Senin, 12 September 2016

Salam Sanare Simbol Kekuatan Islam-Kristen di Kota Ambon


Tari Salam Sarane yang memadukan Islam-Kristen di Tanah Maluku (Foto: Suprapto)



SAAT melintasi sebuah kawasan selepas Jembatan Merah Putih (JMP), kawan yang menemani saya dari Bandara Pattimura menuju Kota Ambon menjelaskan bahwa kami tengah melintas Batu Merah. Saat itu juga, saya tiba-tiba ingat peristiwa 17 tahun lalu: konflik SARA yang meluluhlantakan Ambon manise. Batu Merah tahun 1999 tiba-tiba menjadi nama yang sangat dikenal dan sering muncul dalam pemberitaan sebagai ‘basis’ kaum Muslimin.


Tak begitu lama kemudian, kami melintasi sebuah jembatan dan mulai masuk kawasan Mardika. Jembatan ini saat terjadi konflik tahun 1999 sekaligus sebagai pembatas antara kelompok Muslim dan Kristen. Mardika  saat itu dianggap sebagai permukiman yang sebagian besar penduduknya Bergama Kristen. Di sekitar tempat ini sekarang masih terdapat pos keamanan yang dijaga tentara anggota Batalion Infantri 527 TNI AD lengkap dengan senjata.

Tetapi, cerita kelabu masa lalu itu semua itu kini hanya jadi kenangan yang menurut saya tak perlu lagi diingat. Dan warga Ambon sendiri sepertinya tak berminat untuk bercerita kenangan buruk itu karena memang sangat tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Bisa jadi di belahan dunia sana, Kristen-Islam sering dijadikan alat untuk bertikai. Tapi di Ambon, Kristen, Islam, Hindu, Budha, atau agama dan kepercayaan lain justru menjadi sebuah kekuatan dan kelebihan. Hanya di Ambon lah kini terdapat Islam Center, Protestan Center, Katolik Center, dan belum lama juga baru diresmikan Hindu dan Budha Center.

Sebelum konflik sosial terjadi 1999, orang Maluku menyebut mereka itu  bersaudara. Orang Kristen biasa ikut membangun masjid. Begitu juga orang Islam sangat biasa ikut membangun gereja. Bahkan ada salah satu gereja yang di tiangnya terdapat tulisan kaum Muslimin sebagai bukti mereka ikut membangunnya, kata Barce, salah seorang wartawati Kota Ambon.

Tari Salam Sarane yang memadukan Islam-Kristen di Tanah Maluku (Foto:Suprapto)


Dalam pengamatan penulis, di sepanjang perjalanan dari Bandara sampai hotel di pusat Kota Ambon, bangunan gereja dan masjid memang banyak yang saling berdekatan. Kehidupan warga Muslim dan Kristen pun berbaur tak ada pembatas. Calon-calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selalu mempertimbangkan keseimbangan Kristen-Islam. Jika calon wali kota dari Kristen, maka calon wakil wali kotanya hampir pasti dari Islam. 

Kesepakatan tak tertulis itu ‘hidup’ di tengah masyarakat. Tidak hanya dalam dunia politik dan sosial, tetapi juga dalam kebudayaan dan kesenian. Banyak kesenian di Maluku (Ambon termasuk di dalamnya), yang mencerminkan persaudaraan warga Ambon. Ambon Basudara, mereka punya slogan.

Rabu (7/9/2016) malam, ketika saya menghadiri jamuan makan malam di rumah dinas Gubernur Maluku Ir Said Assagaff, salah satu kesenian pembukanya adalah Tarian Salam Sarane. Ini adalah tarian yang memadukan kesenian bernuansa Islam dan Kristen. Para penari Islam berpakaian Muslim, tentu lengkap dengan kerudung. Para penari Kristen berpakaian kebaya putih dan membawa sapu tangan. Alat musik yang mengiringi pun perpaduan Salam (Islam) dan Sarane (Nasrani). Ada tifa, suling, kenong, dan rebana. 

