016.
Ayat (1) Pasal 109 UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Pasal 107 UU No 10 tahun 2016 berbunyi: Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.

Ayat (1) Pasal 109 UU No 10 tahun2016  berbunyi:Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.

Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Pilkada di DKI Jakarta yang berstatus sebagai Daerah Khusus Ibu Kota.

Penentuan pemenang Pilkada Jakarta diatur dalam UU tersendiri, yakni UU No  29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. 

Pasal 11 UU No 29 tahun 2007  menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Pemegang Kedaulatan yang Tak Lagi Berdaulat

Meski penentuan pemenang pilkada berbeda-beda, syarat pencalonannya tetap sama, yakni parpol atau gabungan parpol peraih 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu dan calon independen.
Dengan demikian, di setiap daerah otonom sangat mungkin muncul lima pasang calon yang berasal dari parpol (masing-masing didukung oleh 20 persen parpol peraih kursi DPRD) dan sejumlah calon independen. Andai saja ada 6 pasang calon, maka secara teori perolehan suara masing-masing calon bisa hanya di bawah 20 persen.
Dengan sistem peraturan perundang-undangan seperti itu, maka hanya ada satu daerah otonom dari 542 daerah otonom di Indonesia yang pemimpinnya dinyatakan sebagai pemenang pilkada setelah meraih dukungan lebih dari 50 persen suara sah di daerah itu. Daerah tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta.
Karena itu, hanya Pilkada di DKI Jakarta pula yang memungkinkan terjadinya pilkada putaran kedua karena untuk mendapatkan dukungan suara lebih dari 50 persen.
Dengan dukungan suara yang besar ini, secara politik gubernur/wagub mempunyai  legitimasi politik yang kuat pula.
Kepercayaan dan dukungan politik rakyat yang lebih besar dari 50 persen itu lah yang menjadi salah satu faktor Gubernnur DKI Jakarta pada era Joko Widodo dan dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama berani berseberangan dengan DPRD DKI.
Ahok dalam beberapa kali pernyataan secara tegas berani melakukan itu karena didukung oleh mayoritas warga DKI Jakarta yang memilihnya.
Sementara 541 daerah lain yang pemenangnya hanya ditentukan mereka yang meraih suara terbanyak, maka sangat mungkin –dan pada umumnya memang demikian—pemimpin terpilih akan memimpin mayoritas warga (pemilih) yang tidak memilihnya.
Dengan demikian, secara riil legitimasi dan dukungan politiknya pun tidak akan sekuat kepala daerah yang meraih suara lebih dari 50 persen.
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang hanya didukung oleh minoritas pemilih (tidak sampai lebih dari 50 persen) di satu daerah, maka setelah menjabat dia akan berusaha mencari dukungan politik kepada anggota DPRD.
Dukung DPRD lebih dibutuhkan daripada rakyat karena  dewanlah yang memiliki kekuasaan secara legal formal untuk memengaruhi secara langsung keputusan atau kebijakan eksekutif.
Rakyat yang ketika pemilu dicari-cari karena dibutuhkan suaranya, begitu selesai penghitungan suara maka tak lagi diperhatikan. Tak ada mekanisme secara formal yang memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk mencabut atau membatalkan kontrak di tengah jalan apabila  pemimpin mereka tak menepati janji-janjinya.
Pakar kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Prof Taliziduhu Ndraha menyebut dari tiga subkultur (subkultur kekuasaan/SKK, subkultur ekonomi/SKE, dan subkultur sosial/SKS) dalam proses pemerintahan, maka SKS adalah subkultur yang paling lemah dan paling tak berdaya menghadapi SKE dan SKK.
SKS atau warga negara hanya dibutuhkan dan benar-benar ‘menjadi pemegang kedaulatan’ saat menjelang pemilu/pilkada, tetapi kemudian menjadi korban tak berdaya dan tak lagi berdaulat begitu penghitungan suara selesai.
Tokoh SKS yang seharusnya berada di garis depan memperjuangkan aspirasi warga, langsung berubah orientasi begitu menyeberang dan berperan sebagai SKE (pengusaha) dan SKK (pemegang kekuasaan, pejabat publik).
Tetapi, inilah konsekuensi dari rezim pilkada secara langsung yang mengadopsi demokrasi ala barat.
Ir Soekarno, proklamator dan salah satu pendiri bangsa ini, sudah sejak dini mengingatkan kita untuk tidak meniru demokrasi ala barat tersebut.
Bagi Bung Karno, ketika bicara demokrasi saat merumuskan Pancasila, demokrasi Indonesia adalah demokrasi perwakilan, permusyawaratan, dan  mufakat. Dan yang lebih penting, demokrasinya tidak hanya sebatas pada politik, tetapi haruslah menyejahterakan rakyat Indonesia. Tetapi, semua itu masih sebatas utopia yang ada di awang-awang.