Sabtu, 25 Agustus 2012

Rp 400.000 untuk Kunjungi Alcatraz Indonesia


BAGI sebagian besar masyarakat Indonesia, Nusakambangan dikenal sebagai tempat yang menjeramkan. Di sinilah penjara untuk penjahat kelas kakap. Para narapidana kasus pembunuhan berencana, pembunuhan berantai, teroris, koruptor, sampai bandar narkoba ada di pulau yang membentang di selatan Pulau Jawa dan terletak di Kabupaten Cilacap ini. Pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia menjadikan pulau ini sebagai pulau penjara sehingga penguasaannya sampai kini masih di bawah Kementerian Hukum dan HakAsasi Manusia.
Selama ini ada sebutan yang salah kaprah, yakni tentang istilah Penjara (atau Lembaga PemasyarakatanNusakambangan. Sesungguhnya, nama lembaga pemasyarakatan (LP) itu tidak ada. Dulu, di pulau yang memiliki luas 121 kilometer persegi itu terdapat sembilan LP. Tetapi, kini tinggal tujuh LP, yaitu LP Batu, LP Kembang Kuning, LP Narkoba, LP Terbuka, LP Permisan, LP Besi, dan LP Pasir Putih.
Dari tujuh LP itu, hanya satu LP yang dibangun di era reformasi, yakni LP Pasir Putih. LP dengan pendapatan super maximum security ini terletak di ujung barat/selatan Pulau Nusambangan, di dekat Pantai Pasir Putih. Pantai yang langsung berhadapan dengan laut lepas (Samudera Indonesia) ini adalah tempat pembaretan atau pelantikan anggota Kopassus TNI AD setelah dinyatakan lulus pendidikan dasar.
Tahun 2004, penulis mengunjungi LP ini ketika dalam tahap pembangunan. Di dekat LP itu terdapat LP Permisan (tertua, dibangun 1908). Beberapa LP lain, seperti LP Batu dibangun 1929 dan LP Kembang Kuning 1950. LP Terbuka hanya diperuntukkan bagi para napi yang sudah menjalani masa hukuman lebih dari 2/3 dan dinyatakan ‘jinak’. Para napi itulah yang dibolehkan berjualan batu cincin hasil kerajinan napi kepada para pengunjung Pulau Nusakambangan.
Salah seorang kepala LP kepada penulis beberapa waktu lalu mengatakan, pendekatan yang dilakukan di LP yang ada di Nusakambangan pada umumnya pendapatan keamanan. Hal ini karena para napi yang dikirim ke LP di pulau ini pada umumnya adalah napi-napi ‘juara’ dari sejumlah LP kelas satu, seperti LP Cirebon, LP Cipinang, dan sejumlah LP di Pulau Sumatera. Karena itu, mereka itu ‘dinyatakan’ tak lagi mempan menggunakan pendepatan yang lebih ‘santun’.
Untuk mengunjungi pulau yang juga dijuluki sebagai Alcatraz-nya Indonesia itu tidaklah mudah. Harus jelas maksud dan tujuannya dan harus pula memiliki izin tertulis dari Menteri Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan. Izin tertulis itu pun harus ditembuskan kepada petugas LP di Pelabuhan  Sodong, pelabuhan khusus yang dioperasikan oleh Ditjen Lapas Kemenhum dan HAM.
Hanya melalui pelabuhan inilah keluar masuk para napi dan keluarga serta tamu lain yang akan berkunjung ke sejumlah LP hingga ke Pantai Pasir Putih. Ada beberapa pelabuhan lain yang dikuasai Pertamina, perusahaan semen, dan pelabuhan untuk mendarat perahu-perahu kecil untuk pariwisata yang terletak di sisi utara/timur Pulau Nusakambangan.
Pulau Alcatraz adalah sebuah pulau yang terletak di tengah Teluk San Francisco di California, Amerika Serikat. Dulu, Alcatraz merupakan benteng pertahanan militer dan kemudian dijadikan penjara super maximum security. Kini pulau ini menjadi situs sejarah yang dikelola oleh Dinas Pertamanan Nasional AS sebagai Tempat Rekreasi Nasional Golden Gate dan dibuka untuk wisatawan.
Apakah tidak ada cara khusus untuk menyeberang ke Nusakambangan dengan membawa mobil melalui Pelabuhan Sodong? Pada Lebaran 1433 H ini, Ditjen Lapas memberikan kemudahan bagi masyarakat umum yang ingin berwisata ke Pantai Pasir Putih. Caranya, sediakan uang Rp 400.000 untuk satu mobil berikut isinya.
“Jadi sistem paket Pak. Satu mobil bayar Rp 400.000 untuk ongkos penyeberangan pulang balik. Di sana bisa melihat beberapa tempat wisata, paling terkenal Pantai Pasir Putih,” ujar seorang petugas penyeberangan.  Bagi keluarga napi, katanya, gratis. Tetapi, penulis melihat beberapa di antara mereka memberikan amplop ketika meninggalkan pelabuhan itu seusai membesuk keluarga.
Kebijakan wisata Pulau Nusakambangan itu berlaku sejak Lebaran hingga seminggu ke depan atau Minggu (26/8). Jadwal keberangkatan kapal paling pagi dari Pelabuhan Sodong sekitar pukul 08.00 dan jadwal kembali paling terakhir pukul 18.30. Jalan yang membentang dari pelabuhan hingga ke Pantai Pasir Putih diaspal hotmik. Waktu tempat sekitar 30 menit.
Pihak pengelola LP di Pulau Nusakambangan tidak menyediakan kendaraan bagi para wisatawan. Karena itu, hanya wisatawan yang bermobil yang bisa berkunjung atau melihat dari sisi luar penjara-penjara tersebut. “Kendaraan hanya untuk keluarga napi,” ujar petugas tersebut.
Silakan yang ingin menikmati Pantai Pasir Putih dan melihat penjara tempat Amrozi dan Imam Samudera serta Tommy Soeharto dipenjara.
Palmerah, 25082012
**pro**

