Unjuk
rasa
yang dilakukan satu wali kota dan dua wakil wali kota untuk menolak rencana kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM), Selasa (27/3), menunjukkan ketidaktaatan ketiganya terhadap etika pemerintahan.
Selain itu, tiga kader partai politik (parpol) tertentu itu pun sepertinya tidak
mengerti atau paling tidak kurang memahami sistem pemerintahan di Indonesia dan
struktur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai Wali Kota
Malang, Wakil Wali Kota Surabaya, dan Wakil Wali Kota Solo, semestinya Peni
Suparto, Bambang DH, dan FX Hadi Rudyatmo, menyadari bahwa mereka kini
adalah pejabat negara, pejabat pemerintah, dan pejabat publik. Mereka tidak
bisa lagi bertindak dengan mengedepankan kepentingan pribadi, parpol, atau kelompoknya.
Mereka terikat dalam etika pemerintahan dan segala perundang-undangan yang ada,
termasuk sumpah yang telah mereka ucapkan.
Sebagai pejabat
pemerintah, sesungguhnya mereka tidak bisa lepas dari segala sesuatu yang telah
diputuskan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan selagi keputusan itu tidak
melanggar UU. Konstitusi kita secara tegas menyebutkan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang”
(Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Dengan adanya pasal itu, sesungguhnya hanya
Presidenlah yang memiliki kekuasaan pemerintahan di negara ini. Tetapi, karena kekuasaan
pemerintahan itu begitu luas dan kompleks, maka Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkatnya. Presiden juga melimpahkan
kekuasaan itu kepada menteri-menterinya sesuai bidang tugas yang diemban
seperti disebutan dalam pasal 17 UUD 1945 ayat (3) hasil perubahan pertama
tahun 1999 yang berbunyi: “Setiap
menteri membidangi urusan tertentu dan pemerintahan”.
Di samping itu,
Presiden pun memberikan kekuasaan pemerintah kepada para gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat (selanjutnya disebut pemerintah) dan instansi vertikal pemerintah
di daerah dalam bentuk dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), serta menyerahkan wewenang
pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan atau yang disebut desentralisasi. Selain dekonsentrasi dan
desentralisasi, pemerintah juga bisa memberikan tugas pembantuan atau penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu. Untuk setiap penugasan atau pelimpahan/penyerahan wewenang pemerintahan
itu diikuti dengan pendanaan. Semua ketentuan ini secara jelas diatur dalam UU
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Meski konsitusi
memberikan kekuasaan kepada daerah dalam bentuk otonomi daerah sebagaimana
diatur dalam Ayat (2) Pasal 18 UU 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000 yang
berbunyi: “Pemerintah daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”, bukan berarti antara bupati,
wali kota, dan gubernur, tidak memiliki hubungan. Kebebasan mengatur urusan
pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan yang masih dipegang pemerintah (politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fisnal nasional, serta
agama) itu hanya terkait dengan otonomi daerah. Tetapi, hierarki pemerintahan tetap
ada. Di negara federal pun, antara negara bagian dengan pemerintah pusat masih
tetap memiliki hubungan. Apalagi Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik (Ayat (1) Pasal 1 UUD 1945).
Karena itu, menjadi
aneh ketika para kepala daerah dan wakil kepala daerah justru ramai-ramai ikut
berunjuk rasa menentang kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah pusat –dan tentunya
akan diputuskan dalam bentuk UU jika disetujui oleh DPR. Saya tidak setuju
dengan kenaikan harga BBM karena pemerintah belum secara serius melakukan
efisiensi dalam segala segi sehingga solusi kesulitan subsidi itu bisa diatasi.
Meski demikian, saya juga tidak sependapat dengan langkah para pejabat
pemerintah itu yang ikut ramai-ramai turun ke jalan.
Sebagai pejabat publik
dan pejabat negara, seharusnya mereka menyadari betul bahwa mereka kini bukan
lagi semata-mata mewakili parpol tertentu. Mereka sudah terikat dengan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada. Mereka juga harus berdiri di atas semua
golongan. Karena itu, menjadi aneh jika mereka justru lebih mematuhi perintah
pimpinan parpolnya ketimbang mematuhi undang-undang. Padahal, sebelum memangku
jabatan publik tersebut, mereka telah mengucapkan sumpah seperti diatur dalam
Pasal 110 Ayat (2) UU No 32 tahun 2004.
Bunyi sumpah itu adalah “Demi Allah (Tuhan), saya
bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan
bangsa”.
Jadi, jika Menteri
Dalam Negeri Gawaman Fauzi mengancam akan memberikan sanksi administrasi kepada
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berunjuk rasa menolak rencana
kenaikan BBM, itu masih dalam koridor UU yang ada. “Sumpah
jabatan kepala daerah, antara lain, patuh pada peraturan dan
perundang-undangan. Kalau ada undang-undang, keppres, peraturan pemerintah yang
mengatur soal itu (kenaikan BBM), apa boleh mereka tidak setuju? Kalau
melanggar sumpah, bisa diberhentikan,” ujar menteri yang berasal dari Solok, Sumatera Barat ini (www.
waspada.co.id 26 Maret 2012).
Masalahnya, beranikah
Menteri Gamawan menjatuhkan sanksi itu. Atau jangan-jangan dia hanya gertak
sambal seperti yang selama ini disampaikan bosnya.
Saya suka sambal.
Palmerah, 280312
**pro**