Rabu, 27 Maret 2019

Netizen Kekuatan Kelima setelah Pers yang Rentan Serangan Hoax

Penulis: Suprapto*
Netizen adalah kekuatan kelima, melengkapi empat kekuatan sebelumnya: legislatif, yudikatif, eksekutif, dan pers. Bagaimana peran dan posisinya kini. Bagaimana kekuatan kelima ini menghadapi hoax?
DELAPAN tahun lalu, Geoff Livingston  menulis buku berjudul Welcome to The Fifth Estate yang berisi fenomena munculnya kekuatan atau kekuasaan kelima yang bersumber dari lahirnya media sosial atau social media.
Pengguna media sosial –biasa disebut netizen (warganet)-- telah menjelma menjadi sebuah kekuatan  atau pemilik kekuasaan.
Para netizen sebagai anggota komunitas,  yang memiliki suara kuat untuk memengaruhi publik, tidak akan menggantikan media, tetapi justru menambah.
Livingston (2011:9) mengatakan, social media has assumed its place in the larger media mix. It has become the fifth estate . Media sosial telah mengambil perannya dalam percampuran media yang lebih besar. Media  sosial telah menjadi kekuatan atau kekuasaan kelima.
Pada masa lalu, era konvensional, operasi hubungan media massa dalam komunikasi  mengambil pendekatan pesan dari atas ke bawah. Top down.
Dalam sebuah organisasi, hanya juru bicara yang ditugaskan dapat berbicara kepada media atau di depan umum atas nama perusahaan atau organisasi pemerintahan/nirlaba.  
Kebenaran atau opini seolah-olah hanya milik pengelola media, para gatekeeper di dalam news room.
Sekarang,  dengan berkembangnya  teknologi internet yang melahirkan media baru dan jejaring sosial online, mampu menciptakan dunia di mana pendekatan media massa yang bersifat top down atau satu arah, tidak lagi berfungsi. Pendekatan ini sudah ditinggalkan.
Kini, komunikasi bersifat menyebar dan siapa saja bisa memproduksi informasi atau berita. Dunia seperti dalam genggaman.
Thomas L. Friedman (2007) menyebut the world is flat atau dunia semakin rata sehingga setiap orang, siapa saja dengan berlatar belakang apa saja, bisa mengakses apa pun dari sumber mana pun secara real time.
Para netizen ini tak hanya sekadar konsumen, mereka juga bisa menjadi produsen. Mereka adalah sebuah kekuatan baru.

Munculnya Istilah Fifth Estate 
Istilah the fifth estate sekaligus melengkapi istilah fourth estate (kekuatan keempat) sebelumnya. Istilah kekuatan atau kekuasaan keempat  mengacu pada pers atau media massa yang memiliki kekuasaan dalam membingkai isu-isu politik untuk memengaruhi publik dan pemegang kekuasaan lainnya. 
Meskipun tidak secara formal diakui sebagai bagian dari sistem politik, the fourth estate memiliki pengaruh sosial secara tidak langsung yang signifikan.  
Karena memiliki peran melakukan kontrol terhadap pemerintahan atau pemegang kekuasaan, maka pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, the fourth estate   mendapat julukan sebagai pengawas atau pengontrol pemerintah di Perancis dan Inggris.
Tiga sumber kekuasaan lainnya, jika mengacu pada konsep tradisional Eropa terkait three estate, yakni kekuasaan kaum agamawan, kaum bangsawan, dan rakyat jelata. 
Dalam alam demokrasi, three estate itu  kemudian mengacu atau merujuk pada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dalam konsep trias politika, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau pengadilan.
Pada era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti sekarang,  media sosial berkembang sangat masif   dan  menjelma menjadi sebuah kekuatan yang mampu mengimbangi empat kekuataan sebelumnya. 
Kini, aktivitas generasi milenial lebih banyak membaca media sosial dibandingkan membaca media massa konvensional. 
Sebanyak 50 persen lebih generasi milenial mengakses  media sosial setiap hari dan hanya 9,5 persen yang membaca koran (Survey CSIS November 2017).
Para generasi milenial ini juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengakses internet daripada membaca atau mengakses media tradisional (Rulli Nasrullah, 2016:2).
Karenanya, suara-suara ‘berisik’ para netizen kini tak bisa lagi dianggap buih di lautan.
Suara Netizen dalam Dunia Pemerintahan
Dalam dunia pemerintahan, ‘suara berisik’ para netizen di media sosial bahkan bisa memengaruhi kebijakan publik. Para netizen bisa menekan pemerintahan dan mengawal demokratisasi melalui genggaman tangan.
Ingat kasus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang di-bully oleh para netizen  gara-gara partainya menyetujui lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung (kembali) oleh DPRD.
Bully tak hanya terjadi di dunia maya melalui berbagai meme yang seolah-olah menjadikan SBY sebagai bapak antidemokrasi, tetapi juga di depan mata.
Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP) berdemonstrasi menolak mekanisme Pilkada lewat DPRD. Mereka  membawa piala penghargaan (tropi) bertuliskan 'Bapak Anti Demokrasi Award' kepada SBY  di depan gedung Istana Presiden (merdeka.com, 30/9/2014).
Meme Bapak Anti Demokrasi muncul secara masif di media sosial sampai kemudian Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 tahun 2014 yang mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Para netizen melalui media sosial menunjukkan kekuasaannya. Tetapi, dalam politik berkembang satu ungkapan yang sampai kini masih diyakini benar adanya.
John Emerich Edward Dalberg Acton atau biasa disapa Baron Acton (1834–1902) membuat satu ungkapan bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
Kekuasaan cenderung korup dan apabila kekuasaan itu absolut, maka akan korup menjadi absolut juga.  Artinya, kekuasaan itu cenderung korup atau bisa disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok tertentu dan akan merugikan rakyat banyak.
Kekuasaan yang digunakan secara semena-mena tanpa ada pengawasan atau ketaatan dalam hokum dan etika, maka akan menimbulkan kekacauan, mematikan demokrasi, dan bisa menimbulkan bencana. 
Begitu juga kekuasaan para netizen dengan menggunakan media sosialnya. Penggunaan media sosial secara jor-joran dan tanpa adanya ketaatan serta disiplin dalam mematuhi rambu-rambu hukum, maka yang terjadi adalah kekacauan, korup, dan teror terhadap publik.
Apa itu hoax atau asal usul hoax dari mana?
Hoax atau informasi bohong atau informasi salah pun beredar hampir setiap hari di berbagai grup media sosial. Hoax, seperti ditulis merriam-webster.com,  diartikan sebagai an act intended to trick or dupe (tindakan yang dimaksudkan untuk trik atau menipu).
Kamus dictionary.cambridge.org mendifinisikan hoax sebagai a plan to deceive a large group of people; a trick: rencana untuk menipu sekelompok besar orang; sebuah tipuan.
Rocky Gerung seperti diberitakan Wartakotalive.com mengatakan, asal usul hoax bersumber dari tulisan Prof Alan Sokal di sebuah jurnal yang secara sengaja dipakai untuk menguji keteletian anggota redaksi jurnal tersebut Mei 1996.
"Asal usul hoax itu pertama kali dalam sejarah ilmu pengetahuan ketika profesor fisika namanya Alan Sokal menulis sebuah artikel di sebuah majalah sosial denga nama samaran," ujar Rocky Gerung.
Siapa Alan Sokal yang dimaksudkan Rocky Gerung. Alan Sokal adalah profesor fisika di New York University dan profesor matematika di University College London.
Tulisan Alan Sokal di jurnal Social Text, jurnal ternama di Amerika Serikat, itu lalu dipuji-puji oleh redakturnya tanpa tahu itu bohong.
 Dalam perkembangannya hoax juga diartikan sebagai kabar bohong atau kabar palsu.  Menyebarkan informasi yang salah atau kabar bohong juga  masuk kategori ini dan sering kali diartikan menyebarkan hoax.
Hoax tidak hanya terjadi pada peristiwa-peristiwa politik atau menyangkut figur publik tertentu tetapi juga ketika terjadi sebuah bencana.
Trik dan modus hoax terus berkembang semakin canggih, seiring berkembangnya teknologi. Hoax kini tak hanya berupa teks, foto, atau video, tetapi juga perpaduan ketiganya, bahkan dilengkapi dengan info grafis sehingga seolah-olah benar-benar terjadi.
Penyebaran hoax tahun 2018 pun semakin masif. Hasil survey terhadap 2.032 pemilik smartphone yang dilakukan DailySocial bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, menunjukkan data yang mencengangkan.
Survei dilakukan di seluruh penjuru Indonesia.  Hasil survey itu menyebutkan, 53,25 % responden mengaku sering menerima hoax, 45,08 % responden mengaku kadang-kadang menerima hoax, dan hanya 1,67 % responden yang tak pernah menerima hoax.
Lihat grafis di bawah ini yang bersumber dari DailySocial.


Para netizen tersebut menerima hoax yang muncul atau bersumber dari sejumkah aplikasi.
Tetapi, sebagian besar atau sekitar 81,25 % netizen atau responden  menerima hoax atau sumber hoax dari aplikasi facebook, 56,55 % dari aplikasi whatsapp, 29,48 % dari aplikasi instagram, 11,37 % line, 10,38 % twitter, 5,86 % telegram, dan 1,67 % aplikasi lainnya.
Simak grafis di bawah ini yang bersumber dari DailySocial.


Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari survey maka DailySocial menyimpulkan beberapa poin, yaitu:
1.     Informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).
2.     Sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax.
3.     Mayoritas responden (51,03%)  memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoax.
Data di atas tentu cukup memprihatinkan. Munculnya kekuatan atau kekuasaan kelima (the fifth estate) yang tidak dibarengi dengan literasi media sosial dan ketaatan terhadap etika dan hukum, akan mudah terpapar hoax.
Para netizen itu bisa menjadi korban penyebaran hoax atau bisa juga menjadi produsen hoax dengan berbagai motif di belakangnya.
Ada netizen yang secara sadar memproduksi hoax untuk kepentingan politik, ekonomi, dalih agama, atau balas dendam, tetapi banyak juga yang sekadar iseng atau tidak tahu bahwa perbuatannya tersebut melanggar undang-undang.
Para netizen perlu mengetahui bahwa ada  UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 tahun 2008 tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa menjerat mereka, masuk bui, ketika memproduksi atau menyebarkan hoax.
Jika hoax dilakukan  terkait bencana alam di daerah pariwisata, maka yang dirugikan bukan hanya pemerintah, tetapi rakyat banyak dan bisa jadi penyebar hoax itu sendiri.
Mari, jadilah netizen yang cerdas dan taat  etika dan hukum sehingga the fifth estate itu bukan menjadi penyebar, pembuat, atau korban hoax, tetapi menjadi benteng atau yang bisa memerangi hoax. (***)
* Tulisan ini telah dimuat di buku berjudul Jurnalisme Ramah Pariwisata Diterbitkan Kementerian Pariwisata dan SMSI, Februari 2019, dan Wartakotalive.com 27 Maret 2019.

Selasa, 26 Juni 2018

Pilkada Langsung: Lahirkan Rezim Penguasa Minoritas dengan Dukungan Sedikit Parpol

Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup! Ir Soekarno, 1 Juni 1945.



BERDASARKAN perundang-undangan yang berlaku, hanya ada 2 pemimpin pemerintahan di Indonesia yang bisa dipastikan akan terpilih setelah meraih dukungan mayoritas.

Kedua pemimpin itu adalah pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Sementara ratusan pemimpin pemerintah lainnya di Indonesia bisa terpilih menjadi pemimpin di satu daerah otonomi meski hanya meraih dukungan minoritas.

Bahkan bisa jadi, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota yang hanya didukung oleh 20 persen pemilih pun bisa menjadi pemenang  dan kemudian memimpin 80 persen pemilih yang mendukung calon lain.

Artinya, pemimpin dengan dukungan minoritas (20 persen) –bisa dukungan parpol atau dukungan pemilih-- akan menjadi pemimpin bagi mayoritas pemilih dan parpol yang tidak mendukungnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada).

Tetapi, inilah konsekuensi dari demokrasi melalui pemilihan secara langsung yang dianut Indonesia saat ini: minoritas memimpin mayoritas.

Pemilihan secara langsung dan penentuan pemilih berdasarkan suara terbanyak adalah demokrasi yang lahir dan dikembangkan di negara barat (Amerika Serikat dan Eropa). 

Demokrasi lahir di negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM, merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas (Miriam Budiardjo,2010).

Demokrasi itu diimpor para pakar atau politisi didikan barat lalu diusulkan dan dibuat menjadi hukum positif yang kemudian menjadi dasar ketatanegaraan di Indonesia.

Kini, proses pemilihan kepala pemerintahan semua level, mulai tingkat tertinggi, yakni Presiden, sampai tingkat terendah, yakni kepala desa, dipilih secara langsung.

Dasar Penentuan Calon Terpilih

Di Indonesia sampai tahun 2014 setidaknya ada 542 daerah otonom yang pemimpinnya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Ke-542 daerah otonom  itu terdiri atas:
- 34 provinsi;
- 415 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta); dan
- 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta).

Di samping itu, ada satu pemimpin tertinggi, yakni Presiden dan Wakil Presiden, yang juga dipilih secara langsung.

Dengan demikian, Indonesia memiliki 543 pasangan pemimpin pemerintah yang setiap lima tahun sekali dipilih secara langsung oleh rakyat.

Meski ada 542 daerah otonom, ternyata hanya ada satu provinsi, yaitu Provinsi DKI  Jakarta,  yang penentuan pemenang pilkadanya berdasarkan perolehan suara lebih dari 50 persen.

Pilkada di 541 daerah otonom lainnya, penentuan pemenangnya hanya berdasarkan perolehan suara terbanyak. Artinya, meski pasangan calon  hanya meraih 20 persen bisa ditetapkan sebagai pemenang apabila perolehan suara calon lain di bawah 20 persen.

Penentuan pemenang berdasarkan perolehan suara lebih dari 50 persen juga berlaku bagi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Mari kita lihat peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar penentuan pasangan terpilih menjadi pemimpin pemerintahan, baik pada Pemilu Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan tahun 2007 setelah lahirnya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Ayat (1) Pasal 56 UU No 32 tahun 2004 berbunyi:  Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ayat (2) berbunyi: Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Ayat (2) ini kemudian dilakkukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian membatalkannya dan memunculkan kententuan adanya calon independen (calon yang tidak diusung oleh parpol) pada Pilkada.

Calon independen pertama kali ikut pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Mayjen (Purn) Prijanto.

Penentuan pemenang pada rezim pertama pilkada secara langsung ini diatur dalam Pasal 107  UU No 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pemenang Pilkada adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen.

Apabila   tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen ditetapkan sebagai pemenang.

Apabila tidak ada yang memperoleh suara lebih dari 25 persen, maka dilakukan pemilhan tahap kedua. 

Artinya, rezim pertama pilkada secara langsung mewajibkan pemenang pilkada adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (jika ada) atau lebih dari 25 persen.

Dalam perkembangannya, lahir rezim pilkada tahap dua yang memunculkan istilah Pilkada secara serentak.

Pilkada serentak dimulai tahun 2015 yang diatur berdasarkan UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

UU No 1 tahun 2015 kemudian diubah lagi menjadi UU No 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

Tahun 2015, pilkada serentak dilaksanakan di 269 daerah otonom. Ke-269 daerah otonom itu terdiri atas 8 provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota.
Tahun 2016, kembali dilakukan perubahan terhadap UU yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Lahirlah UU No 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
UU ini menjadi dasar Pilkada serentak tahun 2017 dan 20018. Pilkada 2017  dilaksanakan di 101 daerah otonom pada 15 Februari 2017.
Ke-101 daerah otonom itu terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten atau khusus bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala dan wakil kepala daerahnya antara Juli 2016 dan Desember 2017.
Pilkada serentak 2018  digelar pada Rabu 27 Juni 2018 di 171 daerah otonom.
Ke-171 daerah otonom tersebut terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Pada pelaksanaan pilkada serentak, baik yang dimulai tahun 2015, 2017, dan 2018, pemenangnya adalah mereka yang meraih suara terbanyak, tanpa disebutkan besarnya. Ketentuan itu diatur dalam UU No 1 tahun 2015, UU No 8 tahun 2015, dan UU No 10 tahun 2016.
Ayat (1) Pasal 109 UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Pasal 107 UU No 10 tahun 2016 berbunyi: Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.

Ayat (1) Pasal 109 UU No 10 tahun2016  berbunyi:Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.

Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Pilkada di DKI Jakarta yang berstatus sebagai Daerah Khusus Ibu Kota.

Penentuan pemenang Pilkada Jakarta diatur dalam UU tersendiri, yakni UU No  29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. 

Pasal 11 UU No 29 tahun 2007  menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Pemegang Kedaulatan yang Tak Lagi Berdaulat

Meski penentuan pemenang pilkada berbeda-beda, syarat pencalonannya tetap sama, yakni parpol atau gabungan parpol peraih 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu dan calon independen.
Dengan demikian, di setiap daerah otonom sangat mungkin muncul lima pasang calon yang berasal dari parpol (masing-masing didukung oleh 20 persen parpol peraih kursi DPRD) dan sejumlah calon independen. Andai saja ada 6 pasang calon, maka secara teori perolehan suara masing-masing calon bisa hanya di bawah 20 persen.
Dengan sistem peraturan perundang-undangan seperti itu, maka hanya ada satu daerah otonom dari 542 daerah otonom di Indonesia yang pemimpinnya dinyatakan sebagai pemenang pilkada setelah meraih dukungan lebih dari 50 persen suara sah di daerah itu. Daerah tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta.
Karena itu, hanya Pilkada di DKI Jakarta pula yang memungkinkan terjadinya pilkada putaran kedua karena untuk mendapatkan dukungan suara lebih dari 50 persen.
Dengan dukungan suara yang besar ini, secara politik gubernur/wagub mempunyai  legitimasi politik yang kuat pula.
Kepercayaan dan dukungan politik rakyat yang lebih besar dari 50 persen itu lah yang menjadi salah satu faktor Gubernnur DKI Jakarta pada era Joko Widodo dan dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama berani berseberangan dengan DPRD DKI.
Ahok dalam beberapa kali pernyataan secara tegas berani melakukan itu karena didukung oleh mayoritas warga DKI Jakarta yang memilihnya.
Sementara 541 daerah lain yang pemenangnya hanya ditentukan mereka yang meraih suara terbanyak, maka sangat mungkin –dan pada umumnya memang demikian—pemimpin terpilih akan memimpin mayoritas warga (pemilih) yang tidak memilihnya.
Dengan demikian, secara riil legitimasi dan dukungan politiknya pun tidak akan sekuat kepala daerah yang meraih suara lebih dari 50 persen.
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang hanya didukung oleh minoritas pemilih (tidak sampai lebih dari 50 persen) di satu daerah, maka setelah menjabat dia akan berusaha mencari dukungan politik kepada anggota DPRD.
Dukung DPRD lebih dibutuhkan daripada rakyat karena  dewanlah yang memiliki kekuasaan secara legal formal untuk memengaruhi secara langsung keputusan atau kebijakan eksekutif.
Rakyat yang ketika pemilu dicari-cari karena dibutuhkan suaranya, begitu selesai penghitungan suara maka tak lagi diperhatikan. Tak ada mekanisme secara formal yang memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk mencabut atau membatalkan kontrak di tengah jalan apabila  pemimpin mereka tak menepati janji-janjinya.
Pakar kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Prof Taliziduhu Ndraha menyebut dari tiga subkultur (subkultur kekuasaan/SKK, subkultur ekonomi/SKE, dan subkultur sosial/SKS) dalam proses pemerintahan, maka SKS adalah subkultur yang paling lemah dan paling tak berdaya menghadapi SKE dan SKK.
SKS atau warga negara hanya dibutuhkan dan benar-benar ‘menjadi pemegang kedaulatan’ saat menjelang pemilu/pilkada, tetapi kemudian menjadi korban tak berdaya dan tak lagi berdaulat begitu penghitungan suara selesai.
Tokoh SKS yang seharusnya berada di garis depan memperjuangkan aspirasi warga, langsung berubah orientasi begitu menyeberang dan berperan sebagai SKE (pengusaha) dan SKK (pemegang kekuasaan, pejabat publik).
Tetapi, inilah konsekuensi dari rezim pilkada secara langsung yang mengadopsi demokrasi ala barat.
Ir Soekarno, proklamator dan salah satu pendiri bangsa ini, sudah sejak dini mengingatkan kita untuk tidak meniru demokrasi ala barat tersebut.
Bagi Bung Karno, ketika bicara demokrasi saat merumuskan Pancasila, demokrasi Indonesia adalah demokrasi perwakilan, permusyawaratan, dan  mufakat. Dan yang lebih penting, demokrasinya tidak hanya sebatas pada politik, tetapi haruslah menyejahterakan rakyat Indonesia. Tetapi, semua itu masih sebatas utopia yang ada di awang-awang. 

Senin, 07 Agustus 2017

Tip Hidup Sehat Perhatikan Hindari 3R Ini, R Terakhir Paling Mengerikan


Senin (7/8/2017), seorang petugas di bagian  electrocardiogram (ECG) -- tes medis untuk mendeteksi kelainan jantung-- yang ditugasi memeriksa kesehatan jantung, memasang kabel-kabel di tubuh saya. Sambil menjepitkan penjepit mulai dari kedua kaki sampai di bagian dada kiri dan kanan, perut, dan pinggang, petugas medis dari sebuah rumah sakit (RS) swasta di bilangan Jakarta Barat itu bercerita pengalamannya di bagian ICCU RS itu.

“Sekarang, para penderita jantung tidak lagi orang tua seperti dulu. Anak-anak muda, mereka yang berusia 30-an sudah banyak terkena serangan jantung. Kebetulan saya di bagian ICCU, sering menangani pasien jantung tersebut,” ujar petugas itu.

Pernyataan itu keluar setelah ia menanyakan kebiasaan yang banyak dilakukan oleh sebagian penderita penyakit jantung tersebut. Pertanyaan yang pertama dia sampaikan tentu saja adalah, “Anda merokok atau tidak?” Setelah itu disusul pertanyaan, “Ada minum minuman keras apa tidak?” Kemudian dilanjutkan pernyataan yang bersifat saran, “Jangan lupa olahraga secara rutin, bisa jalan kaki atau lainnya.”

Saya tentu tidak diam saja mendengar pertanyaan tersebut. Sambil menjawab pertanyaan tersebut, saya juga balik bertanya, “Apa pengaruh merokok terhadap kesehatan jantung?” Meskipun jawabannya sudah sering saya dengar dan relatif sama, termasuk dari dokter ahli jantung, setiap ada kesempatan bertanya kepada petugas medis terkait merokok itu, biasanya saya tanya lagi.

Kenapa pertanyaan itu saya lakukan berulang-ulang, karena sebagian saudara, teman, sahabat, dan para perokok itu selalu saja tidak percaya bila kita sampaikan bahwa salah satu penyebab sakit jantung adalah kebiasaan menghisap racun tersebut. Mereka selalu saja mencari pembenar atas perbuatannya tersebut.

Ah kalau mau mati, dokter yang tidak merokok juga bisa mati kalau memang sudah takdirnya. Ah, buktinya orangtua kita di kampung umurnya panjang meski dia merokok. Lha, kalau kita tidak merokok, nanti negara kehilangan pendapatan dari cukai sehingga tidak bisa membangun infrastruktur, membangun jalan, jembatan, dll. Dan berbagai jawaban pembenar lainnya.

Sebenarnya, untuk alasan pembenar itu biasanya saya juga sudah berikan jawabannya. Misalnya soal takdir kematian, saya jelaskan bahwa kalau bicara takdir itu memang wewenang Allah Tuhan YME. Tetapi, soal sehat dan sakit, itu adalah pilihan. Dan pilihannya ada di tangan kita sendiri. Berdasarkan data tahun 2007, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen di antaranya adalah perokok.

Selain itu, Allah juga memberikan kelebihan manusia dibandingkan mahluk lainnya adalah kemampuan untuk berpikir, memilih mana baik mana buruk, mana madu mana racun, mana gaya hidup kekinian atau justru kebodohan.

Terkait kebiasaan orangtua di kampung yang berumur panjang, saya menjawab ringan saja. Di kampung (desa), masyarakat –terutama petani-- pada umumnya berpola hidup sehat. Mereka pagi-pagi sudah berjalan kaki atau bersepeda pergi ke sawah atau ladang. Mereka memakan makanan yang pada umumnya masih segar; sayuran, lauk pauk, tempe, buah, atau air putih.

Udara yang mereka hirup pun tidak seperti di Jakarta yang sudah bercampur dengan timbal dan racun dari berbagai jenis asap. Karena itu, kalau pun merokok, mereka masih bisa ‘menutupi’ dengan perilaku hidup sehat lainnya itu. Dengan demikian, racun di dalam tubuh masih bisa ‘diatasi’ oleh kebiasaan sehat lainnya.

Bandingkan dengan pola hidup masyarakat kota; tidur bangun siang, jalan kaki (olahraga) malas, makan pilih junk food, udara yang dihirup penuh polutan, baru tidur kalau sudah tengah malam, ditambah menghisap racun nikotin.

Terkait dengan penghasilan cukai untuk membangun infrastruktur, sebuah penelitian yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa setelah dihitung total, kerugian dari kebiasaan merokok jauh lebih besar dibandingkan penghasilan/keuntungan  yang diraih. Tahun 2010, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas akibat merokok mencapai Rp 105,3 triliun. Biaya pembelian rokok  Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp 260 miliar.

Penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010  Rp56 triliun, tapi total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau (idionline.org). Karena itu, apa masih mau merasa bahwa para perokok itu adalah pahlawan pembangunan.

Dan yang lebih memprihatikan, jumlah perokok di Indonesia terus meningkat. Tahun 1995 jumlah perokok 34,7 juta perokok dan 2011 naik menjadi 65 juta perokok.  Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, mengatakan tahun 1995 diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun,  tahun 2007  meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta perokok perempuan.

