Minggu, 22 Juli 2012

Betawi Tak Seloyal Tionghoa



-->
Saya tak bermaksud memprovokasi salah satu etnis. Tetapi, jika melihat hasil exit poll (survey yang dilakukan setelah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012), bisa dikatakan, etnis Betawi tak seloyal etnis Tionghoa dalam mendukung jagoannya. Bukti konkret adalah pasangan asli Betawi, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli hanya didukung oleh separuh warga asli Jakarta itu. Pasangan campuran Jawa-Tionghoa, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama,  didukung oleh hampir semua warga Jakarta beretnis Tionghoa.
Exit poll yang dilakukan Kompas pada 11 Juli 2012 menunjukkan, Foke-Nara –julukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli—hanya didukung oleh 58,5 persen warga Betawi. Padahal, pasangan ini adalah pasangan yang didukung secara penuh oleh berbagai ormas dan elemen masyarakat Betawi. Sejumlah ormas Betawi yang sudah cukup dikenal, seperti Forkabi, Forum Betawu Rempug, Bamus Betawi, Permata Jakarta, Pemuda Betawi, dan yang baru dibentuk menjelang pilgub, seperti Front Betawi Bersatu (FBB), berada di belakang pasangan ini.
Berdasarkan data dari petugas di Sekretariat Tim Sukses Foke-Nara, Dipo 61, di Jalan Diponegoro No 61, Menteng, Jakarta Pusat, sekitar 250 ormas berada di belakang pasangan Foke-Nara. Sebagian ormas-ormas itu adalah mereka yang mengatasnamakan Betawi, Jakarta, nama-nama kawasan di Jakarta, atau nama yang identik dengan Fauzi Bowo. Para pemimpin ormas itu pada umumnya mengaku asli Betawi atau warga Jakarta. Beberapa nama ormas itu –selain yang telah disebut di atas-- adalah Persatuan Orang Betawi, Barisan Jakarta, Forum Matahari Jakarta, Brigade Anak Jakarta, Eef Bee One, Lembaga Macan Kemayoran, dan BeCeng (Betawi Cengkareng).
Branding Foke-Nara sebagai calon Betawi tidak hanya ditunjukkan oleh para pendukungnya, tetapi juga oleh atribut mereka. Misalnya saja, pakaian yang dikenakan, baik saat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon pada 19 Maret 2012 malam, yang terpasang di sejumlah billboard, poster, dan spanduk, serta foto yang tercantum dalam surat suara, menunjukkan kebetawian pasangan ini. Beberapa artis pendukung dalam kampanye juga asli Betawi seperti Jaja Miharja. Bahkan, mantan Wakil Ketua Golkar DKI Jakarta Agus Zakaria mengaku rela dipecat dari kepengerusan partai ini ketimbang mengkhianati saudara Betawinya, Foke-Nara. Dalam setiap kampanye, beberapa lagu yang dinyanyikan pun berdialek Betawi. Bahkan, bahasa kampanyenya sering menggunakan bahasa Betawi.

Tetapi, hasil exit poll yang dirilis Harian Kompas pada 13 Juli 2012 menunjukkan, pasangan Foke-Nara hanya meraih dukungan 58,5 persen dari etnis Betawi. Pasangan nomor 2, yakni Hendardji- A Riza Patria mendapat dukungan 3,5 persen, Joko Widodo-Basuki 21,8 persen, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini 9,2 persen, Faisal Basri Batubara-Biem Benjamin 4,4 persen, dan Alex Noerdin-Nono Sampono 2,6 persen. Dengan demikian, Joko-Basuki mampu meraih simpati dari masyarakat Betawi terbesar kedua  setelah Foke-Nara.
Sebenarnya, ketidakkompakan tokoh etnis Betawi dalam mendukung pasangan calon sudah bisa dirasakan jauh sebelum pemungutan suara. Tokoh dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, adalah salah satu di antaranya yang paling getol menyuarakan penolakan terhadap Foke-Nara. "Pasangan Foke-Nachrowi bagi saya paling ancur. Kredibilitas dan kemampuannya memimpin, gagal membawa Ibu Kota lebih baik. Pasangan ini malah yang akan memperoleh suara rendah alias kalah," ujar Ridwan Saidi kepada wartawan, Jum'at (13/4/2012) seperti dikutip www.tribunnews.com.
Seorang ulama asli Betawi yang cukup terkenal dari Jakarta Timur yang digandeng oleh Ketua PWNU DKI Jakarta, Djan Faridz, dan para habaib dari kawasan Condet,  juga mendukung Joko Widodo-Basuki. Beberapa masyarakat asli Betawi di Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, malah menjadi saksi untuk pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra ini. “Di beberapa TPS di Kamal, saksi Jokowi-Ahok asli Betawi,” ujar seorang pengurus PDIP Kecamatan Kalideres. Dia mengatakan, mereka mendukung Jokowi-Ahok karena kedekatan dan pendekatan yang dilakukannya.
Bisa jadi karena faktor itu sehingga suara Betawi pecah. Di samping itu, kalau kita kaji asal usul etnis ini, ternyata bukanlah ‘pemilik’ asli Jakarta. Jauh sebelum Betawi ada, Jakarta (Batavia) sudah ditempati oleh orang dari berbagai suku bangsa, seperti Sunda, Jawa,  Bugis, Makassar, Ambon, Melayu, dan Bali. Dalam buku pengantar pameran bertajuk “Betawi Punye Gaye” hasil kerja sama Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) disebutkan, Betawi ibarat gado-gado yang lahir dari berbagai macam suku bangsa (baca: Penduduk Asli Jakarta Bukan Cuma Betawi)
Antropolog Universitas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, sekitar tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi (www.wikipedia.org).
Karena asal usulnya yang ‘gado-gado’ itu membuat suku Betawi memiliki sifat yang lebih terbuka, berjiwa sosial –meskit erkadang cenderung tendensius-- dan menghargai plurarisme. Meski sebagian besar etnis Betawi Bergama Islam, sebagian lainnya ada juga yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Bisa jadi, kondisi itu pula yang memengaruhi perilaku politik mereka dalam Pilgub DKI 2012 ini.
Bagaimana dengan etnis Tionghoa? Dukungan mayoritas diberikan etnis ini kepada Joko Widodo-Basuki atau yang dikenal sebagai pasangan Jokowi-Ahok. Pasangan ini hampir menyapu bersih pemilih Tionghoa di Jakarta, dengan meraih dukungan 92,7 persen. Sisa warga Tionghoa sebanyak 7,3 persen menyalurkan aspirasi politiknya dengan memilih Foke-Nara. Empat pasangan lainnya sama sekali tak meraih dukungan yang siginifikan dari etnis yang berdasarakan Sensus Penduduk tahun 2000 BPS mencapai 5,52 persen dari penduduk Jakarta ini. 
Kalau kita cermati melalui pemberitaan, kampanye, maupun gerakan yang dilakukan oleh pasangan ini, dukungan dari warga Tionghoa tak segerlap dukungan etnis Betawi terhadap Foke-Nara. Tetapi, harus diakui bahwa tidak ada –atau tidak terdengar-- tokoh Tionghoa yang menolak Ahok yang secara terus menerus bicara melalui media.
Dukungan menonjol terhadap Ahok sebenarnya hanya diberikan oleh Persatuan Tionghoa Raya (Petir) –yang sebagian pengurusnya juga anggota Partai Gerindra. Dukungan itu diberikan Petir saat bertemu dengan Ahok dalam pertemuan yang berlangsung 12 April 2012 di Jakarta. Saat itu, Ahok pun mengaku tidak suka dengan istilah pribumi dan nonpribumi.
"Saya Indonesia asli. Sejujurnya saya tidak suka memakai istilah pribumi dan nonpribumi. Jangan lihat warna kulit, tetapi lihat karakternya. Saya menjadi pejabat, itu memperjuangkan semua suku yang ada di Jakarta. Mau Melayu, Tionghoa, atau Betawi," ujar Ahok, seperti dikutip oleh www.tribunnews.com Rabu (11/4/2012).
Mengenai loyalitas etnis Tionghoa dalam mendukung Jokowi-Ahok,  tidak tertutup kemungkinan ini adalah bentuk dari luapan sikap tertekan mereka selama ini. Seperti kita ketahui, pada masa Orde Baru, etnis ni banyak diperlakukan diskriminatif, terutama di bidang politik dan sosial budaya. Mereka lebih banyak diarahkan untuk masuk ke bidang ekonomi. Karena itu, begitu ada di antara mereka yang berpeluang  masuk ke dunia politik, mereka pun menjadi merasa senasib untuk sama-sama memperjuangkan calon tersebut.
Seorang ketua RW di sebuah kompleks perumahan di daerah Jakarta Barat mengaku bahwa sebagian besar warganya memang memilih pasangan Jokowi-Ahok. “Faktor Ahok sangat berpengaruh sekali. Kalau Jokowi sih tidak terlalu dilihat,” ujar ketua RW yang sebagian besar warganya beretnis Tionghoa. Dia tak mau menjelaskan secara detail alasan dukungan warganya terhadap Ahok tersebut.
Prof Nurul Aini, dosen di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mengatakan, ada empat faktor yang memengaruhi pemilih, yaitu program kandidat, parpol kandidat, orientasi kandidat itu sendiri, serta birorkat. Faktor etnis dan agama masuk dalam orientasi kandidat.
Tetapi, penelitian yang dilakukan William Liddle dan Saiful Mujani pada 2003 dan 2007 sebagaimana dikutip dari Kajian Bulanan Edisi 9 Januari 2008 Lingkaran Survei Indonesia dengan judul Faktor Etnis dalam Pilkada (www.lsi.co.id) menghasilkan temuan bahwa aspek etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non-Jawa tidak terlihat punya perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden.
Hasil penelitian beda ditunjukkan oleh Aris Ananta dkk tahun 2004. Hasil penelitian ini menunjukkan etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku pemilih di Indonesia. Ada partai yang diidentikkan sebagai Jawa dan partai luar Jawa. Besar kecilnya kontribusi variabel etnis dalam menjelaskan pilihan pemilih tergantung pada partai masingmasing. Temuan Ananta dkk ini menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa terdapat pada PKB dan PDIP. Ini mengukuhkan pandangan bahwa kedua partai ini memang partai Jawa. Wilayah yang banyak suku Jawanya punya kecenderungan untuk memilih kedua partai. Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty ) yang relatif tinggi dan partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas (Kajian Bulanan Edisi 9 Januari 2008 LSI, www.lsi.co.id).
Jika mengacu pada penelitian Ananta dkk, bisa jadi Tionghoa termasuk etnis yang loyal dalam memilih calon gubernur Jakarta. Atau dengan kata lain, Betawi tak seloyal Tionghoa dalam Pilgub DKI 2012!
Palmerah, 22072012
**pro**

Rabu, 18 Juli 2012

Ancaman Pidana bagi Petugas KPU



Ny Sri (50)  baru lima hari belakangan ini merasa lega. Sebelumnya, ia uring-uringan. Setiap kali ada saudara atau tetangga datang, ibu satu anak ini ‘curhat’. Intonasi bicaranya makin meninggi manakala topik obrolan menyangkut Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012. Bukan saja karena  dalam pilgub tersebut terjadi banyak kejutan, tetapi lebih dari itu dia kesal lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta ‘menghilangkan’ keberadaannya sebagai warga Jakarta.
“Bayangkan saja, sejak saya usia 17 tahun, saya selalu ikut dalam coblosan. Tetapi sekarang ini, saya bukan hanya tidak bisa mencoblos, tetapi tidak diakui sebagai pemilih. Ini namanya kebangetan. Bagaimana nih kerja KPU,” ujarnya usai hari coblosan Pilgub DKI pada Rabu (11/7).
Warga Kalideres, Jakarta Barat, ini makin kesal jika ingat dua bulan sebelum tanggal pemungutan suara, ada petugas yang datang ke rumahnya dan mendata jumlah pemilih. Dia menyebutkan ada dua orang yang berhak memilih dan menunjukkan bukti Kartau Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Dia juga menjelaskan bahwa kedua orangtuanya yang sebelumnya mengikuti Pemilu 2009 sudah meninggal. Karena itu, kalau masih terdaftar sebagai pemilih sebaiknya dicoret.
Cukupkah keterangannya itu? Ternyata, dua hari menjelang hari pencoblosan, dia menerima satu surat panggilan. Nama dirinya tidak ada dalam surat itu. Yang ada hanya nama anaknya.  Berharap ada perbaikan, pada hari pencoblosan, pegawai negeri ini mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) tak jauh dari rumahnya.   Dia juga membawa KTP DKI Jakarta serta bukti sudah terdaftar dalam program e-KTP.
“Ternyata, petugas KPPS (kelompok panitia pemungutan suara) tetap tidak menerima. Padahal saya sudah tunjukkan KTP dan identitas lainnya. Tetap saja ditolak. Setelah saya cek di daftar pemilih, nama saya memang tidak ada. Tetapi yang membuat saya heran, nama almarhum ibu saya masih ada,” ujarnya.
Ny Sri hanya salah satu dari ribuan warga Jakarta yang kehilangan hak pilih. Wahyu Riyadi, warga Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, mengatakan, ada seorang anggota keluarganya yang tidak mendapatkan kartu panggilan sebagai pemilih. Di RW 03 Kelurahan Kayuputih, Pulogadung, Jakarta Timur,  35 orang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Wakil Ketua RT 03, Indra Kramadipa, mencurigai ada upaya sistematis agar warganya tidak tercantum dalam DPT karena mereka simpatisan partai tertentu (Kompas, 10 Juli 2012).
Hingga 9 Juli 2012, ada 4.196 pemilih yang disinyalir ganda di Jakarta Barat. Nama-nama itu sudah ditandai dan diblok tinta hitam. Menurut Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KPU Jakarta Barat Junaedi, kartu pemilih ganda itu bisa dikembalikan ke Kantor  KPU Jakbar.
Para warga yang kehilangan –atau mungkin malah dihilangkan-- hak konstitusionalnya sebagai pemilih itu adalah korban dari carut marut pendataan DPT yang dilakukan petugas KPU DKI. Sumber dari kekacauan itu adalah data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta yang amburadul.  “Data DP4 dari Dinas Dukcapil sangat kacau. Akibatnya, data DPS (daftar pemilih sementara) dan DPT juga ikut kacau,” ujar seorang petugas di bagian pendataan KPU DKI.
Buntut kekacauan pendataan pemilh dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 ini adalah pemberian sanksi berupa peringatan tertulis oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua KPU DKI Jakarta Dahlia Umar. DKPP juga meminta agar Dahlia segera menetapkan DPT yang pasti dengan mengundang semua pasangan calon.
Keputusan DKPP ini dibacakan dalam persidangan etik, Jumat (6/7), dengan teradu Ketua KPU DKI Jakarta Dahliah Umar. Sebagai pemohon, tiga pasang calon, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, dan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sidang digelar menyusul adanya kisruh Rapat Pleno Penetapan DPT pada 2 Juni 2012. Saat itu, lima dari enam pasangan calon gubernur DKI memprotes penetapan DPT karena masih menemukan banyak data ganda. Dua tim lain yang keberatan adalah Faisal Basri-Biem T Benjamin dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Sementara itu, tim Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menerima penetapan KPU DKI (Kompas, 7 Juli 2012).
Setelah jatuhnya vonis sanksi dari DKPP tersebut, 21.344 pemilih dicoret dari daftar DPT pada Senin (9/7) atau dua hari sebelum hari pencoblosan. Nama-nama yang dicoret itu sebelumnya telah diberi tanda khusus oleh petugas di bagian pendataan dan dianggap bermasalah. Sebelum pencoretan pemilih itu, KPU DKI telah menetapkan DPT yang berjumlah 6.983.692 orang.
RINCIAN REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP DAN JUMLAH TPS
DALAM PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2012
NO
KABUPATEN/KOTA
 JUMLAH PEMILIH
 JMLH TPS
 LK
 PR
 JUMLAH
1.
KAB. ADM. KEPULAUAN SERIBU
                  8,354
                  7,981
               16,335
          43
2.
KOTA ADM. JAKARTA PUSAT
              401,605
              389,458
             791,063
     1,713
3.
KOTA ADM. JAKARTA UTARA
              594,855
              570,223
          1,165,078
     2,587
4.
KOTA ADM. JAKARTA BARAT
              768,446
              734,988
          1,503,434
     3,331
5.
KOTA ADM. JAKARTA SELATAN
              767,850
              743,185
          1,511,035
     3,223
6.
KOTA ADM. JAKARTA TIMUR
           1,013,175
              983,572
          1,996,747
     4,162
PROVINSI DKI JAKARTA
           3,554,285
           3,429,407
          6,983,692
   15,059

Apakah karena pencoretan itu pula sehingga Ny Sri dan beberapa warga kehilangan hak pilihnya. Belum ada yang bisa memastikan. Tetapi, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi, kata petugas di bagian pendataan, ada beberapa orang yang memiliki KTP DKI Jakarta yang terpaksa dicoret karena NIK orang-orang tersebut juga dimiliki oleh pemilih lain. Jadi, salah satu di antara pemilih itu harus dicoret.
“Dalam kasus ini, sesungguhnya  orang tersebut penduduk Jakarta. Tetapi, kebetulan NIK-nya sama dengan NIK penduduk lain. Jadi, kita coret satu di antaranya,” ujar petugas tersebut. Dia menduga, penyebab adanya satu NIK yang dipakai oleh beberapa orang karena permainan petugas kelurahan yang sering memberikan KTP tembak kepada warga. “Mereka kadang semaunya saja membuat NIK, yang penting KTP keluar. Akibatnya, begitu dicek satu per satu ya seperti sekarang, terbongkar.”
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengimbau warga yang kehilangan hak pilih dalam Pilkada Jakarta mengajukan gugatan hukum.  "Kami mengimbau masyarakat yang tidak bisa memilih melakukan gugatan untuk memperoleh payung hukum ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua KIPP Wahyu Dinata, Jumat (13/7) seperti dikutip www.Antaranews.com.
UUD 1945 mengatur hak konstitusi warga untuk dipilih dan memilih. Secara tegas, hak itu juga diatur dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 19 ayat (1) UU No 8/2012 berbunyi:  Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), di pasal 43 juga menyatakan: Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu.
Apa ancaman bagi para pihak yang dengan sengaja menghilangkan hak pilih warga? Pasal 292 UU No 8 tahun 2012 secara tegas tindakan itu adalah bentuk kejahatan Pemilu. Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).” Sekarang tinggal menunggu Ny Sri dan warga yang hak pilihnya hilang atau dihilangkan berani menuntut haknya.
Siapa di balik hilang dan dobelnya hak pilih warga?
Palmerah, 18072012
**pro**

Kamis, 12 Juli 2012

Empat Kejutan Pilgub DKI 2012!


Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 banyak hal yang muncul di luar prediksi! Kejutan pertama adalah melesatnya perolehan suara pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mampu menjungkirbalikkan prediksi sejumlah lembaga survei dengan ‘memenangi’ putaran pertama (I). Kejutan kedua adalah raihan suara calon independen, yakni pasangan Faisal Basri Batubara-Biem T Benjamin yang mampu mengungguli calon yang diusung dua partai politik, yakni Alex Noerdin-Nono Sampono.
 Kejutan ketiga adalah anjloknya perolehan suara pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).  Kejutan terakhir tentu saja perolehan suara pasangan Fauzi  Bowo-Nachrowi Ramli yang jauh di bawah dari perkiraan, bahkan di bawah dari total perolehan suara partai pendukungnya.
“Ini memang di luar perkiraan kami. Sebelumnya kami yakin bahwa Jokowi-Ahok akan masuk dalam putaran kedua. Tetapi, kami tak mengira perolehan suaranya sebesar ini, bahkan melebihi pasangan incumbent,” ujar M Taufik, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Rabu (11/7) malam. Partai Gerindra yang mempunyai 6 wakil di DPRD DKI (6,38 persen) berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meraih 11 kursi DPRD DKI (11,70 persen) mengusung pasangan Jokowi-Ahok.
Beberapa kali survei yang dilakukan oleh tim yang menjadi think thank partai tersebut, hasil dukungan pemilih memang menunjukkan tren positif terhadap calon yang dijagokannya tersebut. Tetapi, hingga survei terakhir beberapa hari menjelang coblosan, 11 Juli 2012, perolehan suara Jokowi-Ahok tetap masih di bawah perolehan suara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Memang ada sejumlah voters yang masih belum menjatuhkan pilihan. Tetapi, tim tidak menduga bahwa swing voters kemudian menjatuhkan pilihannya ke Jokowi-Ahok. Tidak tertutup kemungkin swing voters itulah yang akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada pasangan dengan ciri khas baju kotak-kotak tersebut.
Sekadar pembanding, pada 3 Juli 2012, Survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), MNC Riset, dan Prisma menyimpulkan bahwa pasangan petahana Foke-Nara akan bersaing hingga putaran kedua dengan pasangan Jokowi-Ahok. Berdasarkan hasil riset, perolehan dukungan terhadap kedua pasangan tersebut melebihi angka 20 persen sedangkan pasangan lainnya dibawah 10 persen.  
Menurut Suhardi, salah satu peneliti LP3ES, Foke-Nara memperoleh 24,5 persen dukungan, sedangkan Jokowi-Ahok dengan 22,7 persen. Perolehan suara pasangan lain adalah Hidayat-Didik 4,9 persen, Alex-Nono 2,8 persen, Faisal-Biem 2,7 persen, serta Hendardji-Riza 1,1 persen. Survei dilakukan melalui telepon atau telepolling.
Sementara itu,  Lingkaran Survey Indonesia (LSI) pada 1 Juli 2012 juga merilis hasil survei. Baik pilgub satu atau dua putaran, hasil survei itu menunjukkan bahwa pasangan Foke-Nara memiliki kemungkinan terbesar memenangi Pilgub DKI 2012. Salah satu peneliti LSI, Arman Salam, mengungkapkan, pasangan Foke-Nara didukung oleh 43,7 persen pemilih, pasangan Jokowi-Ahok 14,4 persen. Empat pasangan lainnya didukung masing-masing di bawah 10 persen, bahkan ada yang di bawah 5 persen.
Survei-survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei lainnya pun menunjukkan angka yang kisaran perolehan suaranya relatif sama. Posisi pertama pasangan Foke-Nara, diikuti Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, dan pasangan lain. Tetapi, 11 Juli 2012, sekitar 4.623.204 pemilih telah menjatuhkan ‘vonis’. Di luar perkirakan banyak pihak, perolehan suara Jokowi-Ahok mengejutkan banyak pihak –bahkan bisa menjadi membuat stress kelompok tertentu.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Kompas, pasangan Jokowi-Ahok melesat, meninggalkan para pesaingnya dengan memperoleh 42.59 persen dukungan disusul oleh pasangan Foke-Nara dengan 34,32 persen dukungan. Posisi ketiga ditempati pasangan Hidayat-Didik dengan 11,40 persen, Faisal-Biem 5,07 persen, Alex-Nono 4,74 persen, dan Hendardji-Riza 1,88 persen.  Lebih lengkap bisa dilihat dalam data di bawah ini:

NOMOR
PASANGAN CALON
% DUKUNGAN
PERKIRAAN PEMILIH

1
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
34.32%
                   1,586,683.65

2
Hendardji-Riza
1.88%
                         86,916.24

3
Joko Widodo-Basuki T Purnama
42.59%
                   1,969,022.63

4
Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini
11.40%
                      527,045.27

5
Faisal Batubara-Biem Benjamin
5.07%
                      234,396.45

6
Alex Noerdin-Nono Sampono
4.74%
                      219,139.87

Catatan: Sumber hasil hitung cepat Kompas diolah
Jumlah DPT 6.983.692, golput 33,88 persen
Perolehan suara Faisal-Biem itu juga membuat banyak pihak yang terkesima. Meski diyakini dia tak akan memenangi atau lolos pada putara kedua, dukungan pemilih terhadap pasangan independen yang melebihi perolehan suara  Alex-Nono jelas sebuah ‘prestasi’ yang layak diacungi jempol. Faisal-Biem yang dari sisi finansial dan jaringan jauh di bawah Alex-Nono,  ternyata perolehan suaranya mampu menduduki peringkat ketiga.
Alex-Nono yang dikung oleh 18 partai politik, tiga di antaranya adalah peraih kursi di DPRD DKI, yakni Partai Golkar dengan 7 kursi (7,44 persen), PPP 7 kursi (7,44 persen), dan Partai Damai Sejahtera 4 kursi (4,25 persen), serta 15 parpol non-parlemen, ternyata hanya memperoleh dukungan 4,74 persen. Padahal, jika dihitung dari jumlah raihan kursi DPRD DKI tiga partai pendukungnya saja sudah mencapai 19,14 persen. Tetapi, perolehan suaranya hanya sekitar seperempat  suara parpol pendukungnya.
 Bisa jadi, ‘hukuman’ terhadap Alex-Nono itu tak lepas dari sikap partai pendukungnya yang  mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) –meski dengan catatan—pada rapat paripurna DPR beberapa waktu lalu. Di samping itu, citra Partai Golkar juga sedang menurun karena kadernya di DPR yang tersangkut kasus korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama.
Jika kita lihat perolehan suara pasangan Hidayat-Didik, tentu ada sesuatu yang tidak beres. Pada Pemilu legislatif 2009, PKS di DKI Jakarta memperoleh 17,23 suara. Jika dihitung dengan perolehan kursi di DPRD DKI, yakni 18 kursi, sesungguhnya partai ini memperoleh 34,04 persen kursi. Pada Pemilukada DKI 2007, calon yang diusung PKS, yakni Adang Daradjatun-Dani Anwar memperoleh 1.521.831 suara atau 42,11 persen. Tetapi, pada Pilgub DKI  2012, jago PKS hanya memperoleh 11,40 persen (hasil hitung cepat Kompas). Anjloknya perolehan suara itu bisa jadi karena mesin partai pendukungnya yang tidak berputar maksimal, penilaian pemilih yang tak sreg, atau angka inilah menggambarkan sesungguhnya kekuatan riil PKS di Jakarta. 
Kejutan yang  menghentakkan jantung sejumlah pendukung Foke-Nara adalah peroleh suara pasangan calon petahana ini yang hanya meraih 34,32 persen. Padahal, berdasarakn hitungan sejumlah lembaga survey, perolehan suara Foke-Nara pada umumnya di atas 40 persen. Bahkan, survey internal yang dilakukan oleh lembaga survey yang dibiayai oleh pasangan ini menunjukkan bahwa Foke-Nara memperoleh dukungan sekitar 49 persen. Karena itu, optimisme pasangan dan anggota tim sukses serta partai pendukung pasangan tersebut selama ini begitu tinggi. Mereka pun sangat optimis akan memenangi pertandingan hanya dalam satu putaran.
Pemilh telah menjatuhkan pilihan mereka. Hasilnya, Foke-Nara berdasarkan hasil hitung cepat hanya didukung oleh 34,32 persen. Jumlah ini saja jauh di bawah dukungan dari partai politik yang mengusungnya. Berdasarkan Keputusan KPU DKI No: 20/Kpts/KPU-Prov-010/2012, ada tujuh parpol yang mengusungnya, empat di antaranya adalah parpol peraih kursi di DPRD DKI. Keempat parpol itu adalah Partai Demokrat peraih 32 kursi (34,04 persen), PAN 4 kursi (4,25 persen), Partai Hanura 4 kursi (4,25 persen), dan PKB 1 kursi (1,06 persen). Jumlah kursi DPRD DKI 2009-2014 adalah 94 orang.  Tiga partai pengusung lainnya adalah parta yang tidak mempunyai wakil di DPRD DKI. Di tengah masa kampanye, dukungan datang lagi dari empat parpol yang semula mendukung pasangan Jokowi-Ahok.
Ada apa dengan pasangan Foke-Nara sehingga sangat ‘ditinggalkan’ oleh warga Jakarta. Sekadar pembanding, pada 2007, Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Prijanto memperoleh dukungan dari 2.091.909 pemilih atau setara dengan 57,88 persen. Tetapi, tahun 2012 ini Foke-Nara hanya didukung oleh 34,32 persen atau setara dengan 1.586.683 pemilih. Banyak hal yang menyebabkan penurunan dukungan itu. Dalam pandangan penulis, isu kedaerahan yang selalu menjadi ‘jualan’ pasangan ini justru menyebabkan larinya pendukung Foke pada Pemilukada 2007 dari etnis non-Betawi.
Data yang diperoleh penulis dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Betawi bukanlah etnis mayoritas di Jakarta. Hasil Sensus BPS tahun 2000 menunjukkan, penduduk Jakarta yang beretnis Betawi hanya 27,65 persen. Suku bangsa (etnis) Jawa adalah penduduk Jakarta dengan persentase tertinggi seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
PERSENTASE PENDUDUK JAKARTA BERDASARKAN ETNIS
NO
ETNIS
PERSENTASE
1
JAWA
35,17
2
SUNDA
15,27
3
BETAWI
27,65
4
MADURA
0,56
5
BATAK
3,61
6
MINANG
3,18
7
BUGIS
0,59
8
MELAYU
1,00
9
CINA KETURUNAN
5,52
10
LAINNYA
7,45
Sumber: Sensus Penduduk 2000, BPS DKI Jakarta
Dengan persentase penduduk seperti terlihat di atas, jika Foke-Nara ingin meraih simpati dukungan dari masyarakat Jakarta, mau tidak mau harus mengubah strategi kampanye atau komunikasi politiknya. Pendekatan kedaerahan atau isu primordialisme rasanya tak pas lagi untuk kondisi Jakarta yang memiliki karakter penduduk sangat heterogen. Di samping itu, Foke-Nara juga tidak bisa lagi mengandalkan dukungan dari partai politik –terutama Partai Demokrat yang sekarang sedang dililit sejumlah kasus korupsi. Jangan lagi menjadikan kader-kader partai yang telah disorot karena diduga terlibat kasus korupsi sebagai juru kampanye.
Menunggu kejutan dalam putaran kedua!
**pro**
Palmerah, 12 Juli 2012