Berbagai jenis teh di pabrik PT PN VIII Malabar, Bandung |
Teh. Rasanya tak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia. Tapi, pernahkan Anda
menyeruput teh seharga Rp 1 juta. Atau, pernahkan Anda melihat bentuk dan warna
teh yang sebagian besar diekspor ke Jepang ini? Saya merasa beruntung karena
bisa menikmati teh super tersebut dan melihat proses pengolahannya, meski hanya
sekilas.
Minggu
terakhir di bulan Desember 2011, saya mengunjungi pabrik teh Malabar yang
dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PT PN) VIII di Malabar,
Pengalengan, Bandung, Jawa Barat. Pabrik ini adalah peninggalan Karel Albert
Rudolf (KAR) Bosscha (1865-1928). Meski berusia seratusan tahun lebih, pabrik
itu tetap berproduksi dengan baik. Cara kerja sejumlah mesinya pun masih
manual, mirip dengan cara kerja ketika pabrik itu pertama kali dibangun.
Sekadar
informasi, Bosscha adalah WN
Belanda yang membangun, mengembangkan, dan mengelola perkebunan teh di Jawa Barat sekitar tahun 1896. Dia datang ke
Indonesia tahun 1887. Beberapa peninggalan meneer
yang meninggal dan dimakamkan di tengah perkebunan teh di Malabar itu antara
lain Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung), Societeit Concordia
(Gedung Merdeka Bandung, tempat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika), dan
Observatorium Bosscha, gedung peneropong bintang yang memiliki lensa terbesar
di dunia saat itu (1923-1926). Beberapa karya peninggalan juragan Bosscha
–sebutan warga Pengalengan terhadap Bosscha— tertutilis di sebuah prasasti yang
didirikan di dekat makamnya.
Pabrik
teh Malabar adalah salah satu peninggalannya yang hingga kini masih
beroperasi. Pabrik ini mampu mengolah 50
ton daun teh per hari. Setelah melalui proses pelayuan (daun teh yang masih segar
ditiup dengan angin pada suhu tertentu supaya menjadi layu), penggilingan,
hingga pengiringan, maka dari bahan yang sama itu akan menghasilkan sedikitnya 12 jenis teh. Keduabelas jenis teh
itu adalah OPS, OP, BS, FF, BOP I SP, BOP I, BOP, BOPF, P FANN, Dust, BT, dan BP. Jenis OPS sampai bop I sp masuk kategori teh
high class. Harga tertinggi di kelas ini adalah jenis orange pecco (pekoe) special atau OPS. “Harga the jenis OPS Rp 1
juta per kilogram,” ujar Agus, petugas pabrik teh Malabar yang memandu saya dan
rombongan mengunjungi pabrik tersebut.
Menurut
Agus, harga teh high class itu mulai
dari Rp 100.000 per kilogram sampai Rp 1 juta per kilogram. Sedangkan harga teh
jenis bop I sampai bp rata-rata Rp 50.000 per kilogram. Karena harganya yang
aduhai itu, maka selama ini belum ada perusahaan dari dalam negeri yang meminta
teh jenis OPS. “Teh ini khusus diekspor untuk memenuhi permintaan pemerintah Jepang.
Jadi, belum pernah ada perusahaan lokal yang pesan,” ujarnya.
Ketika
ditanya apakah yang meminum teh
OPS itu kaisar dan pejabat tinggi di Jepang, Agus tak bisa memastikan. Dia hanya mengatakan, selama ini teh jenis OPS hanya
dikirim ke Jepang. Paling banyak setahun 500 kg. Dia
juga menunjukkan sejumlah
produk berasal dari teh
yang diproduksi di Jepang, antara lain teh celup (di bungkusnya tertulis Java
Tea) dan juga minuman teh dalam botol. Kalau minuman teh dalam botol produksi pabrik Indonesia
dijual sekitar Rp 3.000/botol, tetapi produk Jepang itu dijual sekitar Rp 150.000/botol.
Menurut
Agus, untuk setiap 50 ton daun teh, paling hanya menghasilkan 10 kg teh OPS. Waktu yang
dibutuhkan sekitar 10 hari karena harus dipilah dan dipilih secara manual.
Biasanya, teh jenis OPS itu menempel pada sarung tangan petugas bagian
penyortiran. “Kalau teh yang kelas satu diletakkan di atas kain selimut putih
hitam yang biasanya dipakai di rumah sakit, dia pasti menempel. Ini juga salah satu cara menyortirnya, selain kita pilihin satu per satu yang berwana putih,”
tambah Agus.
Bisa
jadi, selain karena aroma dan rasanya, proses yang masih manual dan membutuhkan waktu lama
itulah yang membuat harga OPS ‘selangit’.
Tetapi, untuk mempercepat proses penyortiran teh kualitas wahid itu,
saat ini sudah ada mesin khusus yang didatangkan dari Argentina. Meski demikian, bantuan atau
cara manual tetap dilakukan untuk menjaga kualitasnya
Teh
OPS itu diambil dari kuncup daun teh. Karena itu, warnanya tak lagi coklat atau hitam, tetapi
putih. Meski demikian, setelah dimasukkan ke cangkir berisi air mendidih, maka teh putih itu
akan mengubah air menjadi berwarna coklat, tetapi tidak pekat (light). Meski didiamkan beberapa lama,
warnanya tak berubah. Berbeda dengan teh-teh yang banyak beredar di pasaran yang sering kali
warnanya berubah dari coklat menjadi kehitam-hitaman.
Saat
saya dan rombongan mengunjungi pabrik tersebut, kebetulan akan ada kunjungan
tamu khusus bersama pejabat perkebunan
yang
akan melihat berbagai jenis teh. Karena itu, di salah satu ruangan telah disiapkan 12 jenis teh
yang diletakkan di atas nampan kecil. Di depan nampan itu terdapat cangkir
berisi air teh dari ke-12 jenis teh tersebut.
Saya
diberi kesempatan untuk membaui dan menyeruput secangkir teh ‘kaisar’ Jepang
tersebut. Aromanya sangat menyegarkan. Rasanya pun berbeda dibandingkan teh-teh yang selama ini
saya beli di pasaran di Jakarta. Tidak ada warna yang tertinggal atau menempel
di cangkir putih yang dipakai untuk menyeduhnya, seperti yang terjadi jika saya
menyeduh teh celup merek-merek ternama. Sengaja saya tidak campurkan gula
supaya bisa mencecap rasa asli teh tersebut.
Sungguh pengalaman berharga bisa melihat proses pembuatan dan meneguk
teh jenis orang pecco special yang selama ini hanya diekspor ke Jepang
tersebut.
Monggo nyruput teh
**pro**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar