Rabu, 27 Maret 2019

Netizen Kekuatan Kelima setelah Pers yang Rentan Serangan Hoax

Penulis: Suprapto*
Netizen adalah kekuatan kelima, melengkapi empat kekuatan sebelumnya: legislatif, yudikatif, eksekutif, dan pers. Bagaimana peran dan posisinya kini. Bagaimana kekuatan kelima ini menghadapi hoax?
DELAPAN tahun lalu, Geoff Livingston  menulis buku berjudul Welcome to The Fifth Estate yang berisi fenomena munculnya kekuatan atau kekuasaan kelima yang bersumber dari lahirnya media sosial atau social media.
Pengguna media sosial –biasa disebut netizen (warganet)-- telah menjelma menjadi sebuah kekuatan  atau pemilik kekuasaan.
Para netizen sebagai anggota komunitas,  yang memiliki suara kuat untuk memengaruhi publik, tidak akan menggantikan media, tetapi justru menambah.
Livingston (2011:9) mengatakan, social media has assumed its place in the larger media mix. It has become the fifth estate . Media sosial telah mengambil perannya dalam percampuran media yang lebih besar. Media  sosial telah menjadi kekuatan atau kekuasaan kelima.
Pada masa lalu, era konvensional, operasi hubungan media massa dalam komunikasi  mengambil pendekatan pesan dari atas ke bawah. Top down.
Dalam sebuah organisasi, hanya juru bicara yang ditugaskan dapat berbicara kepada media atau di depan umum atas nama perusahaan atau organisasi pemerintahan/nirlaba.  
Kebenaran atau opini seolah-olah hanya milik pengelola media, para gatekeeper di dalam news room.
Sekarang,  dengan berkembangnya  teknologi internet yang melahirkan media baru dan jejaring sosial online, mampu menciptakan dunia di mana pendekatan media massa yang bersifat top down atau satu arah, tidak lagi berfungsi. Pendekatan ini sudah ditinggalkan.
Kini, komunikasi bersifat menyebar dan siapa saja bisa memproduksi informasi atau berita. Dunia seperti dalam genggaman.
Thomas L. Friedman (2007) menyebut the world is flat atau dunia semakin rata sehingga setiap orang, siapa saja dengan berlatar belakang apa saja, bisa mengakses apa pun dari sumber mana pun secara real time.
Para netizen ini tak hanya sekadar konsumen, mereka juga bisa menjadi produsen. Mereka adalah sebuah kekuatan baru.