Prevalensi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan, jika  tahun 1995 hanya tujuh persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat menjadi 19 persen. Menurut dia, peningkatan yang drastis ini membuktikan betapa efektifnya strategi industri rokok dan betapa lemahnya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok (Republika.co.id, 18 Agustus 2011). Dampak merokok terhadap kesehatan baru akan dirasakan 25 tahun kemudian.

Dosen Marketing The Business School Edinburg Napier University, London, Nathalia C Tjandra menyatakan hampir sebanyak 40 persen perokok aktif di Indonesia berasal dari kalangan remaja laki-laki. Konsumsi rokok Indonesia juga terus naik, bahkan 36,3 persen. Tidak hanya itu 73,3 persen pria di atas 15 tahun pun rentan terhadap rokok (Tempo.co, 21 September 2016).

Kembali kepada pernyataan petugas medis tadi, saya kemudian ingat bahwa masih dalam bulan ini, salah satu teman sejawat saya di kantor, generasi 1980an baru saja terkena serangan  jantung. Dia menjalani operasi pemasangan ring setelah dirawat beberapa hari. Dia pengantin baru. Apakah dia seorang perokok, jawabannya: YA.

Beberapa bulan sebelumnya, teman sejawat saya yang juga masih muda dan usianya 30-an tahun, juga terkena serangan jantung ketika sedang liputan di gedung yang terhormat. Dia tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke RS jantung di bilangan Jalan S Parman, Jakarta Barat. Dia juga langsung menjalani operasi pemasangan ring. Apakah dia perokok, jawabannya: YA.

Sebelumnya, tiga orang teman sejawat saya yang usianya sudah berkepala 4 atau 5 juga terkena serangan jantung dan kemudian dipasang ring. Apakah ketiganya juga perokok, jawabannya: YA. Saya masih bisa memberikan contoh beberapa orang yang saya kenal cukup dekat dan terkena serangan jantung dan orang tersebut sebelumnya juga perokok.

Apakah orang tersebut masih merokok setelah dipasangi ‘cincin sakti’, setahu saya semuanya berhenti, kecuali satu orang yang masih coba-coba merokok lagi karena dia merasa sudah sehat. Para mantan itu pun baru sadar dan mengaku bahwa merokok memang menjadi salah satu faktor utama terkena penyakit jantung. Para mantan itu sebelum terkena serangan jantung pun selalu saja mencari pembenar agar tetap bisa merokok.

Sekarang, sebagai mahluk yang diberikan kelebihan kemampuan berpikir dibandingkan mahluk lain, apakah kita harus terkena serangan jantung dulu baru berhenti merokok? Apakah kita harus ke matahari dulu supaya kita tahu bahwa temperaturnya mencapai 15 juta derajat Celcius? Apakah kita harus memegang api terlebih dulu supaya bisa merasakan panas? Apakah kita harus mati dulu supaya kita bisa tahu bahwa ada syurga dan neraka?  Apakah kita harus memegang setrum dulu supaya kita tahu bagaimana rasanya terkena sengatan listrik?

Wahai saudaraku, sayangilah dirimu sendiri, sayangilah orangtuamu, anak-anakmu yang masih kecil-kecil, istri (istri)mu, dan sanak saudaramu. Berhentilah menyiksa diri. Berhentilah menghisap racun. Dan.... kalau kalian belum bisa berhenti, maka paling tidak janganlah mempertontonkan kebiasaan itu kepada anak-anak, kepada remaja, kepada manusia lain yang ingin hidup lebih sehat. Janganlah memasang foto profi yang tengah merokok atau memegang rokok di facebook, whasapp, BBM, instagram, dan aplikasi media sosial lainnya.

Kalau kita tidak bisa membahagiakan orang-orang tercinta, janganlah kita membuat mereka bersedih.  Ingat, jumlah kematian akibat serangan jantung kini semakin banyak. Para penderita sakit jantung kini tidak hanya orang tua, tetapi sudah dari kalangan anak muda. 

Jadi, perhatikan 3R: Satu Rokok, dua Racun, dan tiga siap-siap pasang Ring jantung, ini yang mengerikan. Jadi: STOP MEROKOK sekarang juga! (pro070817)



Jumat, 02 Juni 2017

Subhanallah, Inilah Riwayat Hadis Sahih Imam Bukhari, Ditulis Selama 5.840 Hari



Bagi sebagian besar umat Islam, hampir dipastikan tak lagi asing ketika mendengar nama Imam Bukhari.
Ya, dia adalah penyusun kitab yang sangat terkenal Al Jami’us Shahih yang kemudian di Indonesia terjemahkan dengan nama kumpulan hadis Shahih Bukhari.

Imam Bukhari ternyata sejak kecil sudah terlihat kealiman dan kecerdasannya, jauh di atas rata-rata anak seusianya.
Pada usia 10 tahun, pemilik nama asli Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, ini telah pernah menghafaz hadis.
Dia belajar kepada sejumlah guru dalam ilmu fiqih dan hadis sampai ke luar  negeri.
Ia pergi ke negara yang menjadi gudang ilmu pengetahuan pada masa itu seperti Syam, Mesir, Basrah, Kufah, dan Bagdad.
Di tanah hidjaz ia berdiam selama 6 tahun untuk terus belajar.
Dalam Kitab Shahih Bukhari yang diterjemahkan H Zainuddin Hamidy dkk (1992:XIV) disebutkan, Imam Bukhari lahir hari Jumat 13 Syawal 194 Hijriah atau 19 July 810.
 Beliau meninggal dalam usia yang tak jauh berbeda dengan Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, dalam usia 62 tahun 13 hari pada malam Idul Fitri tahun 256 H.
Tapi, ada juga yang menyebutkan Imam Bukhari meninggal 1 September 870 atau 1 Syawal 256H (usia 60 tahun) dan dimakamkan di Khartank,  Samarkand, Uzbekistan.
Beliau lahir di Bukhara di Uzbekistan yang sebelumnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Imam Al Bukhari juga menulis beberapa kitab, di antaranya Al Adab Al Mufrad.
Mandi dan Salat Sunah Setiap Tulis Satu Hadis
Imam Bukhari sangat serius dan tekun memeriksa hadis dan menyisihkan mana yang shahih dan yang lemah dengan bekal pengetahuan yang luas.
Para ulama di dunia Islam ini sepakat dan menempatkan hadis yang diriwayatkannya pada derajat yang tertinggi sekali.
Kita Al Djamius Shahih atau di Indonesia dikenal dengan nama Shahih Bukhari adalah kumpulan hadis sangat terpecaya.
Setelah Shahih Bukhari, kumpulan hadis yang juga sangat terpecaya dan shahih adalah Shahih Muslim.
Zanidduin Hamidy dkk menyebut hadis yang disusun oleh Bukhari dan Muslim sangat  cermat dalam memeriksa orang yanng membawa (menceritakan) tiap-tiap hadis.
Orang tersebut diperiksa betul kejujurannya, kekuatan ingatannya, dan persambungan orang-orang yang menyampaikan riwayat itu tidak putus pertaliannya.
Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh seseorang itu bisa dirunut sampai kepada sahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad SAW.
Pengumpulan hadis dalam sebuah buku besar itu diusahakan Imam Bukhari dalam waktu 16 tahun atau 5.840 hari.
Tiap akan menulis satu hadis, beliau terlebih dahulu mandi dan salat dua rakaat, memohon pertimbangan kepada Allah SWT.
Jadi sangat jelas bahwa Shahih Bukhari adalah mutiara yang cukup dikenal keindahan dan keshahihannya.
Tentang Arti Hadis
Hadis artinya perkataan, perbuatan, atau ketetapan dari Rasulullah, Nabi Muhammad SAW.
Apabila Nabi melihat seseorang mengerjakan sesuatu perbuatan atau mengucapkan perkataan di hadapan beliau atau ada yang diceritakan orang kepadanya: Ada orang (Muslim) yang mengatakan atau membuat begitu sedang nabi diam saja, nabi menyetujui atau memujinya, maka inilah yang disebut ketetapan.
Dalam Zanidduin Hamidy dkk (1992:XII) hadis  disebut atau dinamakan juga sunnah.
Sunnah itu ada dua bagian:
1.      Menjelaskan maksud Al Quran.
Dasar hukumnya antara lain Suat An Nahl 44 yang artinya: Kami turunkan kepadamu (Muhammad) akan Quran supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan (Quran) kepada mereka itu.
2.      Menerangkan hukum-hukum yang tidak disebut dalam Al Quran.
Dasar hukumnya antara lain Surat An Nisa 59 yang artinya: Hai orang berminan! Ikuti olehmu akan perintah Allah dan ikut olehmu akan perintah Rasul!
Surat Al Hasyr 7 yang artinya: Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu ambilah dan apa yang dilarangnya hentikanlah.
Surat An Nisa 80 yang artinya: Barang siapa yang mengikuti akan Rasul maka sesungguhnya dia telah mengikuti Allah.

Tulisan ini bersumber dari Kitab Shahih Bukhari cetakan tahun 1992, terbit pertama tahun 1937.