Minggu, 22 Maret 2015

Meluruskan Demokrasi


YUDI LATIF

Demokrasi sudah gagal bahkan sebelum dijalankan. Akar dari segala akar kegagalan demokrasi adalah kekeliruan pemahaman. Berpuluh-puluh tahun lalu ratusan buku dan dunia akademik mengajarkan bahwa demokrasi berasal dari akar kata demos (rakyat) dan kratos/cratein (pemerintahan), dengan menunjuk Athena sebagai pangkal tradisi demokrasi.

Adalah John Keane, mahaguru jempolan dalam sejarah demokrasi dari Universitas Westminster (Inggris), yang melihat kesalahpahaman umum ini dan mengoreksinya dalam The Life and Death of Democracy (2009). Dalam pandangannya, akar istilah demokrasi masih merupakan sesuatu yang misterius. Namun, ia memastikan bahwa istilah démokratia tidaklah berasal dari Athena. Kalaupun masih dalam lingkungan kebahasaan sekitar Yunani, istilah itu mungkin berasal dari periode Mycenaean dan Phoenician, tujuh hingga sepuluh abad lebih dini dari Athena (1500-1200 SM).

Dalam bahasa Mycenaean dikenal kata dámos yang merujuk pada kelompok orang-orang lemah yang menghuni tanah yang sama. Namun, menurut dia, istilah démokratia boleh jadi berakar lebih jauh di Timur dalam tradisi Sumeria. Di sini dikenal kata dumu yang berarti ’penduduk’ atau ’anak-anak’ dari suatu lokasi geografis.

Keane juga memastikan bahwa praktik demokratis dari majelis permusyawaratan orang-orang setara tidaklah berasal dari Yunani. Tradisi majelis dari pemerintahan rakyat pertama-tama muncul di kawasan Timur Tengah, di sekitar negara yang kini disebut sebagai Iran, Irak, dan Suriah, atau yang dulu merupakan kawasan peradaban Sumeria dan Babilonia, yang mulai berkembang sekitar 2500 SM. Dari sana, tradisi majelis rakyat itu menyebar ke anak benua India sekitar 1500 SM dan akhirnya diadopsi oleh kota-kota di sekitar Yunani: pertama oleh Phoenician dan akhirnya oleh Athena sekitar 5 abad SM. Fase pertama sejarah difusi demokrasi ini berakhir di era awal Islam sebelum abad ke-10.

Dengan penjelasan ini, Keane ingin meluruskan demokrasi dari bias prasangka Barat. Ia mencontohkan bias ini dengan menunjuk pemahaman umum bahwa periode setelah kejatuhan imperium Romawi sering dipandang sebagai zaman gelap kemerosotan demokrasi. Padahal, menurut dia, ketika di Eropa Selatan demokrasi mengalami pasang surut, di belahan dunia lainnya—seperti di dunia Islam—demokrasi justru mengalami pasang naik.

Keane ingin menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi yang bermula dari tradisi ”musyawarah majelis rakyat” itu sesungguhnya tidak hanya bersumber dari Barat, tetapi juga bisa ditemukan di belahan dunia lainnya. Bahkan, awalnya muncul di Timur.

Selain itu, Keane juga menyimpulkan bahwa makna demokrasi pun terus berubah sepanjang waktu. Apa yang disebut ”rakyat” dalam demokrasi Athena, misalnya, tidak termasuk perempuan, budak, dan orang- orang di luar polis (kota). Bahkan, ”rakyat” dalam demokrasi Amerika Serikat tidak termasuk perempuan hingga seusai Perang Dunia II. ”Rakyat” setelah revolusi Perancis lebih berasosiasi pada orang-orang borjuis, sementara rakyat biasa ditepikan. Bahkan, dalam pemilu di banyak negara demokratis hari ini, meski secara teoretis melibatkan seluruh rakyat, partisipasi ”rakyat” dalam pemilu pada umumnya di bawah 50 persen.

Alhasil, tidak ada model tunggal demokrasi. Suatu model demokrasi yang dijalankan di suatu masyarakat belum tentu bisa ditiru sepenuhnya oleh masyarakat lain. Gagasan ”demokrasi permusyawaratan” merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat—dalam istilah Robert Putnam (1993)—”demokrasi berjalan” (making democracy work), atau apa yang disebut Michael Saward (2002) ”mengakar” (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Suatu model demokrasi dengan cita-cita kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri, sesuai sifat-sifat ”tanah air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah bangsa.

Yang esensial dalam demokrasi bukanlah langsung atau tidaknya pemilihan atau seberapa banyak rakyat terlibat, melainkan bagaimana orang-orang yang mewakili rakyat itu sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai subyek yang harus dihormati, bukan obyek tindasan tirani militeristik atau tirani modal. Daulat rakyat dijunjung dengan menge-
depankan permusyawaratan demi kebajikan seluruh rakyat, menjalankan kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan dengan kesiapan mendengar dan menerima argumen bermutu secara inklusif, serta menunaikan pertanggungjawaban publik demi keadilan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam sila keempat Pancasila.

Hanya mengandalkan pemilu dan pilkada langsung, bahkan dengan biaya begitu mahal, tidak membuat demokrasi yang kita jalankan semakin menjunjung daulat rakyat. Demokrasi era reformasi justru kian meluaskan kekecewaan publik, seperti tecermin dari semakin merosotnya kepuasan rakyat pada kinerja pemerintah dan menurunnya tingkat partisipasi rakyat.

Meskipun rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada ”sisi permintaan” (demand side) seperti sering didalihkan politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan ”sisi penawaran” (supply side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan rakyat.

Pengalaman menunjukkan, partisipasi rakyat dalam pemilu/pilkada meningkat seiring kemunculan figur-figur politik yang dapat membangkitkan kepercayaan publik. Di tengah apatisme politik, figur politik yang secara tulen menjalankan nilai-nilai demokrasi Pancasila-lah yang sanggup membangkitkan kembali antusiasme rakyat dalam demokrasi.

Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Dimuat di Harian Kompas, Selasa 21 Januari 2014