Rabu, 28 Oktober 2015

Kepemimpinan Mohammad Hatta dan Filosofi Ayam Berkokok

PEMIMPIN yang benar-benar hebat itu dilahirkan, bukan diciptakan.  Itulah inti dari Great Man Theory seperti dikatakan Mark Van Vugt dan Anjana Ahuja dalam The Natural Leader (2015:27). Menurut Van dan Ahuja, seorang individu yang menonjol (the great man) akan muncul pada saat krisis dan menggiring bangsa menuju kemenangan atau menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.


Teori tokoh besar itu sangat pas untuk menggambarkan sosok Mohammad Hatta. Tokoh yang lahir di Fort de Kock (Bukittinggi), Sumatera Barat, pada 12 Agustus 1902 adalah pemimpin yang lahir di tengah-tengah rakyat yang membutuhkan figur yang kuat, teguh dalam memegang prinsip, berani mengambil risiko, berwawasan, dan memiliki intelektual serta pergaulan luas untuk membawa kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda.

Hatta memiliki itu semua. Ia telah belajar kepemimpinan dan organisasi dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Kemudian saat menjadi siswa sekolah menengah di Padang pada 1918, ia ditunjuk sebagai bendahara organisasi pergerakan, Jong Sumatranen Bond (Pemuda Sumatera). Aktivitas dalam organisasi dan kepemimpinan terus digeluti sepanjang hidupnya. Dia juga seorang intelektual yang tak hanya mengenyam pendidikan di dalam negeri, tetapi belajar di sekolah tinggi ekonomi Rotterdamse Handels Hogeschool, Belanda.

Selama di Belanda, ia tak melulu belajar akademik, tetapi juga aktif di organisasi pergerakan untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Dia juga aktif menghadiri dan kemudian menjadi pembicara di sejumlah forum organisasi mahasiswa atau kaum pergerakan untuk menentang imperalisme di sejumlah Negara di Eropa. Kesibukannya dalam pergerakan dan berorganisasi, termasuk di Perhimpunan Indonesia (PI) –Hatta adalah Ketua PI terlama, 1926-1930— membuatnya baru bisa menyandang Drs setelah 11 tahun –dari waktu ideal 5 tahun-- kuliah.

Karena memiliki tingkat intelektual dan berwawasan luas, Soekarno pada 17 Agustus 1945 sekitar pukul 03:00 hanya memercayakan kepada Hatta untuk merancang naskah proklamasi yang dibacakannya beberapa jam kemudian. Kepada Bung Hatta, Soekarno mengatakan, “Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka siding lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.”

Hatta pun tak bisa menolak meski saat itu di salah satu ruang di rumah Marsekal Maeda itu ada Subardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik. Hatta kemudian meminta Bung Karno untuk menulis apa yang ia diktekan. Dalam otobiografi jilid III berjudul Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011:91-92), Hatta mengatakan, kalimat pertama (proklamasi) diambil dari aline ketiga rencana pembukaan UUD 1945, yaitu “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Tapi, kalimat itu belum berisi cara menyelenggarakan revolusi nasional. Lalu Hatta mendiktekan kalimat tambahan: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Pemilik nama kecil Mohammad Athar ini berdarah Minangkabau. Ayahnya, H Mohammad Djamil (30), meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Hatta dan kakaknya, Rafiah, serta ibunya, Siti Saleha, tinggal bersama kakeknya Ilyas bergelar Baginda Marah yang ia panggil Pak Gaek. Ayahnya adalah keturunan ulama besar di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatera Barat. Kakek dari ayahnya adalah pengasuh pesantren yang pada abar ke-19 merupakan pusat pendidikan Islam paling terkemuka di Minangkabau.

Ibunya berasal dari keluarga pedagang atau pengusaha yang secara ekonomi sukses. Selain menjadi pedagang berbagai kebutuhan sehari-hari, Pak Gaeknya dipercaya pemerintah Hindia Belanda untuk memegang pengangkutan pos jalur Bukittinggi-Lubuk Sikaping. Gaeknya juga menyediakan berbagai barang kebutuhan para pekerja di tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat.


Karena usahanya banyak, Pak Gaek mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada anakbuah yang masing-masing bisa mengambil keputusan sesuai wewenang yang diberikan. Usaha jasa pos diserahkan kepada Mohammad Saleh, paman Hatta, tetapi dengan pengawasan sangat ketat dari Mak Gaek (nenek). Pengambilan keputusan masih tetap dipegang Mak Gaek sehingga pamannya tidak berkembang.

