Rabu, 21 Maret 2012

Menyeruput Teh Harga Rp 1 Juta


Berbagai jenis teh di pabrik PT PN VIII Malabar, Bandung

Teh. Rasanya tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.  Tapi, pernahkan Anda menyeruput teh seharga Rp 1 juta. Atau, pernahkan Anda melihat bentuk dan warna teh yang sebagian besar diekspor ke Jepang ini? Saya merasa beruntung karena bisa menikmati teh super tersebut dan melihat proses pengolahannya, meski hanya sekilas.

Minggu terakhir di bulan Desember 2011, saya mengunjungi pabrik teh Malabar yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PT PN) VIII di Malabar, Pengalengan, Bandung, Jawa Barat. Pabrik ini adalah peninggalan Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha (1865-1928). Meski berusia seratusan tahun lebih, pabrik itu tetap berproduksi dengan baik. Cara kerja sejumlah mesinya pun masih manual, mirip dengan cara kerja ketika pabrik itu pertama kali dibangun.
Sekadar informasi, Bosscha adalah WN Belanda yang membangun, mengembangkan, dan mengelola  perkebunan teh di  Jawa Barat sekitar tahun 1896. Dia datang ke Indonesia tahun 1887. Beberapa peninggalan meneer yang meninggal dan dimakamkan di tengah perkebunan teh di Malabar itu antara lain Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung), Societeit Concordia (Gedung Merdeka Bandung, tempat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika), dan Observatorium Bosscha, gedung peneropong bintang yang memiliki lensa terbesar di dunia saat itu (1923-1926). Beberapa karya peninggalan juragan Bosscha –sebutan warga Pengalengan terhadap Bosscha— tertutilis di sebuah prasasti yang didirikan di dekat makamnya.
Pabrik teh Malabar adalah salah satu peninggalannya yang hingga kini masih beroperasi.  Pabrik ini mampu mengolah 50 ton daun teh per hari. Setelah melalui proses pelayuan (daun teh yang masih segar ditiup dengan angin pada suhu tertentu supaya menjadi layu), penggilingan, hingga pengiringan, maka dari bahan yang sama itu akan menghasilkan  sedikitnya 12 jenis teh. Keduabelas jenis teh itu adalah OPS, OP, BS, FF, BOP I SP, BOP I, BOP, BOPF, P FANN, Dust, BT, dan BP.  Jenis OPS sampai bop I sp masuk kategori teh high class. Harga tertinggi di kelas ini adalah jenis orange pecco (pekoe) special atau OPS. “Harga the jenis OPS Rp 1 juta per kilogram,” ujar Agus, petugas pabrik teh Malabar yang memandu saya dan rombongan mengunjungi pabrik tersebut. 
Menurut Agus, harga teh high class itu mulai dari Rp 100.000 per kilogram sampai Rp 1 juta per kilogram. Sedangkan harga teh jenis bop I sampai bp rata-rata Rp 50.000 per kilogram. Karena harganya yang aduhai itu, maka selama ini belum ada perusahaan dari dalam negeri yang meminta teh jenis OPS. “Teh ini khusus diekspor untuk memenuhi permintaan pemerintah Jepang. Jadi, belum pernah ada perusahaan lokal yang pesan,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah yang meminum teh OPS itu kaisar dan pejabat tinggi di Jepang, Agus tak bisa memastikan. Dia hanya mengatakan, selama ini teh jenis OPS hanya dikirim ke Jepang. Paling banyak setahun 500 kg. Dia juga menunjukkan sejumlah produk berasal dari teh yang diproduksi di Jepang, antara lain teh celup (di bungkusnya tertulis Java Tea) dan juga minuman teh dalam botol. Kalau minuman  teh dalam botol produksi pabrik Indonesia dijual sekitar Rp 3.000/botol, tetapi produk Jepang itu dijual sekitar Rp 150.000/botol.
Menurut Agus, untuk setiap 50 ton daun teh, paling hanya menghasilkan 10 kg teh OPS. Waktu yang dibutuhkan sekitar 10 hari karena harus dipilah dan dipilih secara manual. Biasanya, teh jenis OPS itu menempel pada sarung tangan petugas bagian penyortiran. “Kalau teh yang kelas satu diletakkan di atas kain selimut putih hitam yang biasanya dipakai di rumah sakit, dia pasti menempel. Ini juga salah satu cara menyortirnya, selain kita pilihin satu per satu yang berwana putih,” tambah Agus.
Bisa jadi, selain karena aroma dan rasanya, proses  yang masih manual dan membutuhkan waktu lama itulah yang membuat harga OPS ‘selangit’.  Tetapi, untuk mempercepat proses penyortiran teh kualitas wahid itu, saat ini sudah ada mesin khusus yang didatangkan dari Argentina. Meski demikian, bantuan atau cara manual tetap dilakukan untuk menjaga kualitasnya
Teh OPS itu diambil dari kuncup daun teh. Karena itu,  warnanya tak lagi coklat atau hitam, tetapi putih. Meski demikian, setelah dimasukkan ke cangkir berisi air mendidih, maka teh putih itu akan mengubah air menjadi berwarna coklat, tetapi tidak pekat (light). Meski didiamkan beberapa lama, warnanya tak berubah. Berbeda dengan teh-teh yang banyak beredar di pasaran yang sering kali warnanya berubah dari coklat menjadi kehitam-hitaman.
Saat saya dan rombongan mengunjungi pabrik tersebut, kebetulan akan ada kunjungan tamu khusus bersama pejabat perkebunan yang akan melihat berbagai jenis teh. Karena itu, di salah satu ruangan telah disiapkan 12 jenis teh yang diletakkan di atas nampan kecil. Di depan nampan itu terdapat cangkir berisi air teh dari ke-12 jenis teh tersebut.
Saya diberi kesempatan untuk membaui dan menyeruput secangkir teh ‘kaisar’ Jepang tersebut. Aromanya sangat menyegarkan. Rasanya pun  berbeda dibandingkan teh-teh yang selama ini saya beli di pasaran di Jakarta. Tidak ada warna yang tertinggal atau menempel di cangkir putih yang dipakai untuk menyeduhnya, seperti yang terjadi jika saya menyeduh teh celup merek-merek ternama. Sengaja saya tidak campurkan gula supaya bisa mencecap rasa asli teh tersebut.  Sungguh pengalaman berharga bisa melihat proses pembuatan dan meneguk teh jenis orang pecco special yang selama ini hanya diekspor ke Jepang tersebut. 
Monggo nyruput teh
**pro**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar