Anda
tentu tahu Bosscha. Tepatnya bernama Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha. Ternyata, orang Belanda yang merintis pendirian Institut Teknologi
Bandung (dulu Technische Hogeschool)
diyakini oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Malabar, Pengalengan,
Bandung, masih hidup. Bahkan secara rutin dia mengunjungi kampus ITB dan juga
bermain piano di rumahnya nan asri di tengah perkebunan teh di Malabar.
Saya memang tidak bertemu langsung dengan Bosscha di
Malabar, kecuali menemukan sejumlah peninggalannya yang masih tersimpan rapi di
rumahnya. Peninggalan dimaksud antara lain rumah dan isinya seperti penyaring
air minum (pure drinking water filter)
dari keramik buatan England, piano buatan tahun 1837, seperangkat billiard,
lemari, meja, dan foto diri, serta gubuk kecil di Gunung Nini (bukit paling
tinggi perkebunan teh) yang dimanfaatkan oleh Bossca untuk mengawasi aktivitas
di perkebunan itu.Selain itu, saya juga tahu peninggalan lainnya, seperti
Gedung ITB dan observatorium Bosscha.
Meski demikian, cerita-cerita keberadaan Bosscha yang
masih hidup sangat diyakini oleh masyarakat di sekitar Malabar. Maman (60-an),
petugas dapur di rumah Bosscha; Ophir
(60-an), juru kunci makam Bosscha; dan Endang (65), tukang bersih taman di sekitar gubuk kecil di
Gunung Nini, adalah orang-orang yang tetap yakin Bosscha masih ada dan
terkadang hadir menengok peninggalannya. Cerita di antara mereka juga seperti
saling melengkapi, sehingga jika kita mendengarkan omongan ketiga orang itu terkadang
seperti membayangkan kehadiran sosok lelaki bertubuh besar dan berkumis tebal
tersebut, seperti terlihat pada foto yang dipampang di rumah Bosscha.
“Kadang juragan Bosscha main piano. Waktu malam Natal
kemarin (2011) banyak yang mendengar suara piana yang dimainkan juragan
Bosscha,” ujar Endang yang tinggal di sebuah rumah di perkampungan khusus
pekerja PT PN VIII, tak jauh dari rumah Bosscha. Dia mengatakan itu saat saya
temui akhir tahun 2011.
Maman yang mengaku sudah pensiun dari PT PN VIII
tetapi dipekerjakan kembali itu mengatakan, Bosscha sering bermain billiard atau menonton orang
yang memainkan billiard di rumahnya. Meja billiard, lengkap dengan tiga bola,
stik, dan papan pencatat nilai, serta kursi panjang untuk tempat duduk
penonton, masih terdapat di lantai bawah rumah Bosscha. “Ya percaya nggak percaya. Tetapi, juragan Bosscha
memang sering main billiard. Saya pernah melihat malam-malam,” ujarnya.
Pendapat yang cukup mengejutkan disampaikah Ophir yang
mengaku sudah beberapa tahun ini menjadi penjaga (kuncen) makam Bosscha yang
terletak di hutan kecil tak jauh dari rumahnya. Kompleks makam yang dipagar itu
terlihat rapi karena setiap hari dibersihkan oleh Ophir yang terkadang ditemani
oleh istrinya. Dia membersihkan makam itu, selain karena memang mendapat tugas
dari perusahaan, juga karena mengaku diperintah langsung oleh tuan Bosscha yang
tidak suka jika makamnya kotor.
“Bahkan waktu bangku besi yang biasa dipakai untuk
duduk-duduk juragan Bosscha hilang,
beliau bilang ke saya supaya diikhlaskan saja. Padahal bangku itu
dulunya sering dipakai untuk istirahat juragan,” ujar Ophir. Dia menambahkan,
Bosscha tidak hanya hadir di makam, tetapi secara berkala mengunjungi beberapa
peninggalannya. Misalnya hari Senin dia menengok Observatorium Bosscha di
Lembang, Bandung, hari Selasa melihat Gedung Merdeka, Badung, dan hari Rabu
melihat Gedung ITB. Hari-hari lainnya
dia manfaatkan untuk mengontrol perkebunan Malabar, Ciwidey, dan juga melihat
rumahnya.
“Saya nggak
bohong. Saya kan bertemu juragan Bosscha di sini dan cerita bahwa juragan masih
secara rutin ngontrol peninggalannya.
Cerita saya juga nyambung dengan
orang-orang yang pernah bertemu dengan
juragan Bosscha di Lembang, ITB, atau tempat lain. Pasti harinya sama,” ujar
Ophir.
Masyarakat Malabar memang tahu bahwa Bosscha itu
secara fisik telah dikubur di hutan kecil di tengah perkebunan teh. Tempat
penguburan itu adalah permintaan terakhir sang meneer sebelum meninggal. Buat warga Malabar, Bosscha adalah sosok
orang asing yang sangat baik. Dia tidak hanya sering membantu warga susah,
tetapi juga mengembangkan pendidikan dan kesehatan. Sebuah sekolah dasar yang
dibangun Bosscha di Malabar masih tetap ada dan menjadi tempat pendidikan
hingga sekarang.
“Bahkan belum lama ini ada orang tua di sini yang
sakit, dia minta tolong ke juragan Bosscha dan ternyata sembuh juga,” tambah
Ophir. “Memang dia kan orang asing,
tetapi sudah dianggap seperti orang kita aja karena sangat baik.”
Karel
Albert Rudolf (KAR) Bosscha lahir di
Belanda tahun 1865 dan meninggalkan tahun 1928 di Malabar setelah terjatuh dari kudanya saat
melihat-lihat perkebunan teh. Bosscha membangun,
mengembangkan, dan mengelola perkebunan
teh di Malabar sekitar tahun 1896.
Dia datang ke Indonesia tahun 1887. Secara resmi, dia tidak menikah. Tetapi, warga sekitar Malabar tahu
bahwa juragan Bosscha memiliki istri selir dan mempunyai tiga orang anak. Meski
Bosscha berasal dari negara penjajah, oleh warga sekitar tetap dihormati karena
perilakunya yang baik. Seperti pepatah Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau
Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama. Meski secara fisik
Bosscha sudah meninggal dan makamnya pun terawat dengan baik, masyarakat
sekitar tetap menganggap juragannya itu masih hidup. Bahkan masih sering
dimintai bantuan. Hebat!
Palmerah,
13 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar