Kamis, 13 November 2014

Udar Pristono: 32 Bus di Jalur Transjakarta

Palmerah, Wartakotalive.com
Pemprov DKI menyediakan 32 bus yang akan dioperasikan di jalur Transjakarta koridor XII, yakni Pluit-Tanjungpriok, Jakarta Utara.  Tetapi, rencana peluncuran Transjakarta itu, Selasa (22/1/2013) pagi ini batal sehingga ke-32 bus baru tersebut belum beroperasi.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristiono mengatakan, pembatalan launching itu terkait banjir yang nasih terjadi di kawasan Pluit, Jakut.  Meski demikian, semua infrastruktur terkait Transjakarta koridor XII ini sudah siap 100 persen.
“Ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan karena jalurnyanya tergenang. Intinya menunggu sampai air surut,” ujar Pristono.
Mengenai program lain yang tetap diluncurkan hari ini adalah Kopaja AC yang melintas di jalur Transjakarta atau integrasi Kopaja-Transjakarta.  
Integrasi Kopaja AC akan dilakukan untuk Kopaja P20 dan Kopaja S13 yang terintegrasi dengan koridor VI (Ragunan-Dukuhatas) dan koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni) dan koridor I (Kalideres-Harmoni).
Terhadap pelaksanaan integrasi Kopaja AC ke jalur Transjakarta, saat ini armada tersebut telah memiliki kesiapan mengikuti sistem yang berlaku di Transjakarta. Seperti penggunaan  bus yang memiliki dek tinggi dan pintu sebelah kanan. Natinya bus Kopaja ketika berada di jalur busway akan berhenti di halte hanya 30 detik hingga 1 menit.

Dengan berlakunya integrasi ini, penumpang Transjakarta cukup membeli tiket seharga Rp 5.000. Tarif tiket ini berlaku untuk Kopaja AC dan Transjakarta. Jika membeli tiket di halte bus Tranjakarta dikenakan Rp 8.500. Rinciannya, Rp 3.500 untuk Transjakarta dan Rp 5.000 untuk Kopaja AC.

Parpol Peraih Kursi DPRD DKI 2014-2019


Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menetapkan perolehan suara sah partai politik dan kursi untuk DPRD DKI Jakarta. Hasilnya, PDIP meraih suara tertinggi 1.231.843 suara.

"KPU DKI telah menetapkan perolehan kursi partai poltik dan calon terpilih anggota DPRD DKI Jakarta tadi malam," kata komisioner KPU DKI Sidik Selasa (13/5/2014).

Berdasarkan penetapan tersebut, jumlah suara sah tercatat sebanyak 4.537.227 suara. Jumlah kursi yang diperebutkan adalah 106 kursi di DPRD DKI yang berhasil diisi 10 partai politik.

Berikuti perolehan suara dan kursi 10 partai politik untuk DPRD DKI Jakarta:

1. PDIP: 1.231.843 suara (28 kursi)
2. Gerindra: 592.568 suara (15 kursi)
3. PPP: 452.224 suara (10 kursi)
4. PKS: 424.400 suara (11 kursi)
5. Golkar: 376.221 suara (9 kursi)
6. Demokrat: 360.929 suara (10 kursi)
7. Hanura: 357.006 suara (10 kursi)
8. PKB: 260.159 suara (6 kursi)
9. NasDem: 206.117 suara (5 kursi)
10. PAN: 172.784 suara (2 kursi)

Minggu, 14 September 2014

Tips Naik Commuter Line: Cukup Tempel, Semua Beres

Rangkaian Kereta Commuter Line di Stasiun Duri, Jakarta Barat. Foto: Suprapto
SAYA memang warga Jakarta dan bertahun-tahun tinggal di kota ini. Tapi, jujur saya akui tidak semua perkembangan di Ibu Kota ini saya ikuti secara langsung.  Peristiwa pada  Kamis (11/9/2014) malam menunjukkan itu. 

Saat itu, saya melaksanakan niat yang sudah tertanam sejak beberapa hari lalu yaitu pulang kerja naik kereta. Terpaksalah Chinelli --sepeda hitam manis yang paginya saya gowes—ditinggal di kantor. Sepeda dirantai ke pagar besi di lokasi parkir, maklum masih trauma kejadian beberapa waktu lalu ketika si putih Heist 4.0 yang sudah menjelajah sampai Nusa Tenggara Timur hilang di lokasi yang sama.

Sekitar pukul 19:30, selepas salat Isya, saya berkemas. Kepada rekan sekantor yang selama ini dijuluki sebagai sesepuh anker (anak kereta), Bang Apr, saya menyampaikan permohonan untuk pulang bersama. Selain membutuhkan teman, saat itu saya butuh ‘bimbingan’ dari sang senior. Dan ternyata pilihan itu tidak salah. Julukan sesepuh kereta memang sangat tepat.

Begitu sampai di Stasiun KA Palmerah, saya langsung ditunjukkan cara membeli tiket/karcis yang sekarang sistem dan bentuk fisik, serta pelayannya ternyata sudah berubah. Dulu ketika saya kecil dan sering naik spur, karcis kereta itu seukuran kartu domino/gaple. Warnanya hijau. Ketika ada orang beli, di karcis itu baru dicetak stasiun tujuan. Dalam perkembangannya, karcis mirip kartu gaple itu diganti kertas selembar sukuran kuitansi yang dicetak menggunakan printer. Di tiket itu juga tertulis stasiun tujuan akhir penumpang.
Tiket elektronik Commuter Line. Foto:Suprapto
Karcis model kartu gaple dan kertas selembar itu sama-sama harus ditunjukkan kepada petugas jaga di pintu masuk stasiun sebelum penumpang masuk peron, tempat menunggu kereta. Di dalam kereta, akan ada kondektur mondar mandir dari satu gerbong ke gerbong lainnya untuk memeriksa karcis penumpang. Mereka membawa alat mirip tang/catut atau pelubang kertas. Karcis yang sudah diperiksa, diberi lubanga atau digunting. Penumpang yang tak punya karcis biasanya langsung kasih uang. Bisa jadi dari situ lah muncul istilah tukang catut.

Tapi, Kamis malam semuanya menjadi  masa lalu. Kepada petugas loket ketika saya jelaskan akan beli karcis kereta untuk tujuan ke Stasiun Rawabuaya, Jakarta Barat, dia tak lagi mencetak karcis. Saya kasih uang Rp 10.000 dan dikembalikan Rp 3.000 plus tiket KA berwarna putih, mirip kartu ATM. Inilah yang dinamakan tiket elektronik –salah satu hasil perbaikan sistem perkeretapian yang dilakukan Dirut PT KAI Ignatuis Jonan.  Untuk bisa masuk ke stasiun, cukup tempelkan tiket elektronik atau e-ticket ini ke pintu otomatis –mirip pintu masuk ke tempat rekreasi Ancol. Sangat praktis dan tak butuh banyak petugas untuk memeriksanya. Untuk keluar stasiun, juga cukup tempelkan e-ticket dan semua beres.

Di dalam stasiun, petugas PT KAI secara rutin mengumumkan sejumlah kereta yang akan melintasi stasiun tersebut.  Saya diajak oleh Bang Apr untuk menyeberang, menuju ke sisi timur atau spur dua. Di spur dua inilah tempat kereta melintas menuju ke Tanahabang, stasiun transit pertama yang akan saya dan Bang Apr tuju. Selama menunggu kereta, Bang Apr bercerita banyak tentang dunia perkeretapian, khususnya tempat stasiun transit yang harus saya lewati. Pertama transit di Stasiun Tanahabang. Kemudian naik kereta tujuan ke Stasiun Duri. Di Stasiun Duri naik lagi kereta tujuan Tangerang dan turun di Stasiun Rawabuaya.
Peta Commuter Line Jabodetabek. Foto: Suprapto
Tertinggal Kereta
Di Stasiun Tanahabang kami berpisah. Bang Apr naik kereta ke Bogor, sedangkan saya menunggu kereta tujuan Duri. Tapi, sebelum dia naik kereta terlebih dahulu berpesan bahwa kereta tujuan Duri sebentar lagi akan tiba. Waktu menunjukkan pukul 20.15-an. Tak begitu lama setelah kereta Bogor di jalur tiga tiba, datanglah kereta lain di jalur dua, tempat saya menunggu. Saya dengar petugas KA mengumumkan bahwa kereta di jalur dua tujuan Stasiun Jatinegara. Semula saya akan naik, tapi kemudian membatalkan diri karena saya tak yakin.  Dalam hati, jika dari Stasiun Tanahabang maka letak Stasiun Jatinegara adanya di sebelah selatan timur, sedangkan stasiun Duri terletak di sebelah barat/utara. Karena itu tak mungkin kereta yang disebutkan tujuan ke Jatinegara  akan lewat Duri.

Ternyata, logika saya salah. Setelah kereta tersebut berangkat dan saya tanya ke beberapa penumpang, kereta ke Jatinegara itu memang melewati Duri. Saya belum yakin dan mencoba cari tahu lagi. Sampailah mendapatkan gambar diagram perjalan kereta Commuter Line Jabodetabek. Ternyata, ada kereta yang memang berputar atau pulang balik di dalam kota, melayani beberapa stasiun termasuk di antaranya ya Stasiun Duri serta Jatinegara.  Karena tertinggal kereta, maka saya harus menunggu kereta berikutnya sekitar 15 menit kemudian.

Peristiwa itu membuat saya tersadar bahwa terkadang logika ini memiliki keterbatasan dan sering kali membuat  kita keliru mengambil keputusan. Di samping itu, perkembangan kota yang begitu cepat ternyata tidak bisa hanya kita ikuti melalui pemberitaan, dari belakang meja semata. Turun ke lapangan, menyaksikan dan mencoba secara langsung ternyata memberikan informasi yang jauh lebih besar dan bermanfaat.

Dan yang jelas, perjalanan kereta malam itu meski membuat saya tiba di rumah lebih lambat dibandingkan menggowes, tetaplah pengalaman yang menyenangkan.  Rasanya tak berlebihan kita memberikan apresiasi kepada Dirut PT KAI Ignatius Jonan dan para stakeholder kereta api yang sudah melakukan perubahan. Mudah-mudahan perubahan tak berhenti demi pelayanan kepada warga. 

Rabu, 16 Juli 2014

Bowo yang Ini Lebih Gentleman Dalam Hadapi Jokowi


SELEPAS matahari tergelincir ke barat, Kamis, 20 September 2012, rumah dinas Gubernur DKI Jakarta di kawasan Taman Suropati,  Menteng, Jakarta Pusat, dipadati sejumlah pendukung Fauzi Bowo. Ada Mayjen Purn Nachrowi Ramli, mantan Menteri Otonomi Daerah Prof Ryaas Rasyid, pakar pendidikan yang juga besan Fauzi Bowo, Prof Arief Rachman Hakim, Direktur Eksekutif Jaringan Suara Indonesia Widdi Aswindi, serta anggota inti tim sukses  Foke –panggilan Fauzi Bowo. Istri, anak, menantu, dan cucu juga ikut bergabung.

Melalui sebuah televisi, mereka monitor perkembangan hasil Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2012 hasil hitung cepat lembaga survey. Pada tahap awal, suara kedua pasangan calon, yaitu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Jokow Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) tak beda terlalu jauh. Foke-Nara adalah pasangan nomor urut 1 yang meraih suara 34,05 perse dan Jokowi-Ahok adalah pasangan nomor urut 3 yang meraih 42,6 persen pada putaran pertama. Sesuai UU 29 tahun 2007 tentang Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia maka pemenang Pilgub DKI Jakarta adalah pasangan calon yang meraih suara 50 persen lebih.

Begitu suara Jokowi-Ahok terus di atas Foke-Nara, suasana makin tegang. Jarum jam menunjukkan pukul 13.30. Suara Foke-Nara makin tertinggal. Meski hitung baru mendekati angka 90 persen, Foke langsung memerintahkan anakbuahnya untuk  menghubungi Jokowi. Dia ingin segera mengucapkan selamat. Tetapi, permintaan itu dicegah beberapa anggota tim suksesnya. Mereka beranggapan, pertandingan belum berakhir. Mengucapkan selamat berarti mengakui kekalahan. Rupanya, beberapa anggota tim sukses tengah menyiapkan strategi lain agar sang jago tetap bertengger di Balai Kota DKI.

Foke bertanya ke Widdi yang merupakan konsultan politiknya. Dia diminta menjelaskan apa arti hitung cepat dan apa pula konsekuensinya. Apakah masih mungkin hasilnya akan berubah dan membalik keadaan. Widdi menjelaskan, dengan selisih angka yang begitu tinggi dan margin error yang kecil, maka sangat tidak mungkin hasil hitung cepat akan  berbeda total dengan hasil sesungguhnya. Dalam pengetahuan Widdi, kasus perbedaan antara hitung cepat dan hasil sesungguhnya  hanya pernah terjadi sekali, di Aceh.

Begitu dijelaskan Widdi, anggota tim sukses diam. Foke tetap meneruskan rencananya untuk mengucapkan selamat meski penghitungan quick count belum selesai. “Selisih lima menit dalam keadaan seperti sekarang sangat berarti,” ujar Foke. Dia mengangkat telepon dan tak begitu lama kemudian mengatakan, ” Mas Jokowi, selamat atas kemenangan ini. Saya berharap Anda dan Pak Basuki sukses. Ini kembang demokrasi. Saya titip Jakarta, semoga lebih baik dan lebih maju.”

Suasana makin tegang. Beberapa yang hadir, tak kuasa matanya berkaca-kaca. Meski demikian, Foke tetap tegar. Dia kemudian meminta kertas untuk menulis sejumlah poin dan meminta anggota tim suksesnya untuk menyiapkan jumpa pers. Seperti biasa, lokasi press conference adalah di markas mereka, Dipo 61, di Jalan Diponegoro No 61, Menteng, Jakarta Pusat. Ini adalah rumah almarhum Sudjono Humardhani, mertua Foke.

Setelah itu, muncul beberapa pembicaraan. Ada usulan yang cukup mengerikan dan bisa menciptakan kekacauan di Jakarta. “Anggota di lapangan siap bergerak. Mereka tinggal menunggu perintah,” ujar salah satu pendukung Foke seperti diucapkan sebuah sumber. Sumber itu menambahkan, beberapa kelompok masyarakat memang sudah stand by di kawasan Pecinan dan pusat perbelanjaan, seperti Pinangsia dan Glodok, Jakarta Barat.

Ada pula yang mencoba mengusulkan cara-cara lain untuk menggagalkan hasil Pilgub DKI putaran kedua. “Misalkan Pak Jokowi meninggal, apakah bisa diulang,” tambah sumber itu. Susana makin tegang. Tetapi, Foke tetap berusaha tenang. Ia kemudian mengingatkan anggota tim sukses dan pendukungnya  untuk menerima pilihan warga Jakarta. Apa pun hasil akhirnya, harus tetap dihormati.

Suasana berbeda terjadi di markas Jokowi-Ahok di Jalan Borobudur No 22, Menteng. Di sini, Jokowi dan pendukungnya bersuka ria. Mereka menyaksikan hitung cepat melalui televisi  sambil menyanyikan lagu kelompok musik Queen berjudul We Are the Champions. Kadang muncul yel-yel berbunyi, “Jokowi-Ahok Siapa yang Punya” berulang-ulang.  Sebagian besar  yang hadir memakai kemeja kotak-kotak, baju ‘kebesaran’ pasangan Jokowi-Ahok. Suarana kegembiraan berlangsung hingga malam.

Ucapan selamat Foke terhadap Jokowi tak begitu lama kemudian menyebar baik melalui media sosial maupun media online. Berbagai tanggapan bermunculan. Tetapi, Jokowi tetap mengingatkan para pendukungnya agar tetap bersikap santun. Tidak perlu pawai kemenangan. Kepada Ahok, Jokowi juga berpesan agar tetap berkomentar yang baik dalam menanggapi pertanyaan wartawan terkait kemenangan Pilgub DKI Jakarta. Jangan sampai suasana yang kondusif berubah hanya karena dipicu pernyataan yang menyakitkan kelompok yang kalah.

Lembaga Survei
Jokowi-Ahok (%)
Foke-Nara (%)
Lembaga Survei Indonesia
53,81
46,19
Lingkaran Survei Indonesia
53,68
46,32
Indo Barometer
54,11
45,89
Jaringan Suara Indonesia
53,28
46,71
MNC Research
52,49
47,51
Kompas
52,97
47,03

Gambar 1: Hasil Hitung Cepat Pilgub DKI Putaran Kedua Enam Lembaga Survei


Sikap Negarawan
Apa yang dilakukan Foke dan juga Jokowi dalam menyikapi hasil Pilgub DKI 2012 adalah sikap seorang negarawan. Dalam pengamatan penulis, sangat sedikit –malah bisa dibilang tidak ada—peserta  pemilihan kepala daerah  yang dinyatakan kalah lewat hasil hitung cepat pada hari pertama pemungutan suara langsung mengucapkan selamat kepada lawan politiknya. Bahkan pemilihan Presiden yang mestinya para kandidatnya menjadi contoh rakyat Indonesia, tidak ada yang secara gentle mengucapkan selamat begitu pemungutan suara selesai.

Yang muncul saat ini justru sikap tidak puas dan tidak menerima hasil pilihan rakyat. Para kandidat yang kalah mencari-cari kesalahan pemenang dan kemudian membuat pernyataan lewat media massa. Mereka juga mengerahkan massa untuk berunjuk rasa. Anggota tim sukses mencari berbagai dalih untuk kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Kalau pun  tidak melakukan gugatan, terkadang mereka tidak mau meneken hasil penghitungan suara resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Buntutnya, rakyat marah yang di beberapa daerah malah memicu kerusuhan.

”Kami sadar, dalam setiap kompetisi ada yang menang, ada yang kalah. Ada yang terpilih dan tidak terpilih. Mari kita junjung proses demokrasi yang menentukan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Kepada masyarakat, saya imbau jaga ketenangan karena kemenangan ini adalah milik kota Jakarta. Saya ajak warga Jakarta untuk menyikapi hasil pilkada dengan baik,” ujar Fauzi (Kompas, 21 September 2012).

Acungan jempol dan komentar bernada positif pun bermunculan. "Saya mengucapkan selamat kepada Jokowi beserta rekan-rekan pendukung dan pemilihnya dan salut kepada Fauzi Bowo yang menunjukkan kepemimpinan sejati dalam berdemokrasi," kata anggota DPR dari  Partai Demokrat Ingrid Kansil.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengapresiasi peran warga DKI Jakarta dalam pemilihan kepala daerah yang berlangsung aman dan tertib. Presiden meminta agar keamanan dan ketertiban tetap dijaga, hingga tahapan pilkada selesai dan gubernur terpilih dapat melanjutkan pembangunan Jakarta. Keamanan Jakarta adalah barometer keamanan nasional.

Meski secara politik berlawanan, Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, M Taufik, memuji sikap Fauzi dan Jokowi sebagai sikap seorang negarawan. Teladan itu mesti menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah cara berdemokrasi Negara besar. Cara berdemokrasi yang benar. Demokrasi memang berkompetisi. Tetapi, begitu rakyat telah menjatuhkan pilihan, semuanya harus legowo.

“Saya menaruh  hormat kepada Pak Fauzi yang telah membuka mata dunia bahwa Pilgub DKI Jakarta adalah contoh cara berdemokrasi yang sesungguhnya. Semua tahu persaingan begitu ketat. Suhu politik begitu panas. Isu SARA bermunculan dan terus dikipas oleh kelompok tertentu. Dan saya tahu, beberapa kelompok massa juga siap bergerak untuk menciptakan kerusuhan. Tetapi, Pak Fauzi tetap berkelapa dingin dan langsung mengakui kemenangan Jokowi-Ahok pada hari pertama pemungutan suara,” ujarnya kepada penulis.

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Rajab pun memberikan  penghargaan dan terima kasih kepada warga  Jakarta yang sudah melaksanakan pencoblosan dan penghitungan suara dengan tertib. Kepada kedua cagub, kapolda juga memberikan apresiasi yang luar biasa. Ucapan selamat Fauzi kepada Jokowi dan pernyatan Jokowi yang meminta pendukungnya untuk menghormati Fauzi Bowo dan pendukungnya, bisa menjadi contoh bagi pilkada di daerah lain. Sikap itu menjadi salah satu kunci dalam menciptakan suasana  keamanan di Jakarta menjadi kondusif, selain karena kesiagaan aparat dan peran serta aktif masyarakat.

Pilgub  DKI menjadi contoh besar bagi pemilihan kepala daerah di seluruh Tanah Air. Kerja sama yang baik dilakukan oleh pasangan yang menang dan kalah untuk  membangun Jakarta ke depan. Itulah sikap petarung sejati. Mereka tetap menjunjung tinggi sportivitas. Meski persaingan begitu ketat dan hingga ‘berdarah-darah’, tetapi begitu hasil akhir telah diputuskan, keduanya sama-sama menerima. Sikap yang menang tidak ngasorake, dan yang kalah tidak merasa terhina.

Tulisan ini adalah artikel berjudul "Suram di Suropati Meriah di Borobudur" yang saya ambil dari buku berjudul "Rakyat Tak Percaya Parpol, Plus Minus Pilgub DKI Jakarta' yang ditulis Suprapto dan diterbitkan Februari 2013.