Selasa, 27 Maret 2012

Wali Kota Demo, Mendagri Siapkan Sanksi



Unjuk rasa yang dilakukan satu wali kota dan dua wakil wali kota untuk  menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Selasa (27/3), menunjukkan ketidaktaatan ketiganya terhadap etika pemerintahan. Selain itu, tiga kader partai politik (parpol) tertentu itu pun sepertinya tidak mengerti atau paling tidak kurang memahami sistem pemerintahan di Indonesia dan struktur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai Wali Kota Malang, Wakil Wali Kota Surabaya, dan Wakil Wali Kota Solo, semestinya Peni Suparto, Bambang DH,  dan FX Hadi Rudyatmo, menyadari bahwa mereka kini adalah pejabat negara, pejabat pemerintah, dan pejabat publik. Mereka tidak bisa lagi bertindak dengan mengedepankan kepentingan pribadi, parpol, atau kelompoknya. Mereka terikat dalam etika pemerintahan dan segala perundang-undangan yang ada, termasuk sumpah yang telah mereka ucapkan.
Sebagai pejabat pemerintah, sesungguhnya mereka tidak bisa lepas dari segala sesuatu yang telah diputuskan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan selagi keputusan itu tidak melanggar UU. Konstitusi kita secara tegas menyebutkan bahwa  “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang” (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Dengan adanya pasal itu, sesungguhnya hanya Presidenlah yang memiliki kekuasaan pemerintahan di negara ini. Tetapi, karena kekuasaan pemerintahan itu begitu luas dan kompleks, maka Presiden dibantu oleh  para menteri yang diangkatnya. Presiden juga melimpahkan kekuasaan itu kepada menteri-menterinya sesuai bidang tugas yang diemban seperti disebutan dalam pasal 17 UUD 1945 ayat (3) hasil perubahan pertama tahun 1999 yang berbunyi:  “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dan pemerintahan”.
Di samping itu, Presiden pun memberikan kekuasaan pemerintah kepada para gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (selanjutnya disebut pemerintah) dan instansi vertikal pemerintah di daerah dalam bentuk dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), serta menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan atau yang disebut desentralisasi. Selain dekonsentrasi dan desentralisasi, pemerintah juga bisa memberikan tugas pembantuan atau penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Untuk setiap penugasan atau pelimpahan/penyerahan wewenang pemerintahan itu diikuti dengan pendanaan. Semua ketentuan ini secara jelas diatur dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Meski konsitusi memberikan kekuasaan kepada daerah dalam bentuk otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Ayat (2) Pasal 18 UU 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”, bukan berarti antara bupati, wali kota, dan gubernur, tidak memiliki hubungan. Kebebasan mengatur urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan yang masih dipegang pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fisnal nasional, serta agama) itu hanya terkait dengan otonomi daerah. Tetapi, hierarki pemerintahan tetap ada. Di negara federal pun, antara negara bagian dengan pemerintah pusat masih tetap memiliki hubungan. Apalagi Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Ayat (1) Pasal 1 UUD 1945).
Karena itu, menjadi aneh ketika para kepala daerah dan wakil kepala daerah justru ramai-ramai ikut berunjuk rasa menentang kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah pusat –dan tentunya akan diputuskan dalam bentuk UU jika disetujui oleh DPR. Saya tidak setuju dengan kenaikan harga BBM karena pemerintah belum secara serius melakukan efisiensi dalam segala segi sehingga solusi kesulitan subsidi itu bisa diatasi. Meski demikian, saya juga tidak sependapat dengan langkah para pejabat pemerintah itu yang ikut ramai-ramai turun ke jalan.
Sebagai pejabat publik dan pejabat negara, seharusnya mereka menyadari betul bahwa mereka kini bukan lagi semata-mata mewakili parpol tertentu. Mereka sudah terikat dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Mereka juga harus berdiri di atas semua golongan. Karena itu, menjadi aneh jika mereka justru lebih mematuhi perintah pimpinan parpolnya ketimbang mematuhi undang-undang. Padahal, sebelum memangku jabatan publik tersebut, mereka telah mengucapkan sumpah seperti diatur dalam Pasal  110 Ayat (2) UU No 32 tahun 2004. Bunyi sumpah itu adalah “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Jadi, jika Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi mengancam akan memberikan sanksi administrasi kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berunjuk rasa menolak rencana kenaikan BBM, itu masih dalam koridor UU yang ada. “Sumpah jabatan kepala daerah, antara lain, patuh pada peraturan dan perundang-undangan. Kalau ada undang-undang, keppres, peraturan pemerintah yang mengatur soal itu (kenaikan BBM), apa boleh mereka tidak setuju? Kalau melanggar sumpah, bisa diberhentikan,” ujar menteri  yang berasal dari Solok, Sumatera Barat ini (www. waspada.co.id  26 Maret 2012).
Masalahnya, beranikah Menteri Gamawan menjatuhkan sanksi itu. Atau jangan-jangan dia hanya gertak sambal seperti yang selama ini disampaikan bosnya.  

Saya suka sambal.
Palmerah, 280312
**pro**

Jumat, 23 Maret 2012

Perang Kata-kata Antarcagub Dimulai


ANDA tentu ingat bagaimana Abdurrahman Wahid (alm) ketika masih menjadi Presiden RI secara terang-terangan menyindir perilaku anggota DPR yang seperti anak TK. Awal tahun ini, sejumlah politisi Senayan juga beramai-ramai mempertontonkan aksi saling sindir. Nama-nama ikan pun bermunculan. Ada teri, salmon, paus, dan piranha.
Politisi Demokrat, Sutan Bathoegana, menuding politisi PKS dan Golkar sebagai ikan salmon atau intelektual kagetan asal ngomong. Tak diterima dijuluki salmon, politisi PKS balik menuding kader Demokrat ini ikan piranha yang buas. Politisi ikan piranha diartikan sebagai politisi yang pikiran, hati, dan bicaranya suka beda, kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari PKS, Nasir Jamil.
Bambang Soesatyo yang geram disebut ikan salmon balik menuding ’musuhnya’ sebagai ikan teri asin. Tak mau ketinggalan, politisi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, bilang bahwa semuanya akan berakhir pada saat ikan paus muncul. Ikan paus akan menelan ikan salmon, teri asin,  dan piranha.
Apa berhenti di sini. Ternyata tidak. Saling sindir antaranggota dewan memang untuk sementara stop. Tapi, kini muncul perilaku saling ejek atau  sindir yang biasanya menjadi perilaku keseharian anak-anak itu menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta 2012. ‘Pemainnya’ adalah sejumlah calon DKI 1 (sebutan untuk calon Gubernur DKI) dan calon DKI2 (calon wakil gubernur). Ada yang dengan bahasa halus ada pula yang dengan cara sarkasme (kasar).
Pada Minggu, 4 Maret 2012, Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin ketika namanya baru disebut-sebut bakal maju dalam Pemilukada DKI 2012, melontarkan pernyataan yang menggelitik. Dia berujar, “Dalam tiga tahun, Gubernur Sutiyoso mampu membangun 10 koridor busway. Tetapi, Foke dalam lima tahun hanya membangun satu koridor busway.”
Bus Transjakarta atau bus yang melaju di jalur khusus –biasa disebut juga busway—pertama kali dibangun Gubernur DKI Sutiyoso pada 15 Januari 2004 yang melayani rute Blok M-Jakartakota. Gubernur kelahiran Semarang, 6 Desember 1944 itu memimpin Jakarta sejak 1997 hingga 2007. Angkutan umum yang diadopsi dari Bogota ini, pada era pemerintahan Sutiyoso bisa dibangun sampai 10 koridor. Jalur bus Transjakarta koridor IX (Pinangranti-Pluit) dan koridor X (Cililitan-Tanjungpriok) dibangun 2007, di akhir pemerintahan Sutiyoso. Tetapi, mulai dioperasikan akhir 2010 pada era Gubernur Fauzi Bowo.  Tahun 2011, Fauzi membangun dan mengoperasikan Transjakarta koridor XI (Kampungmelayu-Pulogebang).
Alex juga menyindir Foke –panggilan Fauzi Bowo-- yang tidak bisa mengatasi macet Jakarta meski telah lima tahun memimpin Ibu Kota. Dia menyatakan sanggup mengatasi masalah kronis itu dalam waktu tiga tahun. Jika tidak selesai, Alex berjanji akan mundur.
Menanggapi kritikan itu, Foke tak mau kalah. Menurutnya, masalah macet Jakarta tak mungkin diatasi hanya dalam waktu tiga tahun. Itu omongan yang sangat mustahil. "Emang tukang sulap David Copperfield," katanya dengan nada ketus, Selasa (20/3).
Bahkan sehari sebelumnya, ketika deklarasi dirinya yang berpasangan dengan Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli, Foke melemparkan sendiri yang lebih pedas. Dia yang lahir dan besar di Jakarta, tidak redo jika Ibu Kota akan diobok-obok oleh orang lain. “Saya tidak ikhlas Jakarta diacak-acak oleh orang lain. Orang lain bisa pulang ke kampungnya, kalau saya pulang ke mana,” ujar Foke di hadapan para pendukungnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (19/3) malam. Ayah Foke berasal dari Jawa Timur, sedangkan ibunya asli Betawi.
Selasa (20/3), pernyataan Foke yang pada 2007 dikenal dengan tagline kampanye serahkan pada ahlinya dan coblos kumisnya itu mendapat tanggapan Hidayat Nur Wahid, calon Gubernur dari PKS, yang berpasangan dengan Didik J Rachbini. Hidayat yakin tidak ada niatan dari calon yang berasal dari luar Jakarta yang akan mengacak-acak Ibu Kota. Joko Widodo, Wali Kota Solo, yang dicalonkan menjadi gubernur berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) oleh PDIP-Gerindra, serta Alex-Nono Sampono yang dicalonkan oleh Partai Golkar, PDS, dan sejumlah partai nonparlemen, pasti berniat baik untuk membangun Ibu Kota.
Siapa pun yang datang ke Jakarta bukan datang untuk mengobok-obok Jakarta. Pak Jokowi dan Pak Alex Noerdin tidak ingin mengobok-obok Jakarta. Succsess story yang mereka miliki di Solo dan Sumsel mau dibawa ke Jakarta dan saya welcome,"kata Hidayat kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (20/3/2012) seperti dikutip detik.com. Jakarta bukan cuma punya orang Betawi, katanya.
Hidayat malah mempertanyakan soal keahlian Foke dalam menangani Jakarta. Hidayat menuding realisasi janji Foke dalam kampanyenya yang lalu tidak sesuai dengan amanah pemimpin yang seharusnya melayani masyarakat. "Jangan seperti sekarang ini, katanya serahkan kepada ahlinya. Tapi masih ada banjir, masih ada penggusuran, masih ada jalan rusak. Ke mana ahlinya?" ujar Hidayat.
Tak mau ketinggalan, Ahok pun mengeluarkan sindiran bahwa saat ini, anak-anak muda Jakarta tidak suka dengan orang berkumis. Idola mereka adalah bintang korea dan Jepang yang tidak berkumis dan masih muda. Tentu, Ahok ingin menyinggung tagline coblos kumisnya Bang Foke serta ingin menjual dirinya yang berasal dari etnis Tionghoa dan tidak berkumis.  Ahok, Bupati Belitung Timur 2005-2010 yang juga anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar ini lahir di lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966.
Menarik memperhatikan ucapan saling sindir antarcalon gubernur yang pemenangnya akan ditentukan dalam pencoblosan pada 11 Juli 2012. Mereka mulai ‘perang’ kata-kata, perang lewat media, dan perang psikologis,  meski belum bekerja untuk warga Jakarta. Saya jadi ingat kata-kata bijak yang disampaikan oleh  filsuf Yunani, Socrates. Katanya, “Tuhan telah menciptakan dua telinga dan satu lidah untukku agar aku banyak mendengar daripada berbicara. Tetapi kalian lebih banyak bicara daripada mendengar”.

Do the Best
Palmerah, 230312
**pro**

Rabu, 21 Maret 2012

Jakarta Beda Bung!


BUKAN hanya karena sebagai Ibu Kota maka Jakarta beda dengan daerah lain. Struktur pemerintahan, otonomi daerah, dan cara penentuan pemenang dalam Pemilukada kota yang lahir pada 22 Juni 1527 ini  pun diatur tersendiri. Tulisan berikut menjelaskan landasan hukum perbedaan tersebut.
Pada 11 Juli 2012 akan digelar pemungutan suara Pemilukada DKI Jakarta putaran pertama. Ada enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang siap berlaga dalam pesta demokrasi lokal Jakarta, yaitu dua pasangan dari jalur perorangan (independen) dan empat pasangan dari jalur partai politik (parpol).Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta memiliki waktu tujuh hari dari 20-26 Maret 2012 untuk memverifikasi berkas pencalonan. Tanggal 27 Maret 2012, KPU DKI akan mengembalikan berkas kepada calon yang belum lengkap persyaratannya.
Dua pasangan calon dari jalur perorangan adalah Faisal Basri Batubara-Biem Triani Benjamin dan Mayjen (Purn) Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Empat pasangan calon dari parpol atau gabungan parpol adalah Alex Nurdin-Letjen (Purn) Nono Sampono, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Fauzi Bowo-Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli, dan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini. Faisal-Biem mendaftar ke KPU DKI pada Selasa (13/3), Hendardji-Riza Jumat (16/3), Alex-Nono Minggu (18/3), dan tiga pasang calon lainnya mendaftar hari yang sama, yaitu Senin (19/3). Jokowi-Basuki sekitar pukul 17.00, Fauzi-Nachrowi sekitar pukul 22.30, dan setelah itu Hidayat-Didik mendaftar. Tahun ini adalah untuk kedua kalinya pemilihan langsung gubernur dan wagub di Ibu Kota.

Pemilukada pertama kali di Jakarta adalah tahun 2007. Saat itu ada dua pasangan calon, yaitu Fauzi Bowo-Mayjen (Purn) Prijanto dan Komjen (Purn) Adang Daradjatun-Dani Anwar. Fauzi-Prijanto didukung 20 parpol atau setara dengan 72,37 persen akumulasi perolehan suara pada Pemilu 2004, dan Adang -Dani hanya didukung PKS yang meraih 18 kursi DPRD DKI (24 persen). Jumlah anggota DPRD DKI 2004-2009 adalah 75 orang.
Dari 20 parpol pendukung Foke-Prijanto pada 2007, ada delapan parpol peraih kursi DPRD DKI. Parpol-parpol itu adalah Partai Demokrat (PD) yang memiliki 16 anggota di DPRD DKI, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  11, Partai Golkar (PG)  7,  Partai Persatuan Pembangunan (PPP)  7, Partai Amanat Nasional (PAN) 6, Parta Damai Sejahtera  (PDS)  4, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  4, dan Partai Bintang Reformasi (PBR) 2. Jika dihitung perolehan kursi di DPRD DKI, maka dukungan terhadap Fauzi-Prijanto saat itu sebanyak 76 persen suara.
Fauzi gagal mengulangi sukses tahun 2007 yang bisa mengumpukan semua parpol peraih kursi DPRD --kecuali PKS. Saat ini Fauzi-Nachrowi didukung delapan parpol yaitu Partai Demokrat-PAN-Hanura-PKB-PDS (peraih 41 kursi DPRD) dan PBB-PKDI, PMB (nonparlemen). Alex-Nono didukung tiga parpol, yaitu Partai Golkar-PPP-PDS (peraih 18 kursi DPRD), Joko-Basuki didukung lima parpol, yaitu PDIP-Gerindra (peraih 17 kursi DPRD) dan PBR-PNI Marhaenis-Partai Pelopor (nonparlemen), serta pasangan Hidayat-Didik yang didukung PKS (peraih 18 kursi DPRD). Jumlah kursi DPRD DKI 2009-2014 adalah 94 orang.
Sejak berlakunya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi dilakukan oleh DPRD seperti terjadi pada era Orde Baru dan rera reformasi ketika masih menggunakan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat 4 Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen kedua (2002) menyebutkan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Pasal ini yang kemudian menjadi dasar sistem pemilihan kepala daerah yang sebelulmnya dilakukan oleh DPRD menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat seperti diatur dalam UU No 32/2004. Sejak saat itu muncul istilah Pilkadal atau pemilihan kepala daerah langsung.
Tahun 2007, setelah berlakunya UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pilkadal atau pilkada masuk dalam rezim pemilu sehingga secara resmi istilahnya pun berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala  Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Pemilukada yang pertama kali diselenggarakan berdasarkan UU No 22/2007 adalah Pemilukada DKI Jakarta 2007.
Karena kekhususannya sebagai Ibu Kota, DKI Jakarta juga memiliki UU sendiri, yaitu UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini antara lain mengatur beberapa keistimewaan atau perbedaan Jakarta dengan daerah lain, seperti tidak memiliki DPRD II, otonominya hanya di tingkat provinsi, adanya deputi gubernur, dan termasuk di antaranya sistem Pemilukadanya.

Dalam UU No 32 tahun 2004 disebutkan, Pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 % jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila tidak ada yang memperoleh suara 50 %, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Tetapi, khusus untuk DKI Jakarta, syarat untuk ditetapkan sebagai pemenang Pemilukada harus memperoleh suara lebih dari 50 persen.
Ketentuan pemenang Pemilukada di DKI Jakarta diatur dalam Pasal 11 UU No 29 tahun 2007. Ayat (1) pasal ini berbunyi: Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memeperoleh  suara lebih dari 50 persen, ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Ayat (2) berbunyi: Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.  
Dari sini jelaslah bahwa untuk bisa menjadi DKI 1 dan DKI 2, maka  pasangan calon harus mampu meraih dukungan mayoritas. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) di Jakarta tahun 2012 ini adalah 7.545.989 jiwa. Dari jumlah pemilih potensial itu, untuk kategori perempuan adalah 3.678.745 orang dan laki-laki 3.867.244 orang. KPU segera menyusun daftar pemilih sementara (DPS) dan akan diumumkan kepada masyarakat untuk verifikasi data. DPS itu akan diverifikasi lagi sebelum ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT). DPT ini akan diumumkan pada pertengahan Mei 2012.
Degan asumsi DP4 menjadi DPT dan kemudian mereka semua menyalurkan haki pilihnya, maka untuk bisa meraih kemenangan di Jakarta minimal meraih dukungan 3.7729945 suara. Jadi, Jakarta memeng beda sehingga butuh kerja keras untuk memenangi pesta demokrasi lokal ini.  

Silakan Memilih!
Palmerah, 210312
**pro**

Menyeruput Teh Harga Rp 1 Juta


Berbagai jenis teh di pabrik PT PN VIII Malabar, Bandung

Teh. Rasanya tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.  Tapi, pernahkan Anda menyeruput teh seharga Rp 1 juta. Atau, pernahkan Anda melihat bentuk dan warna teh yang sebagian besar diekspor ke Jepang ini? Saya merasa beruntung karena bisa menikmati teh super tersebut dan melihat proses pengolahannya, meski hanya sekilas.

Minggu terakhir di bulan Desember 2011, saya mengunjungi pabrik teh Malabar yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PT PN) VIII di Malabar, Pengalengan, Bandung, Jawa Barat. Pabrik ini adalah peninggalan Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha (1865-1928). Meski berusia seratusan tahun lebih, pabrik itu tetap berproduksi dengan baik. Cara kerja sejumlah mesinya pun masih manual, mirip dengan cara kerja ketika pabrik itu pertama kali dibangun.
Sekadar informasi, Bosscha adalah WN Belanda yang membangun, mengembangkan, dan mengelola  perkebunan teh di  Jawa Barat sekitar tahun 1896. Dia datang ke Indonesia tahun 1887. Beberapa peninggalan meneer yang meninggal dan dimakamkan di tengah perkebunan teh di Malabar itu antara lain Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung), Societeit Concordia (Gedung Merdeka Bandung, tempat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika), dan Observatorium Bosscha, gedung peneropong bintang yang memiliki lensa terbesar di dunia saat itu (1923-1926). Beberapa karya peninggalan juragan Bosscha –sebutan warga Pengalengan terhadap Bosscha— tertutilis di sebuah prasasti yang didirikan di dekat makamnya.
Pabrik teh Malabar adalah salah satu peninggalannya yang hingga kini masih beroperasi.  Pabrik ini mampu mengolah 50 ton daun teh per hari. Setelah melalui proses pelayuan (daun teh yang masih segar ditiup dengan angin pada suhu tertentu supaya menjadi layu), penggilingan, hingga pengiringan, maka dari bahan yang sama itu akan menghasilkan  sedikitnya 12 jenis teh. Keduabelas jenis teh itu adalah OPS, OP, BS, FF, BOP I SP, BOP I, BOP, BOPF, P FANN, Dust, BT, dan BP.  Jenis OPS sampai bop I sp masuk kategori teh high class. Harga tertinggi di kelas ini adalah jenis orange pecco (pekoe) special atau OPS. “Harga the jenis OPS Rp 1 juta per kilogram,” ujar Agus, petugas pabrik teh Malabar yang memandu saya dan rombongan mengunjungi pabrik tersebut. 
Menurut Agus, harga teh high class itu mulai dari Rp 100.000 per kilogram sampai Rp 1 juta per kilogram. Sedangkan harga teh jenis bop I sampai bp rata-rata Rp 50.000 per kilogram. Karena harganya yang aduhai itu, maka selama ini belum ada perusahaan dari dalam negeri yang meminta teh jenis OPS. “Teh ini khusus diekspor untuk memenuhi permintaan pemerintah Jepang. Jadi, belum pernah ada perusahaan lokal yang pesan,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah yang meminum teh OPS itu kaisar dan pejabat tinggi di Jepang, Agus tak bisa memastikan. Dia hanya mengatakan, selama ini teh jenis OPS hanya dikirim ke Jepang. Paling banyak setahun 500 kg. Dia juga menunjukkan sejumlah produk berasal dari teh yang diproduksi di Jepang, antara lain teh celup (di bungkusnya tertulis Java Tea) dan juga minuman teh dalam botol. Kalau minuman  teh dalam botol produksi pabrik Indonesia dijual sekitar Rp 3.000/botol, tetapi produk Jepang itu dijual sekitar Rp 150.000/botol.
Menurut Agus, untuk setiap 50 ton daun teh, paling hanya menghasilkan 10 kg teh OPS. Waktu yang dibutuhkan sekitar 10 hari karena harus dipilah dan dipilih secara manual. Biasanya, teh jenis OPS itu menempel pada sarung tangan petugas bagian penyortiran. “Kalau teh yang kelas satu diletakkan di atas kain selimut putih hitam yang biasanya dipakai di rumah sakit, dia pasti menempel. Ini juga salah satu cara menyortirnya, selain kita pilihin satu per satu yang berwana putih,” tambah Agus.
Bisa jadi, selain karena aroma dan rasanya, proses  yang masih manual dan membutuhkan waktu lama itulah yang membuat harga OPS ‘selangit’.  Tetapi, untuk mempercepat proses penyortiran teh kualitas wahid itu, saat ini sudah ada mesin khusus yang didatangkan dari Argentina. Meski demikian, bantuan atau cara manual tetap dilakukan untuk menjaga kualitasnya
Teh OPS itu diambil dari kuncup daun teh. Karena itu,  warnanya tak lagi coklat atau hitam, tetapi putih. Meski demikian, setelah dimasukkan ke cangkir berisi air mendidih, maka teh putih itu akan mengubah air menjadi berwarna coklat, tetapi tidak pekat (light). Meski didiamkan beberapa lama, warnanya tak berubah. Berbeda dengan teh-teh yang banyak beredar di pasaran yang sering kali warnanya berubah dari coklat menjadi kehitam-hitaman.
Saat saya dan rombongan mengunjungi pabrik tersebut, kebetulan akan ada kunjungan tamu khusus bersama pejabat perkebunan yang akan melihat berbagai jenis teh. Karena itu, di salah satu ruangan telah disiapkan 12 jenis teh yang diletakkan di atas nampan kecil. Di depan nampan itu terdapat cangkir berisi air teh dari ke-12 jenis teh tersebut.
Saya diberi kesempatan untuk membaui dan menyeruput secangkir teh ‘kaisar’ Jepang tersebut. Aromanya sangat menyegarkan. Rasanya pun  berbeda dibandingkan teh-teh yang selama ini saya beli di pasaran di Jakarta. Tidak ada warna yang tertinggal atau menempel di cangkir putih yang dipakai untuk menyeduhnya, seperti yang terjadi jika saya menyeduh teh celup merek-merek ternama. Sengaja saya tidak campurkan gula supaya bisa mencecap rasa asli teh tersebut.  Sungguh pengalaman berharga bisa melihat proses pembuatan dan meneguk teh jenis orang pecco special yang selama ini hanya diekspor ke Jepang tersebut. 
Monggo nyruput teh
**pro**

Arwah Bosscha Rutin Kunjungi ITB


Anda tentu tahu Bosscha. Tepatnya bernama Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha. Ternyata, orang Belanda yang merintis pendirian Institut Teknologi Bandung (dulu Technische Hogeschool) diyakini oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Malabar, Pengalengan, Bandung, masih hidup. Bahkan secara rutin dia mengunjungi kampus ITB dan juga bermain piano di rumahnya nan asri di tengah perkebunan teh  di Malabar.

Saya memang tidak bertemu langsung dengan Bosscha di Malabar, kecuali menemukan sejumlah peninggalannya yang masih tersimpan rapi di rumahnya. Peninggalan dimaksud antara lain rumah dan isinya seperti penyaring air minum (pure drinking water filter) dari keramik buatan England, piano buatan tahun 1837, seperangkat billiard, lemari, meja, dan foto diri, serta gubuk kecil di Gunung Nini (bukit paling tinggi perkebunan teh) yang dimanfaatkan oleh Bossca untuk mengawasi aktivitas di perkebunan itu.Selain itu, saya juga tahu peninggalan lainnya, seperti Gedung ITB dan observatorium Bosscha.
Meski demikian, cerita-cerita keberadaan Bosscha yang masih hidup sangat diyakini oleh masyarakat di sekitar Malabar. Maman (60-an), petugas dapur  di rumah Bosscha; Ophir (60-an), juru kunci makam Bosscha; dan Endang (65),  tukang bersih taman di sekitar gubuk kecil di Gunung Nini, adalah orang-orang yang tetap yakin Bosscha masih ada dan terkadang hadir menengok peninggalannya. Cerita di antara mereka juga seperti saling melengkapi, sehingga jika kita mendengarkan omongan ketiga orang itu terkadang seperti membayangkan kehadiran sosok lelaki bertubuh besar dan berkumis tebal tersebut, seperti terlihat pada foto yang dipampang di rumah Bosscha.
“Kadang juragan Bosscha main piano. Waktu malam Natal kemarin (2011) banyak yang mendengar suara piana yang dimainkan juragan Bosscha,” ujar Endang yang tinggal di sebuah rumah di perkampungan khusus pekerja PT PN VIII, tak jauh dari rumah Bosscha. Dia mengatakan itu saat saya temui akhir tahun 2011.
Maman yang mengaku sudah pensiun dari PT PN VIII tetapi dipekerjakan kembali itu mengatakan, Bosscha  sering bermain billiard atau menonton orang yang memainkan billiard di rumahnya. Meja billiard, lengkap dengan tiga bola, stik, dan papan pencatat nilai, serta kursi panjang untuk tempat duduk penonton, masih terdapat di lantai bawah rumah Bosscha. “Ya percaya nggak percaya. Tetapi, juragan Bosscha memang sering main billiard. Saya pernah melihat malam-malam,” ujarnya.
Pendapat yang cukup mengejutkan disampaikah Ophir yang mengaku sudah beberapa tahun ini menjadi penjaga (kuncen) makam Bosscha yang terletak di hutan kecil tak jauh dari rumahnya. Kompleks makam yang dipagar itu terlihat rapi karena setiap hari dibersihkan oleh Ophir yang terkadang ditemani oleh istrinya. Dia membersihkan makam itu, selain karena memang mendapat tugas dari perusahaan, juga karena mengaku diperintah langsung oleh tuan Bosscha yang tidak suka jika makamnya kotor.
“Bahkan waktu bangku besi yang biasa dipakai untuk duduk-duduk juragan Bosscha hilang,  beliau bilang ke saya supaya diikhlaskan saja. Padahal bangku itu dulunya sering dipakai untuk istirahat juragan,” ujar Ophir. Dia menambahkan, Bosscha tidak hanya hadir di makam, tetapi secara berkala mengunjungi beberapa peninggalannya. Misalnya hari Senin dia menengok Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, hari Selasa melihat Gedung Merdeka, Badung, dan hari Rabu melihat Gedung  ITB. Hari-hari lainnya dia manfaatkan untuk mengontrol perkebunan Malabar, Ciwidey, dan juga melihat rumahnya.
“Saya nggak bohong. Saya kan bertemu juragan Bosscha di sini dan cerita bahwa juragan masih secara rutin ngontrol peninggalannya. Cerita saya juga nyambung dengan orang-orang yang pernah bertemu  dengan juragan Bosscha di Lembang, ITB, atau tempat lain. Pasti harinya sama,” ujar Ophir.
Masyarakat Malabar memang tahu bahwa Bosscha itu secara fisik telah dikubur di hutan kecil di tengah perkebunan teh. Tempat penguburan itu adalah permintaan terakhir sang meneer sebelum meninggal. Buat warga Malabar, Bosscha adalah sosok orang asing yang sangat baik. Dia tidak hanya sering membantu warga susah, tetapi juga mengembangkan pendidikan dan kesehatan. Sebuah sekolah dasar yang dibangun Bosscha di Malabar masih tetap ada dan menjadi tempat pendidikan hingga sekarang.
“Bahkan belum lama ini ada orang tua di sini yang sakit, dia minta tolong ke juragan Bosscha dan ternyata sembuh juga,” tambah Ophir.  “Memang dia kan orang asing, tetapi sudah dianggap seperti orang kita aja karena sangat baik.”
Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha lahir di Belanda tahun 1865 dan meninggalkan tahun 1928 di Malabar setelah terjatuh dari kudanya saat melihat-lihat perkebunan teh. Bosscha membangun, mengembangkan, dan mengelola  perkebunan teh di Malabar sekitar tahun 1896. Dia datang ke Indonesia tahun 1887. Secara resmi, dia tidak menikah. Tetapi, warga sekitar Malabar tahu bahwa juragan Bosscha memiliki istri selir dan mempunyai tiga orang anak. Meski Bosscha berasal dari negara penjajah, oleh warga sekitar tetap dihormati karena perilakunya yang baik. Seperti pepatah Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama. Meski secara fisik Bosscha sudah meninggal dan makamnya pun terawat dengan baik, masyarakat sekitar tetap menganggap juragannya itu masih hidup. Bahkan masih sering dimintai bantuan. Hebat!
Palmerah, 13 Januari 2012

Selasa, 20 Maret 2012

Perjalanan Foke Tak Akan Mulus


Masa pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta berlangsung Selasa (13/3) sampai Senin (19/3). Meski demikian, hingga Rabu (14/3) sejumlah partai politik (parpol)  masih malu-malu kucing.  Hanya ada beberapa pimpinan parpol yang secara terang-terangan sudah berani menyebutkan jagoan mereka. 
Ketua Umum Partai Golkar (PG) Aburizal Bakrie termasuk pimpinan parpol yang paling awal mengumumkan pasangan calon yang bakal mereka usung pada Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta 2012. Berkoalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS), partai berlambang pohon beringin itu mengusung Alex Nurdin sebagai calon gubernur dan Letjen (Purn) Nono Sampono sabagai calon wakil gubernur.
Pertimbangan Alex sebagai cagub antara lain karena Gubernur Sumatera Selatan itu memiliki tingkat popularitas yang lumayan baik, meski masih kalah dari calon pentahana (incumbent), yaitu Gubernur DKI Fauzi Bowo. Bahkan popularitas Alex pun masih di bawah bakal calon (balon) PG lainnya, Tantowi Yahya. Tetapi, Tantowi tidak mampu atau kalah cepat dalam merangkul PPP dan PDS sebagai mitra koalisi.
Keberadaan  PPP dan PDS sangat penting. Hal ini karena tanpa kedua partai itu, PG tidak akan mampu mencalonkan sendiri pasangan cagub-cawagub. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, pasangan calon kepala daerah dari partai politik didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 15 persen suara pada Pemilu atau meraih 15 persen kursi di DPRD.
Jumlah anggota DPRD DKI periode 2009-2014 adalah 94 orang. PG meraih  7 kursi atau hanya 7,44 persen. Syarat minimal untuk bisa mengusung pasangan calon adalah meraih 15 kursi di DPRD DKI. Dengan menggandeng PPP yang memperoleh 7 kursi dan PDS yang memperoleh 4 kursi, maka koalisi Alex-Nono memiliki modal 18 kursi atau 19,4 persen. Modal yang pas-pasan untuk bisa bertarung memperebutkan kursi nomor satu di Ibu Kota ini.
Lantas bagaimana dengan calon lain? Meski belum ada pengumuman resmi, hamper pasti sang pentahana, Fauzi Bowo, bakal maju lagi. Anggota Dewan Pembina  Partai Demokrat (PD)  secara terang-terangan mengaku telah didukung oleh Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  Pernyataan Foke –panggilan Fauzi—disampaikan dua hari setelah Ketua Umum PD Annas Urbaningrum mendukung Ketua DPD PD DKI Jakarta, Mayjen Purn Nahrowi Ramli, sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta pada Pemilukada DKI 2012. Tetapi, Annas juga bilang bahwa keputusan akhir diserahkan kepada SBY.
Apakah Fauzi hanya didukung oleh PD? Belum jelas betul karena belum ada hitam putih dan pernyataan resmi  dari pimpinan pusat parpol. Tetapi, berdasarkan lobi-lobi yang dilakukan oleh Foke dan timnya serta pernyataan sejumlah pimpinan parpol, dukungan parpol terhadap doktor perencanaan kota lulusan Jerman itu mulai terang. 
Setidaknya ada enam parpol peraih kursi DPRD DKI yang ‘merapat’ ke Foke. Keenam parpol itu adalah Partai Demokrat (PD) yang memiliki 32 anggota di DPRD DKI, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 11 anggota, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 4 anggota, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)  6 anggota, Partai Amanat Nasional (PAN)  4 anggota, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1 anggota. Keenam partai itu menguasai 58 kursi (61,70 persen) DPRD DKI.
Dari keenam partai itu, Partai  Hanura dan PAN bisa dibilang sudah dikunci. PDIP meski telah menjagokan kadernya, Adang Ruchiatna sebagai calon wagub untuk mendampingi Foke,  pimpinan partai berlambang kepala banteng ini masih mencoba bermanuver. Mereka masih saja menyampaikan dua alternatif, yaitu  mengurung kader sendiri menjadi calon gubernur –konsekuensinya berkoalisi dengan parpol lain— dan mengusulkan kadernya untuk mendampingi Fauzi.
“Kami masih menjalin komunikasi dengan Partai Gerindra,” ujar Djarot Syaefullah, Ketua DPD PDIP DKI Jakarta ketika ditanya kemungkinan partai ini menjagokan Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai Cagub. Tetapi, Djarot juga tidak menipis alternative lain, yakni mendukung Adang Ruchiatna untuk mendampingi Foke.
Partai Gerindra, lewat Ketua DPD DKI Jakarta, telah mendukung  Fauzi Bowo. Meski demikian, sekjen partai ini masih saja memanas-manasi Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi), agar mau maju sebagai calon gubernur. Jika PDIP mengusung Jokowi, Gerindra siap berkoalisi. Kedua partai ini menguasai 17 kursi DPRD DKI (18 persen).
Jika dibandingkan Pemilukada DKI 2007, pada Pemilukada DKI tahun ini peta politiknya relatif lebih susah dibaca. Selain karena munculnya calon independen setelah UU No 32 tahun 2004 diamandemen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) seperti tertuang dalam putusan bernomor  5/PUU-V/2007,  semangat untuk menjadikan PKS sebagai ‘musuh bersama’ seperti yang terjadi pada tahun 2007 juga mulai mengendor.
Pemilukada DKI 2007 hanya diikuti oleh dua pasangan, yaitu Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung  oleh  20 partai  atau setara dengan 72,37 persen akumulasi perolehan suara pada Pemilu 2004, dan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang hanya didukung oleh PKS yang meraih 18 kursi DPRD DKI (24 persen). Jumlah anggota DPRD DKI 2004-2009 adalah 75 orang.
Dari 20 parpol pendukung Foke-Prijanto pada 2007, parpol peraih kursi DPRD DKI adalah Partai Demokrat (PD) 16 anggota, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  11, Partai Golkar (PG)  7,  Partai Persatuan Pembangunan (PPP)  7, Partai Amanat Nasional (PAN) 6, Parta Damai Sejahtera  (PDS)  4, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  4, dan Partai Bintang Reformasi (PBR) 2. Jika dihitung perolehan kursi di DPRD DKI, maka dukungan terhadap Fauzi-Prijanto sebanyak 76 persen suara.
Jika benar Fauzi didukung oleh enam parpol peraih 61,70 persen kursi DPRD, jika dibandingkan Pemilukada 2007, berarti terjadi penurunan  dukungan sebesar 14,3 persen. Dari jumlah partai pendukung pun berkurang 14 parpol. ***
Bagaimana dengan calon lain? PKS yang meraih 18 kursi (19,14 persen) DPRD DKI, sepertinya akan kembali ‘bersolo karier’. Partai ini yang sebelumnya berharap dipinang Foke dengan mengusung atau menjagokan mantan Ketua DPW PKS DKI Jakarta, Triwisaksana, ternyata kemungkinan akan berjalan sendiri. Sebuah sumber menyebutkan, Foke tidak bersedia berkoalisi dengan PKS karena tidak direstui oleh SBY. Wakil Sekjen PKS Mahfud Sidik menyebut ada kekuatan sangat besar yang mencegah duet Foke-Triwisaksana.
Sejumlah figur, antara lain Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden Partai Keadilan (PKS), mulai digadang-gadang bakal diduetkan dengan Triwisaksana. Hidayat adalah anggota DPR 2009-2014 dari Jawa Tengah. Pada Pemilu 2004, ketika Hidayat  menjadi anggota DPR mewakili DKI Jakarta, dia termasuk anggota dewan yang paling banyak dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya, dia memiliki modal, meski dalam survey tingkat popularitas tidak pernah muncul.
 Dua pasangan calon independen, yaitu pasangan  Faisal Basri Batubara-Biem Triani Benjamin dan Mayjen Purn Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria telah menyampaikan surat dukungan. Setelah diverifikasi, Hendardji-Riza masih butuh sekitar 14.000 dukungan lagi, sedangkan Faisal-Biem butuh sekitar 190.000 dukungan. Hendardji-Riza di atas kertas tentu akan lebih mudah memperoleh 14.000 dukungan dibandingkan Faisal-Biem yang harus bergerilya mengumpulkan 190.000 dukungan.
Jika kedua calon independen itu itu lolos, maka Pemilukada DKI 2012 akan diikuti setidaknya lima pasangan calon. Syarat untuk menjadi pemenang pada Pemilukada DKI harus meraih 50 persen lebih suara seperti diatur dalam UU No 29 tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.  Ayat (1) Pasal 11 UU ini berbunyi: Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memeperoleh  suara lebih dari 50 persen, ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Ayat (2) berbunyi: Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.  Untuk daerah lain, syarat menjadi pemenang pemilukada adalah meraih suara 25 persen atau lebih.
Dengan syarat harus meraih dukungan mayoritas (50 persen lebih), maka jika ada lima pasangan calon, sangat sulit bahwa Pemilukada DKI 2012 akan berlangsung satu putaran. Karena itu, dua pasangan calon yang meraih suara terbanyak, bakal bertarung kembali pada Pemilukada DKI putaran kedua. Fauzi Bowo pun berlu kerja keras jika ingin kembali menjadi DKI1. Siapa pemenangnya, sebenarnya sudah bisa ditebak, tapi biarkan sekitar 7 juta pemilih Jakarta yang akan menentukannya. 

Jangan salah pilih! 
-pro-
Catatan: Tulisan ini dibuat Rabu (14/3).