“Sebagai kanak-kanak aku sudah melihat dari dekat dua cara pimpinan yang berlainan, sentralisasi dan desentralisasi yang kemudian menjadi pelajaran bagiku,” kata Hatta. Menurut Hatta Pak Gaek telah menerapkan konsep desentralisasi kekuasaana, sedangkan Mak Gaek masih tetap melakukan sentralisasi kekuasaan.

Berbagai peristiwa yang menimpa rakyat dan dialami saat masih kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, ia petik sebagai pelajaran kehidupan dan kepemimpinan yang sangat berharga yang kelak menjadikannya sebagai pemimpin besar. Perang Kamang pada 1908 menjadi pelajaran berharga bagaimana rakyat yang marah karena Belanda ingkar janji melakukan perlawanan secara fisik. Dari rumahnya, Hatta sering mendengar dan melihat polisi-polisi Belanda memeriksa dan menyiksa rakyat setelah peristiwa Perang Kamang. Saat itulah Hatta sudah berpikir bahwa (penjajah) Belanda itu jahat.

Rakyat yang tertindas kaum penjajah itu sebenarnya ingin bersuara. Tetapi, sering kali mereka tak berdaya dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga tidak tahu cara melakukan perlawanan. Situasi inilah yang memacu individu yang terdidik dan mempunyai kepedulian, muncul menjadi pemimpin. Konsep lahirnya pemimpin ini sesuai filosofi ayam jantan yang ditulis Egmond Rostand dan dikutip Hatta dalam Berjuang dan Dibuang (2011:108) yang berbunyi: “Hari mulai siang bukan karena ayam berkokok, melainkan ayam berkokok karena hari mulai siang”. Rakyat bergerak melawan kesewenang-wenangan bukan karena dihasut oleh pemimpin. Pergerakan rakyat timbul bukan karena ada pemimpin yang bersuara, melainkan pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak keluar tetapi terus bergejolak.

Lebih lanjut Hatta mengatakan, pekerjaan pemimpin sebenarnya tidak lain dari memberikan jalan dan mengalirkan apa yang hidup dalam hati rakyat. Semangat dan perasaan rakyat ditimbulkan oleh keadaan dan penghidupannya sendiri. Pada satu tempat dan waktu semangat dan perasaan rakyat itu muncul keluar dengan hampir tidak dijuluk, pada tempat lain lagi ia berjalan seperti api makan sekam. berkobar-kobar ke dalam tetapi tidak dapat keluar. Inilah yang sering bahaya bagi ketenteraman umum dan disinilah ternyata beratnya tanggungan pemimpin.

Pernyataan Hatta menjadi pelajaran berharga untuk diikuti dan diteladani para pemimpin pemerintahan maupun para politisi. Pemimpin itu harus bisa menangkap apa yang terjadi atau berkembang dan keinginan –bahkan bisa jadi jeritan—rakyatnya. Aspirasi itu disalurkan kepada pihak-pihak terkait atau bahkan dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang para pemimpin (pejabat) tersebut. Dalam bahasa Hatta, pemimpin itu wajib menduga apa yang terasa oleh rakyat dalam hatinya dan segala perasaan yang tertutup. Menurut Nabi Muhammad SAW dalam John Adair (2010:46), dalam perjalanannya, pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaumnya.

Andai saja pemimpin (pejabat) pemerintahan atau politisi di negeri ini bisa melakukan apa yang dikatakan oleh Hatta, maka Salim Kancil yang menentang perusakan lingkungan di Selok Awar-Awar, Lumajang, bisa jadi tidak akan tewas disiksa preman suruhan kepala desa pada akhir September 2015. Andai saja para pemimpin, pejabat di daerah mendengar dan menangkap kerasahan warga, maka kerusuhan berbau SARA di Kabupaten Aceh Singkil pada Selasa (13/10/2015) bisa dihindarkan. Demo buruh, protes warga, demo pedagang kaki lima terjadi antara lain karena ketidakmampuan pemimpin mendengar jeritan mereka.

Para pemimpin pemerintahan sekarang ini jangankan menangkap suara-suara rakyat baik yang keluar maupun yang tidak keluar, janji yang sudah terucap pun sering diingkari. Janjinya akan membuat kebijakan yang prorakyat kecil, dipenuhi dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ketika harga BBM dunia menurun. Janji merampingkan struktur organisasi, yang terjadi malah munculnya lembaga-lembaga baru. Janji memberikan layanan angkutan umum yang baik, dijawab dengan menaikkan tariff jalan tol. Perbaikan ekonomi, yang dirasakan dan terjadi nilai rupiah makin terpuruk.

Janjinya membangun pemerintahan yang bersih dan memperkuat lembaga antikorupsi, tetapi yang terjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikriminalkan dan muncul dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota dewan. Praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh pejabat serta kroni, tetapi sudah melibatkan keluarga inti, seperti anak, saudara, dan istri.

Ingat kasus korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama yang menyeret anggota DPR dan anaknya. Jangan lupa kasus suap pilkada dengan tersangka Wali Kota Palembang dan istri. Dan yang masih dalam penanganan KPK adalah kasus penyelewengan dana hibah dan suap yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan dan istrinya, Evy Susanti.

Andai saja Hatta masih hidup, bisa jadi dia akan menangis melihat perilaku korup pemimpin negeri yang ia perjuangkan bahkan sampai mengorbankan kepentingan pribadinya –Hatta menikahi Rachmi Rachim 8 November 1945 karena ia berjanji baru menikah setelah Indonesia merdeka. Simak kritik tajam Hatta terhadap Soekarno saat yang bersangkutan ditangkap dan kemudian menyatakan keluar dari Partai Indonesia (Partindo) yang ia dirikan.

Saat itu, muncul informasi sikap Soekarno tersebut karena pengaruh istrinya, Inggit. Tetapi, apa pun penyebabnya, Hatta tetap menyalahkan Bung Karno sebagai seorang pemimpin yang ia sebut tak berkarakter. Dengan tegas Bung Hatta (2011:124) mengatakan, “Bukan pemimpin kalau masih terpengaruh oleh air mata istri yang tak tahan hidup melarat.”

Saat ini, bisa dikata tak ada lagi para pemimpin negeri ini dan istrinya yang hidup melarat. Mereka sudah sangat berkecukupan jika diukur dari kebutuhan hidup sandang, pangan, papan, dan status sosial. Tetapi sikap rakus dan kurang bersyukur itulah yang membuat mereka terus menumpuk harta dan/untuk melanggengkan kekuasaan sehingga sampai hati merampok uang rakyat. Dalam pandangan Prof Djohermansyah Djohan, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang bermoral dan kompeten, karena seseorang bisa menjadi pemimpin yang kompeten tapi tidak bermoral. Pemimpin korup tentu bukanlah pemimpin yang bermoral.

Mendidik pengikut
Kebiasaan menulis, khususnya di media massa, Hatta lakukan ketika masih duduk di sekolah menengah di Jakarta. Saat ia menempuh pendidikan di Belanda, tulisan-tulisannya baik tentang ekonomi, politik, pegerakan, sosial, bahkan filsafat, semakin berkembang. Dia menjadi kolomnis sejumlah majalah di Indonesia dan juga mengasuh majalah di Belanda, yakni Poetra Hindia yang kemudian berubah menjadi Indonesia Merdeka.

Menulis adalah salah satu sarana bagi Hatta untuk mengasah tingkat intelektualitasnya, menyuarakan kemerdekaan Indonesia, melakukan perlawanan terhadap penjajah, serta mendidik rakyat dan kemudian mendidik kader atau pengikutnya di partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) baru. Dalam kaitan mendidik kader ini, ia lakukan mulai tahun 1930 ketika Soekarno ditangkap dan kemudian keluar dari PNI lama. Saat itu, Hatta yang masih berada di Belanda melakukan korespondensi dengan Sudjadi, tokoh PNI yang kecewa dengan sikap Bung Karno, untuk menerbitkan majalah Daulat Ra’yat.

Menurut Hatta, “Daulat Ra’yat bukanlah majalah untuk beragitasi, tetapi majalah untuk mendidik.” Hatta memang menggunakan majalah ini untuk mendidik kader partai dan juga mencerahkan rakyat. Soal pendidikan kader ini, ia sangat ketat. Dia tak akan menyetujui sembarang orang menjadi anggota partai dan kemudian mendirikan cabang, sebelum mengikuti pendidikan dan mengetahui perjuangan partai. Sikap itu sesuai konsep kepemimpinan dan kepengikutan (leadership dan followership) yang diyakini.

Menurutnya, pergerakan memperjuangkan kemerdekaan tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi, pergerakan harus menumbuhkan para pengikut yang banyak sehingga menjadi pergerakan ‘pahlawan-pahlawan yang tak punya nama’. Artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin. Untuk itulah, ia harus mendidik para pengikut, rakyat, atau kader partai, agar kelak siap menjadi pemimpin.

Hasil menciptakan good follower (pengikut yang baik) ini ia tuai ketika dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 25 Februari 1934. Meski dia, Sjahrir, dan Bondan yang merupakan tokoh PNI dan Daulat Ra’yat dipenjara, PNI tetap berjalan dan Daulat Ra’yat tetap terbit.

“Sejak aku dikunjungi sekali seminggu oleh kakakku Rafiah dan iparku, aku senantiasa mendengar kabar yang baik bahwa PNI terus bergerak dan Daulat Ra’yat terus terbit. Berbeda dengan Partindo, begitu pemimpinnya ditahan, lenyap juga partai dan majalahnya. Di PNI dan Daulat Ra’yat, ada saja pemimpin baru yang meneruskan usaha,” ujar Hatta dalam Berjuang dan Dibuang (2011:136).

Konsep Hatta dalam mendidik para pengikut itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang memiliki gaya transformasional. James Mcgregor Burns dalam Vugt dan Ahuja (2015:50) mengatakan, kepemimpinan transformasional mengubah pengikut menjadi pemimpin dan bisa mengubah pemimpin menjadi agen moral. Ada aliran gagasan dan impian di antara pemimpin dan pengikut demi kemaslahatan bersama.

Dan apa yang dilakukan Hatta, khususnya dalam mendidik rakyat serta anggota partai baik melalui rapat atau pertemuan-pertemuan langsung maupun melalui majalah/surat kabar, telah mampu menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Sehingga, ketika ia ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul, Papua, lalu dipindah ke Banda Neira, Maluku, serta kemudian ke Sukabumi, Jawa Barat, partai dan majalahnya tetap jalan. Di Boven Digul pun dia membuka kelas khusus seminggu dua kali untuk mendidik kader-kader PNI yang dibuang, seperti Boerhanuddin, Bondan, dan Suka. Ketika dibuang ke Banda Neira, dia bahkan membuka kelas khusus untuk mendidik anak-anak Tjipto Mangoenkoesoemo serta anak saudaranya yang dikirim dari Jawa.

Hatta memang pemimpin besar. Pemikiran-pemikirannya terus berkembang dan tetap kontekstual. Sebagai pemimpin hebat, Hatta tidak hanya dilahirkan pada zamannya, tetapi juga mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Inilah The Great Leader. (Suprapto)

Minggu, 22 Maret 2015

Meluruskan Demokrasi


YUDI LATIF

Demokrasi sudah gagal bahkan sebelum dijalankan. Akar dari segala akar kegagalan demokrasi adalah kekeliruan pemahaman. Berpuluh-puluh tahun lalu ratusan buku dan dunia akademik mengajarkan bahwa demokrasi berasal dari akar kata demos (rakyat) dan kratos/cratein (pemerintahan), dengan menunjuk Athena sebagai pangkal tradisi demokrasi.

Adalah John Keane, mahaguru jempolan dalam sejarah demokrasi dari Universitas Westminster (Inggris), yang melihat kesalahpahaman umum ini dan mengoreksinya dalam The Life and Death of Democracy (2009). Dalam pandangannya, akar istilah demokrasi masih merupakan sesuatu yang misterius. Namun, ia memastikan bahwa istilah démokratia tidaklah berasal dari Athena. Kalaupun masih dalam lingkungan kebahasaan sekitar Yunani, istilah itu mungkin berasal dari periode Mycenaean dan Phoenician, tujuh hingga sepuluh abad lebih dini dari Athena (1500-1200 SM).

Dalam bahasa Mycenaean dikenal kata dámos yang merujuk pada kelompok orang-orang lemah yang menghuni tanah yang sama. Namun, menurut dia, istilah démokratia boleh jadi berakar lebih jauh di Timur dalam tradisi Sumeria. Di sini dikenal kata dumu yang berarti ’penduduk’ atau ’anak-anak’ dari suatu lokasi geografis.

Keane juga memastikan bahwa praktik demokratis dari majelis permusyawaratan orang-orang setara tidaklah berasal dari Yunani. Tradisi majelis dari pemerintahan rakyat pertama-tama muncul di kawasan Timur Tengah, di sekitar negara yang kini disebut sebagai Iran, Irak, dan Suriah, atau yang dulu merupakan kawasan peradaban Sumeria dan Babilonia, yang mulai berkembang sekitar 2500 SM. Dari sana, tradisi majelis rakyat itu menyebar ke anak benua India sekitar 1500 SM dan akhirnya diadopsi oleh kota-kota di sekitar Yunani: pertama oleh Phoenician dan akhirnya oleh Athena sekitar 5 abad SM. Fase pertama sejarah difusi demokrasi ini berakhir di era awal Islam sebelum abad ke-10.

Dengan penjelasan ini, Keane ingin meluruskan demokrasi dari bias prasangka Barat. Ia mencontohkan bias ini dengan menunjuk pemahaman umum bahwa periode setelah kejatuhan imperium Romawi sering dipandang sebagai zaman gelap kemerosotan demokrasi. Padahal, menurut dia, ketika di Eropa Selatan demokrasi mengalami pasang surut, di belahan dunia lainnya—seperti di dunia Islam—demokrasi justru mengalami pasang naik.

Keane ingin menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi yang bermula dari tradisi ”musyawarah majelis rakyat” itu sesungguhnya tidak hanya bersumber dari Barat, tetapi juga bisa ditemukan di belahan dunia lainnya. Bahkan, awalnya muncul di Timur.

Selain itu, Keane juga menyimpulkan bahwa makna demokrasi pun terus berubah sepanjang waktu. Apa yang disebut ”rakyat” dalam demokrasi Athena, misalnya, tidak termasuk perempuan, budak, dan orang- orang di luar polis (kota). Bahkan, ”rakyat” dalam demokrasi Amerika Serikat tidak termasuk perempuan hingga seusai Perang Dunia II. ”Rakyat” setelah revolusi Perancis lebih berasosiasi pada orang-orang borjuis, sementara rakyat biasa ditepikan. Bahkan, dalam pemilu di banyak negara demokratis hari ini, meski secara teoretis melibatkan seluruh rakyat, partisipasi ”rakyat” dalam pemilu pada umumnya di bawah 50 persen.

Alhasil, tidak ada model tunggal demokrasi. Suatu model demokrasi yang dijalankan di suatu masyarakat belum tentu bisa ditiru sepenuhnya oleh masyarakat lain. Gagasan ”demokrasi permusyawaratan” merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat—dalam istilah Robert Putnam (1993)—”demokrasi berjalan” (making democracy work), atau apa yang disebut Michael Saward (2002) ”mengakar” (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Suatu model demokrasi dengan cita-cita kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri, sesuai sifat-sifat ”tanah air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah bangsa.

Yang esensial dalam demokrasi bukanlah langsung atau tidaknya pemilihan atau seberapa banyak rakyat terlibat, melainkan bagaimana orang-orang yang mewakili rakyat itu sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai subyek yang harus dihormati, bukan obyek tindasan tirani militeristik atau tirani modal. Daulat rakyat dijunjung dengan menge-
depankan permusyawaratan demi kebajikan seluruh rakyat, menjalankan kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan dengan kesiapan mendengar dan menerima argumen bermutu secara inklusif, serta menunaikan pertanggungjawaban publik demi keadilan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam sila keempat Pancasila.

Hanya mengandalkan pemilu dan pilkada langsung, bahkan dengan biaya begitu mahal, tidak membuat demokrasi yang kita jalankan semakin menjunjung daulat rakyat. Demokrasi era reformasi justru kian meluaskan kekecewaan publik, seperti tecermin dari semakin merosotnya kepuasan rakyat pada kinerja pemerintah dan menurunnya tingkat partisipasi rakyat.

Meskipun rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada ”sisi permintaan” (demand side) seperti sering didalihkan politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan ”sisi penawaran” (supply side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan rakyat.

Pengalaman menunjukkan, partisipasi rakyat dalam pemilu/pilkada meningkat seiring kemunculan figur-figur politik yang dapat membangkitkan kepercayaan publik. Di tengah apatisme politik, figur politik yang secara tulen menjalankan nilai-nilai demokrasi Pancasila-lah yang sanggup membangkitkan kembali antusiasme rakyat dalam demokrasi.

Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Dimuat di Harian Kompas, Selasa 21 Januari 2014