Saya tak bermaksud memprovokasi salah satu
etnis. Tetapi, jika melihat hasil exit
poll (survey yang dilakukan setelah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta
2012), bisa dikatakan, etnis Betawi tak seloyal etnis Tionghoa dalam mendukung
jagoannya. Bukti konkret adalah pasangan asli Betawi, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
hanya didukung oleh separuh warga asli Jakarta itu. Pasangan campuran
Jawa-Tionghoa, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, didukung oleh hampir semua warga Jakarta
beretnis Tionghoa.
Exit
poll yang dilakukan Kompas pada 11 Juli 2012 menunjukkan,
Foke-Nara –julukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli—hanya didukung oleh 58,5
persen warga Betawi. Padahal, pasangan ini adalah pasangan yang didukung secara
penuh oleh berbagai ormas dan elemen masyarakat Betawi. Sejumlah ormas Betawi
yang sudah cukup dikenal, seperti Forkabi, Forum Betawu Rempug, Bamus Betawi,
Permata Jakarta, Pemuda Betawi, dan yang baru dibentuk menjelang pilgub,
seperti Front Betawi Bersatu (FBB), berada di belakang pasangan ini.
Berdasarkan data dari petugas di Sekretariat
Tim Sukses Foke-Nara, Dipo 61, di Jalan Diponegoro No 61, Menteng, Jakarta
Pusat, sekitar 250 ormas berada di belakang pasangan Foke-Nara. Sebagian ormas-ormas
itu adalah mereka yang mengatasnamakan Betawi, Jakarta, nama-nama kawasan di
Jakarta, atau nama yang identik dengan Fauzi Bowo. Para pemimpin ormas itu pada
umumnya mengaku asli Betawi atau warga Jakarta. Beberapa nama ormas itu –selain
yang telah disebut di atas-- adalah Persatuan Orang Betawi, Barisan Jakarta,
Forum Matahari Jakarta, Brigade Anak Jakarta, Eef Bee One, Lembaga Macan
Kemayoran, dan BeCeng (Betawi Cengkareng).
Branding Foke-Nara sebagai calon Betawi tidak hanya
ditunjukkan oleh para pendukungnya, tetapi juga oleh atribut mereka. Misalnya
saja, pakaian yang dikenakan, baik saat mendaftarkan diri sebagai pasangan
calon pada 19 Maret 2012 malam, yang terpasang di sejumlah billboard, poster,
dan spanduk, serta foto yang tercantum dalam surat suara, menunjukkan
kebetawian pasangan ini. Beberapa artis pendukung dalam kampanye juga asli
Betawi seperti Jaja Miharja. Bahkan, mantan Wakil Ketua Golkar DKI Jakarta Agus
Zakaria mengaku rela dipecat dari kepengerusan partai ini ketimbang mengkhianati
saudara Betawinya, Foke-Nara. Dalam setiap kampanye, beberapa lagu yang
dinyanyikan pun berdialek Betawi. Bahkan, bahasa kampanyenya sering menggunakan
bahasa Betawi.
Tetapi, hasil exit poll yang dirilis Harian Kompas
pada 13 Juli 2012 menunjukkan, pasangan Foke-Nara hanya meraih dukungan
58,5 persen dari etnis Betawi. Pasangan nomor 2, yakni Hendardji- A Riza Patria
mendapat dukungan 3,5 persen, Joko Widodo-Basuki 21,8 persen, Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini 9,2 persen, Faisal Basri Batubara-Biem Benjamin 4,4
persen, dan Alex Noerdin-Nono Sampono 2,6 persen. Dengan demikian, Joko-Basuki
mampu meraih simpati dari masyarakat Betawi terbesar kedua setelah Foke-Nara.
Sebenarnya, ketidakkompakan tokoh etnis Betawi
dalam mendukung pasangan calon sudah bisa dirasakan jauh sebelum pemungutan
suara. Tokoh dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, adalah salah satu di antaranya
yang paling getol menyuarakan penolakan terhadap Foke-Nara. "Pasangan Foke-Nachrowi bagi saya paling ancur. Kredibilitas dan kemampuannya memimpin, gagal membawa Ibu
Kota lebih baik. Pasangan ini malah yang akan memperoleh suara rendah alias
kalah," ujar Ridwan Saidi kepada wartawan, Jum'at (13/4/2012) seperti dikutip www.tribunnews.com.
Seorang ulama asli Betawi yang cukup terkenal
dari Jakarta Timur yang digandeng oleh Ketua PWNU DKI Jakarta, Djan Faridz, dan
para habaib dari kawasan Condet, juga mendukung
Joko Widodo-Basuki. Beberapa masyarakat asli Betawi di Kelurahan Kamal,
Kalideres, Jakarta Barat, malah menjadi saksi untuk pasangan yang diusung oleh
PDIP dan Gerindra ini. “Di beberapa TPS di Kamal, saksi Jokowi-Ahok asli
Betawi,” ujar seorang pengurus PDIP Kecamatan Kalideres. Dia mengatakan, mereka
mendukung Jokowi-Ahok karena kedekatan dan pendekatan yang dilakukannya.
Bisa jadi karena faktor itu sehingga suara
Betawi pecah. Di samping itu, kalau kita kaji asal usul etnis ini, ternyata
bukanlah ‘pemilik’ asli Jakarta. Jauh sebelum Betawi ada, Jakarta (Batavia) sudah
ditempati oleh orang dari berbagai suku bangsa, seperti Sunda, Jawa, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu, dan Bali. Dalam
buku pengantar pameran bertajuk “Betawi Punye Gaye” hasil kerja sama Bentara
Budaya Jakarta (BBJ) dan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) disebutkan,
Betawi ibarat gado-gado yang lahir dari berbagai macam suku bangsa (baca: Penduduk Asli Jakarta Bukan Cuma Betawi)
Antropolog
Universitas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA memperkirakan, etnis Betawi
baru terbentuk sekitar seabad lalu, sekitar
tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah
demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta
tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi
tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi (www.wikipedia.org).
Karena asal usulnya yang ‘gado-gado’ itu
membuat suku Betawi memiliki sifat yang lebih terbuka, berjiwa sosial –meskit erkadang
cenderung tendensius-- dan menghargai plurarisme. Meski sebagian besar etnis
Betawi Bergama Islam, sebagian lainnya ada juga yang beragama Kristen Protestan
dan Katolik. Bisa jadi, kondisi itu pula yang memengaruhi perilaku politik mereka
dalam Pilgub DKI 2012 ini.
Bagaimana dengan etnis Tionghoa? Dukungan
mayoritas diberikan etnis ini kepada Joko Widodo-Basuki atau yang dikenal
sebagai pasangan Jokowi-Ahok. Pasangan ini hampir menyapu bersih pemilih
Tionghoa di Jakarta, dengan meraih dukungan 92,7 persen. Sisa warga Tionghoa
sebanyak 7,3 persen menyalurkan aspirasi politiknya dengan memilih Foke-Nara.
Empat pasangan lainnya sama sekali tak meraih dukungan yang siginifikan dari
etnis yang berdasarakan Sensus Penduduk tahun 2000 BPS mencapai 5,52 persen
dari penduduk Jakarta ini.
Kalau kita cermati melalui pemberitaan,
kampanye, maupun gerakan yang dilakukan oleh pasangan ini, dukungan dari warga
Tionghoa tak segerlap dukungan etnis Betawi terhadap Foke-Nara. Tetapi, harus
diakui bahwa tidak ada –atau tidak terdengar-- tokoh Tionghoa yang menolak Ahok
yang secara terus menerus bicara melalui media.
Dukungan menonjol terhadap Ahok sebenarnya hanya
diberikan oleh Persatuan Tionghoa Raya (Petir) –yang sebagian pengurusnya juga
anggota Partai Gerindra. Dukungan itu diberikan Petir saat bertemu dengan Ahok
dalam pertemuan yang berlangsung 12 April 2012 di Jakarta. Saat itu, Ahok pun mengaku
tidak suka dengan istilah pribumi dan nonpribumi.
"Saya
Indonesia asli. Sejujurnya saya tidak suka memakai istilah pribumi dan
nonpribumi. Jangan lihat warna kulit, tetapi lihat karakternya. Saya menjadi
pejabat, itu memperjuangkan semua suku yang ada di Jakarta. Mau Melayu,
Tionghoa, atau Betawi," ujar Ahok, seperti dikutip oleh www.tribunnews.com Rabu (11/4/2012).
Mengenai loyalitas etnis Tionghoa dalam
mendukung Jokowi-Ahok, tidak tertutup
kemungkinan ini adalah bentuk dari luapan sikap tertekan mereka selama ini.
Seperti kita ketahui, pada masa Orde Baru, etnis ni banyak diperlakukan
diskriminatif, terutama di bidang politik dan sosial budaya. Mereka lebih
banyak diarahkan untuk masuk ke bidang ekonomi. Karena itu, begitu ada di
antara mereka yang berpeluang masuk ke
dunia politik, mereka pun menjadi merasa senasib untuk sama-sama memperjuangkan
calon tersebut.
Seorang ketua RW di sebuah kompleks perumahan
di daerah Jakarta Barat mengaku bahwa sebagian besar warganya memang memilih
pasangan Jokowi-Ahok. “Faktor Ahok sangat berpengaruh sekali. Kalau Jokowi sih
tidak terlalu dilihat,” ujar ketua RW yang sebagian besar warganya beretnis
Tionghoa. Dia tak mau menjelaskan secara detail alasan dukungan warganya
terhadap Ahok tersebut.
Prof Nurul Aini, dosen di Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN), mengatakan, ada empat faktor yang memengaruhi pemilih,
yaitu program kandidat, parpol kandidat, orientasi kandidat itu sendiri, serta
birorkat. Faktor etnis dan agama masuk dalam orientasi kandidat.
Tetapi, penelitian yang dilakukan William
Liddle dan Saiful Mujani pada 2003 dan 2007 sebagaimana dikutip dari Kajian
Bulanan Edisi 9 Januari 2008 Lingkaran Survei Indonesia dengan judul Faktor Etnis dalam Pilkada (www.lsi.co.id) menghasilkan
temuan bahwa aspek etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan
seseorang pada partai atau kandidat. Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau
non-Jawa tidak terlihat punya perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden.
Hasil penelitian beda ditunjukkan oleh Aris
Ananta dkk tahun 2004. Hasil penelitian ini menunjukkan etnis adalah salah satu
penjelas dalam perilaku pemilih di Indonesia. Ada partai yang diidentikkan
sebagai Jawa dan partai luar Jawa. Besar kecilnya kontribusi variabel etnis
dalam menjelaskan pilihan pemilih tergantung pada partai masingmasing. Temuan
Ananta dkk ini menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa terdapat
pada PKB dan PDIP. Ini mengukuhkan pandangan bahwa kedua partai ini memang
partai Jawa. Wilayah yang banyak suku Jawanya punya kecenderungan untuk memilih
kedua partai. Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty
) yang relatif tinggi dan partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh
etnisitas (Kajian Bulanan Edisi 9 Januari 2008 LSI, www.lsi.co.id).
Jika mengacu pada penelitian Ananta dkk, bisa
jadi Tionghoa termasuk etnis yang loyal dalam memilih calon gubernur Jakarta.
Atau dengan kata lain, Betawi tak seloyal Tionghoa dalam Pilgub DKI 2012!
Palmerah, 22072012
**pro**