Munculnya Istilah Fifth Estate 
Istilah the fifth estate sekaligus melengkapi istilah fourth estate (kekuatan keempat) sebelumnya. Istilah kekuatan atau kekuasaan keempat  mengacu pada pers atau media massa yang memiliki kekuasaan dalam membingkai isu-isu politik untuk memengaruhi publik dan pemegang kekuasaan lainnya. 
Meskipun tidak secara formal diakui sebagai bagian dari sistem politik, the fourth estate memiliki pengaruh sosial secara tidak langsung yang signifikan.  
Karena memiliki peran melakukan kontrol terhadap pemerintahan atau pemegang kekuasaan, maka pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, the fourth estate   mendapat julukan sebagai pengawas atau pengontrol pemerintah di Perancis dan Inggris.
Tiga sumber kekuasaan lainnya, jika mengacu pada konsep tradisional Eropa terkait three estate, yakni kekuasaan kaum agamawan, kaum bangsawan, dan rakyat jelata. 
Dalam alam demokrasi, three estate itu  kemudian mengacu atau merujuk pada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dalam konsep trias politika, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau pengadilan.
Pada era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti sekarang,  media sosial berkembang sangat masif   dan  menjelma menjadi sebuah kekuatan yang mampu mengimbangi empat kekuataan sebelumnya. 
Kini, aktivitas generasi milenial lebih banyak membaca media sosial dibandingkan membaca media massa konvensional. 
Sebanyak 50 persen lebih generasi milenial mengakses  media sosial setiap hari dan hanya 9,5 persen yang membaca koran (Survey CSIS November 2017).
Para generasi milenial ini juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengakses internet daripada membaca atau mengakses media tradisional (Rulli Nasrullah, 2016:2).
Karenanya, suara-suara ‘berisik’ para netizen kini tak bisa lagi dianggap buih di lautan.
Suara Netizen dalam Dunia Pemerintahan
Dalam dunia pemerintahan, ‘suara berisik’ para netizen di media sosial bahkan bisa memengaruhi kebijakan publik. Para netizen bisa menekan pemerintahan dan mengawal demokratisasi melalui genggaman tangan.
Ingat kasus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang di-bully oleh para netizen  gara-gara partainya menyetujui lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung (kembali) oleh DPRD.
Bully tak hanya terjadi di dunia maya melalui berbagai meme yang seolah-olah menjadikan SBY sebagai bapak antidemokrasi, tetapi juga di depan mata.
Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP) berdemonstrasi menolak mekanisme Pilkada lewat DPRD. Mereka  membawa piala penghargaan (tropi) bertuliskan 'Bapak Anti Demokrasi Award' kepada SBY  di depan gedung Istana Presiden (merdeka.com, 30/9/2014).
Meme Bapak Anti Demokrasi muncul secara masif di media sosial sampai kemudian Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 tahun 2014 yang mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Para netizen melalui media sosial menunjukkan kekuasaannya. Tetapi, dalam politik berkembang satu ungkapan yang sampai kini masih diyakini benar adanya.
John Emerich Edward Dalberg Acton atau biasa disapa Baron Acton (1834–1902) membuat satu ungkapan bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
Kekuasaan cenderung korup dan apabila kekuasaan itu absolut, maka akan korup menjadi absolut juga.  Artinya, kekuasaan itu cenderung korup atau bisa disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok tertentu dan akan merugikan rakyat banyak.
Kekuasaan yang digunakan secara semena-mena tanpa ada pengawasan atau ketaatan dalam hokum dan etika, maka akan menimbulkan kekacauan, mematikan demokrasi, dan bisa menimbulkan bencana. 
Begitu juga kekuasaan para netizen dengan menggunakan media sosialnya. Penggunaan media sosial secara jor-joran dan tanpa adanya ketaatan serta disiplin dalam mematuhi rambu-rambu hukum, maka yang terjadi adalah kekacauan, korup, dan teror terhadap publik.
Apa itu hoax atau asal usul hoax dari mana?
Hoax atau informasi bohong atau informasi salah pun beredar hampir setiap hari di berbagai grup media sosial. Hoax, seperti ditulis merriam-webster.com,  diartikan sebagai an act intended to trick or dupe (tindakan yang dimaksudkan untuk trik atau menipu).
Kamus dictionary.cambridge.org mendifinisikan hoax sebagai a plan to deceive a large group of people; a trick: rencana untuk menipu sekelompok besar orang; sebuah tipuan.
Rocky Gerung seperti diberitakan Wartakotalive.com mengatakan, asal usul hoax bersumber dari tulisan Prof Alan Sokal di sebuah jurnal yang secara sengaja dipakai untuk menguji keteletian anggota redaksi jurnal tersebut Mei 1996.
"Asal usul hoax itu pertama kali dalam sejarah ilmu pengetahuan ketika profesor fisika namanya Alan Sokal menulis sebuah artikel di sebuah majalah sosial denga nama samaran," ujar Rocky Gerung.
Siapa Alan Sokal yang dimaksudkan Rocky Gerung. Alan Sokal adalah profesor fisika di New York University dan profesor matematika di University College London.
Tulisan Alan Sokal di jurnal Social Text, jurnal ternama di Amerika Serikat, itu lalu dipuji-puji oleh redakturnya tanpa tahu itu bohong.
 Dalam perkembangannya hoax juga diartikan sebagai kabar bohong atau kabar palsu.  Menyebarkan informasi yang salah atau kabar bohong juga  masuk kategori ini dan sering kali diartikan menyebarkan hoax.
Hoax tidak hanya terjadi pada peristiwa-peristiwa politik atau menyangkut figur publik tertentu tetapi juga ketika terjadi sebuah bencana.
Trik dan modus hoax terus berkembang semakin canggih, seiring berkembangnya teknologi. Hoax kini tak hanya berupa teks, foto, atau video, tetapi juga perpaduan ketiganya, bahkan dilengkapi dengan info grafis sehingga seolah-olah benar-benar terjadi.
Penyebaran hoax tahun 2018 pun semakin masif. Hasil survey terhadap 2.032 pemilik smartphone yang dilakukan DailySocial bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, menunjukkan data yang mencengangkan.
Survei dilakukan di seluruh penjuru Indonesia.  Hasil survey itu menyebutkan, 53,25 % responden mengaku sering menerima hoax, 45,08 % responden mengaku kadang-kadang menerima hoax, dan hanya 1,67 % responden yang tak pernah menerima hoax.
Lihat grafis di bawah ini yang bersumber dari DailySocial.


Para netizen tersebut menerima hoax yang muncul atau bersumber dari sejumkah aplikasi.
Tetapi, sebagian besar atau sekitar 81,25 % netizen atau responden  menerima hoax atau sumber hoax dari aplikasi facebook, 56,55 % dari aplikasi whatsapp, 29,48 % dari aplikasi instagram, 11,37 % line, 10,38 % twitter, 5,86 % telegram, dan 1,67 % aplikasi lainnya.
Simak grafis di bawah ini yang bersumber dari DailySocial.


Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari survey maka DailySocial menyimpulkan beberapa poin, yaitu:
1.     Informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).
2.     Sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax.
3.     Mayoritas responden (51,03%)  memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoax.
Data di atas tentu cukup memprihatinkan. Munculnya kekuatan atau kekuasaan kelima (the fifth estate) yang tidak dibarengi dengan literasi media sosial dan ketaatan terhadap etika dan hukum, akan mudah terpapar hoax.
Para netizen itu bisa menjadi korban penyebaran hoax atau bisa juga menjadi produsen hoax dengan berbagai motif di belakangnya.
Ada netizen yang secara sadar memproduksi hoax untuk kepentingan politik, ekonomi, dalih agama, atau balas dendam, tetapi banyak juga yang sekadar iseng atau tidak tahu bahwa perbuatannya tersebut melanggar undang-undang.
Para netizen perlu mengetahui bahwa ada  UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 tahun 2008 tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa menjerat mereka, masuk bui, ketika memproduksi atau menyebarkan hoax.
Jika hoax dilakukan  terkait bencana alam di daerah pariwisata, maka yang dirugikan bukan hanya pemerintah, tetapi rakyat banyak dan bisa jadi penyebar hoax itu sendiri.
Mari, jadilah netizen yang cerdas dan taat  etika dan hukum sehingga the fifth estate itu bukan menjadi penyebar, pembuat, atau korban hoax, tetapi menjadi benteng atau yang bisa memerangi hoax. (***)
* Tulisan ini telah dimuat di buku berjudul Jurnalisme Ramah Pariwisata Diterbitkan Kementerian Pariwisata dan SMSI, Februari 2019, dan Wartakotalive.com 27 Maret 2019.