“Tarian ini adalah bukti bahwa Islam dan Nasrani bagi masyarakat Maluku sudah hidup berdampingan dan basudara. Sekarang kesenian-kesenian seperti itu terus saya kembangkan sebagai sarana perekat dan menghadapi kemungkinan adanya kelompok tertentu yang tidak senang dengan kedamaian di Maluku,” kata Said Assagaff.

Keberagaman yang Indah
Sehari kemudian, saat pembukaan Pesta Teluk Ambon 2016 sekaligus launching peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2017, salah satu tarian yang ditampilkan adalah Tari Lenso yang penarinya juga terdiri atas dua kelompok wanita, yaitu mereka yang berkerudung dan berkebaya putih dengan membawa sapu tangan. 

Tari-tari lain yang ditampilkan hampir semuanya mencerminkan sebuah keberagaman yang terjadi di masyarakat Maluku. Ada tari yang berasal dari Portugis, ada kesenian yang khas Maluku, dan ada pula yang hasil akulturasi.

Gubernur Maluku Ir Said Assagaff saat membuka Pesta Teluk Ambon 2016 mengajak masyarakat Maluku untuk selalu bersyukur atas  kekayaan alam dan budaya Maluku yang sangat eksotik.
Event Pesta Teluk Ambon telah menjadi agenda pariwisata tahunan Pemprov Maluku dalam rangka memperingati Hari Pariwisata Dunia (World Tourism Day), yang ditetapkan oleh World Tourism Organization dan diperingati setiap  tanggal 27 September. 

 
Gubernur Maluku Said Assagaf dan Ketua Dewan Penasehat PWI Tarman Azzam (Alm) membuka Launching HPN 2017

Biasanya Pesta Teluk Ambon  dilaksanakan setelah peringatan Hari Pariwisata Dunia yaitu pada tanggal 28 s/d 30 September. Akan tetapi tahun ini pelaksanaannya dimajukan  dalam rangka menyemarakan HUT GPM  ke-81 pada 6 September, HUT ke-441 Kota Ambon  pada 7 September, sekaligus launching Hari Pers Nasional (HPN) 2017.

Pesta Teluk Ambon 2016 (Foto: Suprapto)

Eksotisme bahari Indonesia timur memang tak habis dijelajah. Birunya laut dan putihnya pasir pantai seakan menjadi magnet tersendiri untuk mengundang Anda kembali menikmati panorama bumi Tanah Air Beta. 

Pesta Teluk Ambon dipusatkan di pinggir Teluk Ambon dengan pemandangan yang sangat indah. Nun Jauh di seberang teluk itu terdapat bukit-bukit menghijau. Di sebelah kanan membentang panjang Jembatan Merah Putih yang tahun ini baru diresmikan. Di Teluk Ambon sendiri lalu lalang kapal-kapal, termasuk perahu-perahu masyarakat yang akan mengikuti lomba.

Acara itu dimaksudkan untuk menarik minat pelancong berkunjung baik domestik maupun internasional di samping menumbuhkan investasi dan perluasan bisnis pariwisata. Pesta Teluk Ambon juga dipercaya mampu mempererat tali persaudaraan dan nasionalisme baik bagi warga Maluku sendiri dan seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan informasi Humas Pemprov Maluku, nama pesta Teluk Ambon mencerminkan dua hal yang sangat khas untuk Maluku.   

Pertama. Teluk Ambon memiliki keindahan yang sangat menakjubkan, sekaligus menjadi pusat transportasi dan perdagangan provinsi Maluku yang  dikenal sejak zaman kolonial hingga dewasa ini. 

Di Teluk Ambon yang indah ini, kita selalu menyaksikan pelbagai perahu dan kapal yang datang dan pergi sebagai pertanda bahwa teluk ini adalah urat nadi kehidupan kita. Apalagi  di Teluk Ambon kini terpancang  Jembatan Merah Putih, yang menghubungkan Jazirah Leitimur dan Jazirah Leihitu, sebagai icon teluk, baik  untuk mempermudah akses transportasi, maupun menambah keindahan teluk ini.