Kamis, 16 Agustus 2012

Merdeka Itu Ya Mudik!








BANYAK cara memaknai kemerdekaan. Tak sedikit pula kiat menjelaskan arti kemerdekaan. Tak ada yang salah. Begitu pun tak ada yang bisa mengklaim pendapatnyalah yang paling benar dan kontekstual. Semua tergantung siapa dan dari sudut mana dalam melihat kemerdekaan itu sendiri.  Tentu juga tergantung dengan kondisi dan posisinya saat ini.
Di sudut-sudut jalan di Jakarta kini bertebaran spanduk berisi tentang pemaknaan Kemerdekaan Ke-67 RI. Di sejumlah media massa, para politisi dan pimpinan berbagai organisasi beriklan atau berkomentar hal serupa.  Di berbagai pertemuan, para tokoh masyarakat berbicara dan mencoba mengaitkan kebebesan, kemerdekaan, Ramadan, dan Idul Fitri.
Sebuah spanduk yang dipasang oleh salah satu partai politik (parpol) mencoba mengaitkan kemerdekaan dengan Lebaran. “Kemerdekaan adalah Fitrah Manusia.” Demikian tulisan di spanduk itu. Ada juga yang mencoba mengartikan kemerdekaan dengan kerja keras, kemerdekaan adalah hak manusia yang paling hakiki, sampai pada berkesimpulan, kemerdekaan dalam kaitan bulan Ramadan bermakna kemerdekaan dari kendali hawa nafsu dan diperalatan oleh bisik-bisik syetan.
Sekali lagi, semua itu boleh-boleh saja. Tetapi, adakah yang berpikir dan berpendapat lain? Simak arti kemerdekaan yang diungkapkan dan diekspresikan oleh Wiwi (19). Perempuan pekerja rumah tangga  ini mengartikan kemerdekaan kali ini adalah bisa mudik Lebaran lebih cepat. Tahun-tahun sebelumnya, ia baru diizinkan pulang kampung oleh majikan di tempatnya bekerja tiga hari sampai seminggu sebelum Hari Raya. Kebiasaan itu sudah berjalan paling tidak dua tahun. Tetapi, kali ini, ia pulang ke kampungnya di Cilacap, Jawa Tengah, 15 hari sebelum Idul Fitri.
“Enak. Bisa santai dan puas main sama temen-temen  di kampung,” ujarnya memberi alasan. Meski diizinkan mudik lebih cepat, hak yang ia dapat tidak berkurang, bahkan sedikit lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Ia tetap memperoleh satu bulan Tunjangan Hari Raya (THR), gaji bulanan, uang transport dari sang nyonya dan ditambahi pula oleh sang tuan, biskuit dan sirop untuk berlebaran, serta kue dan makanan untuk berbuka puasa dalam perjalanan.
Tak lupa, ia juga membawa satu tas tangan berisi peralatan make up, sabun, dan dompet, satu ransel berisi pakaian, satu kardus untuk sepatu dan sandal-sandal, dan handuk , serta dua kaleng biskuit dan tiga botol sirop yang dibiarkan dibungkus tas plastik (kresek) bermerek sebuah pusat perbelanjaan.  Tak ketinggalan, dua handphone (HP) kaya fitur mirip smart HP merek kenamaan. Tapi, HP si Mbak ini buatan lokal. Meski demikian, alat komunikasi itu tak hanya bisa digunakan untuk menelepon dan kirim SMS, tetapi juga untuk mendengarkan musik, memotret, serta tersedia berbagai fasilitas internet dan media sosial. Untuk yang terakhir, Wiwi masih mengaku ‘gaptek’ alias gagap teknologi.
Berbekal itu semua serta dengan berpakaian kaos dan celana ketat serta sepatu kets berwarna pink, Wiwi benar-benar menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Begitu sampai di terminal bus, meski berdesak-desakan, dia tetap happy dan  merdeka yang sesungguhnya. Bila selama ini, ketika sedang bekerja, ia selalu menerima perintah, kali ini ia berperan sebaliknya. Jari telunjuk yang selama ini bisa dibilang tak pernah digunakan, sekarang ia manfaatkan untuk menunjuk barang bawaannya. Kepada kernet bus, dia menyuruhnya untuk membawakan tas dan kardus.
Apa yang dirasakaan Wiwi pada umumnya juga dirasakan oleh para perempuan lain yang  bekerja di perumahan (PRT). Begitu tiba di terminal, stasiun, atau pelabuhan dan bertemu dengan teman-teman sekampungnya, mereka benar-benar merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Sekaranglah saatnya mereka ganti peran menjadi ‘majikan’. Mereka bisa menyuruh atau meminta tolong kepada tukang kuli panggul, petugas porter, kernet bus, atau calo angkutan untuk membantu mengurus keperluannya; bisa mengangkat barang, menunjukkan tempat duduk, atau lainnya.
Mereka tak mau dipusingkan oleh perdebatan  para politisi, pejabat, tokoh masyarkat, pimpinan organisasi, atau para aktivis lembaga swadya masyarakat tentang arti dan makna setiap tujuh belas Agustus. Kebebasan atau kemerdekaan yang sesungguhnya  hanya  mereka rasakan setahun sekali, ketika mudik Lebaran! Di luar itu, mereka seperti selalu dalam pengawasan. Karena itu, saya sangat prihatin jika masih saja ada pejabat yang ketika mengunjungi terminal atau stasiun berbicara, “Kenapa sih mau bersusah-susah, berdesak-desakan di angkutan umum, atau mengeluarkan uang banyak setiap tahun untuk mudik?” Pejabat seperti ini hanya melihat sesuatu dari posisinya yang mungkin setiap saat bisa bepergian ke mana saja dengan anggaran negara.  Dia mesti belajar ‘bisa merasa’ bukan hanya ‘merasa bisa’
Ini cerita kemerdekaan ku, apa ceritamu?
**pro**
Palmerah, 16082012