Senin, 25 April 2016

Pemimpin Pemerintahan dan Pengejar Citra dengan Segala Cara



ADA tiga perbedaan mendasar antara kegiatan pemerintahan dan kegiatan bisnis sebagaimana dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler dalam Reinventing Government. Salah satu dari tiga perbedaan itu adalah terkait dengan kepemimpinan. Seorang pemimpin bisnis, kata Osborne dan Gaebler, didorong oleh motivasi untuk mengumpulkan laba sebesar-besarnya, sedangkan pemimpin pemerintahan didorong oleh keinginan untuk dapat dipilih kembali.

Karena itu, pemimpin pemerintahan –apalagi yang lebih dominan berperan sebagai pemimpin politik— akan menggunakan berbagai cara supaya popularitasnya dan tingkat elektabilitasnya tetap tinggi. Pemimpin seperti ini biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pencitraan melalui berbagai kebijakan maupun statemen yang ia lakukan. Kebijakan publik dan permasalahan yang sebenarnya simpel jika masih menjadi sorotan media, akan terus ‘diolah’ untuk memainkan dan menciptakan persepsi publik yang positif.

Pada umumnya, pemimpin seperti ini juga didukung oleh tim pencitraan yang kuat. Tim pencitaraan tidak hanya berasal dari lingkungan pemerintahan, tetapi juga memanfaatkan atau bahkan membentuk tim khusus yang bekerja jauh lebih militan dan memiliki kemampuan mumpuni dibandingkan tim humas pemerintah.

Pada era teknologi informasi dan perkembangan media sosial yang kian pesat, pencitraan tidak hanya dilakukan melalui media mainstream tetapi juga – dan biasanya justru lebih dominan—menggunakan jejaring media sosial. Para relawan, baik yang benar-benar bertindak sebagai relawan maupun relawan jadi-jadian, akan secara aktif mengemas berbagai informasi yang bersifat melemparkan isu baru maupun meng-counter isu atau berita-berita negatif terhadap pimpinan mereka.

Cara kerja relawan ini sudah seperti mesin otomatis yang super canggih. Mereka akan langsung beroperasi 24 jam untuk memproduksi berbagai isu dan menciptakan isu baru untuk tetap menjaga dan mempertahankan popularitas sang tokoh. Informasi bernada negatif baik yang disebabkan oleh buruknya perilaku sang tokoh atau pun serangan dari pihak luar, akan langsung diolah menjadi informasi yang menguntungkan dan bercitra positif terhadap sang tokoh.

Penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi juga telah dilakukan sejumlah pemerintahan daerah maupun pemerintah (pusat) di sejumlah Negara maju. Penelitian Sáez Martín (2015) di Uni Eropa berkesimpulan, perkembangan dunia media sosial (jaringan sosial) mengubah strategi komunikasi pemerintah dengan warga. Pemerintah kini memanfaatkan media sosial sebagai sarana mendorong partisipasi warga dalam berbagai pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan publik. Nick Ellison (2014) mengatakan, komunikasi interaktif melalui Facebook dan Twitter oleh pemerintah lokal Inggris juga mampu mengurangi kesenjangan (komunikasi) yang selama ini terjadi.

Hanya saja, gaya dan cara komunikasi yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan --termasuk pemimpin pemerintahan yang dipilih melalui pemilu—di beberapa Negara maju pada umumnya memang menyampaikan berbagai kebijakan atau urusan pemerintahan. Mereka sarana komunikasi itu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pemerintahan, menginformasikan kebijakan publik, menyerap keluhan warga masyarakat, dan pada akhirnya tentu untuk mencapai tujuan pemerintahan yaitu menyejahterakan rakyat.
Bagaimana di Indonesia. Beberapa pemimpin pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, juga sudah banyak yang memanfaatkan media internet, termasuk di dalamnya media sosial, sebagai sarana komunikasi. Hanya saja, beberapa pemimpin tersebut justru sering kali menggunakan media sosial untuk membangun citra.

Pernyataan atau informasi yang disampaikan tidak terkait dengan urusan pemerintah tetapi lebih dominan urusan politik  dan persoalan pribadi yang akhirnya berdampak pada pencitraan diri –bukan citra lembaga pemerintahan yang dipimpinnya. Menjelekkan anak buah, menyerang institusi atau lembaga lain, dan bahkan menyerang lembaga pemerintahan yang dipimpinnya bisa dilakukan demi popularitas. Muncul kesan, bisa menhalalkan segala cara demi  meningkatkan citra diri.

Kalau tujuannya untuk meningkatkan citra, popularitas, dan elektabilitas, gaya komunikasi seperti ini tentu sangat pas dan akan berhasil. Tetapi, dalam konteks komunikasi pemerintahan, komunikasi seperti tidak tepat. Gaya seperti itu lebih cocok sebagai komunikasi yang dibangun oleh politisi atau tokoh politik karena tujuan akhirnya adalah kekuasaan.

Prof Dr Erliana Hasan, pakar komunikasi pemerintahan, mengatakan, komunikasi pemerintahan adalah penyampaian ide, program, dan gagasan pemerintah kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara. Artinya, pemimpin pemerintahan harus membangun komunikasi dengan tujuan akhir adalah tercapainya tujuan pemerintah/Negara, yakni kesejahteraan rakyat. Apabila rakyat sejahtera pada era kepemimpinannya, maka dengan sendirinya mereka akan memilih pemimpin itu lagi. (pro)