Kedua. Teluk Ambon ini memiliki nilai historis serta sosial kultural yang sangat kaya. Jika diperhatikan secara baik, teluk ini berada di tengah antara wilayah adat Leihitu dan Leitimur, yang dapat dimaknai sebagai penghubung atau pertalian antara masyarakat Leihitu dan Leitimur, sekaligus menjadi sumber kehidupan untuk semua orang basudara di daerah ini.

Pada aspek yang lain, keberadaan teluk Ambon sebagai pusat transportasi dan dagang, telah menjadi media perjumpaan dan akulturasi pelbagai budaya. Baik antara masyarakat indigeneous people (masyarakat asli) dengan pendatang, maupun masyarakat pendatang dengan masyarakat pendatang. Sehingga Maluku secara umum dan Ambon secara khusus sejak awal pembentukannya sudah menjadi kota yang kosmopolitan. Karena lahir dari Dadomi dan Tali Pusa Multikultural.

Menurut Said, sejak menjadi pusat rempah-rempah yaitu Cengkeh dan Pala, Maluku, khususnya Ambon menjadi tempat perjumpaan pelbagai saudagar, baik dari Nusantara, maupun dari mancanegara, terutama Arab, China, Persia, Gujarat, India, dan Eropa. Semuanya datang ke negeri datuk-datuk ini melalui jalur sutera (silk road) dan jalur rempah (spice route).   

Maka tak mengherankan sejak awal, Maluku, khususnya kota Ambon selain menjadi Baeleo untuk masyarakat Siwalima, tetapi juga menjadi Baeleo Nusantara untuk pelbagai suku bangsa di Nusantara, serta Baeleo dunia untuk pelbagai bangsa yang datang dari belahan bumi ini.

Fakta Maluku, khususnya Ambon telah menjadi Baeleo bersama Orang Basudara itu dapat dilihat dari beragam fam atau marga di daerah ini, misalnya, dari Sulawesi Selatan menggunakan fam Bugis atau Makassar, dari Sulawesi Tenggara menggunakan inisial La atau Wa, dari Sumatera, pake fam Padang, Palembang. Dari Arab ada yang pakai fam Assagaf, Al-Idrus, Basalamah, Attamimi, dll. 

Dari Belanda ada yang  pakai fam Van Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie,  Payer, dll. Dari Portugis ada yang pakai fam Da Costa, De Fretes, De Lima, Fareire, dll. Dari China ada yang pakai fam, Lie, Khouw, dll. Kemudian, kita juga bisa temukan beragam agama di sini, ada Salam (Islam), ada Sarane (Protestan dan Katolik), ada Hindu, ada Budha, dengan agama-agama suku, yang dianut katong pung basudara daru suku Naulu dan Hualu. 

Hal yang menarik, dari hasil akulturasi itu muncul pelbagai seni budaya yang sangat kaya dengan nilai-nilai multikultural. Menurut Said, akulturasi budaya lokal dengan Islam atau Arab,  seperi Abda’u di Tulehu, Pukul Sapu di Mamala-Morela, Tarian Sawat. Akulturasi budaya lokal dengan Arab dan Melayu seperti tarian Dana-Dana. Serta akulturasi budaya lokal dengan Barat, seperti Tari Katreji, musik Hawaian, tarian Oralapei, Dansa Ola-Ola, dan tarian Cakaiba.

Hal yang menarik, walaupun ada keragaman seni budaya serperti itu, tetapi ada juga seni budaya yang menyatukan keragaman Orang Basudara di daerah ini, antara lain tari Cakalele, budaya Makan Patita, Bambu Gila, dll. Semua kekayaan seni budaya yang lahir dari perjumpaan di Teluk Ambon ini merupakan potensi wisata budaya yang sangat kaya.

Dengan kondisi seperti itu, rasanya tak percaya konflik sosial tahun 1999 bisa terjadi di Ambon. Tanpa perlu diajari soal saling menghormati suku, agama, dan adat istiadat yang berbeda, Masyarakat di sana sudah menjalaninya sebagai sebuah hal yang biasa dalam hidup mereka sehari-hari. Perbedaan agama bukan menjadi sebuah kelemahan, tetapi justru sebuah kekuatan. Di Ambon, kita benar-benar merasakan keberagaman Indonesia adalah sebuah keindahan. (pro)