Rabu, 21 Maret 2012

Arwah Bosscha Rutin Kunjungi ITB


Anda tentu tahu Bosscha. Tepatnya bernama Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha. Ternyata, orang Belanda yang merintis pendirian Institut Teknologi Bandung (dulu Technische Hogeschool) diyakini oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Malabar, Pengalengan, Bandung, masih hidup. Bahkan secara rutin dia mengunjungi kampus ITB dan juga bermain piano di rumahnya nan asri di tengah perkebunan teh  di Malabar.

Saya memang tidak bertemu langsung dengan Bosscha di Malabar, kecuali menemukan sejumlah peninggalannya yang masih tersimpan rapi di rumahnya. Peninggalan dimaksud antara lain rumah dan isinya seperti penyaring air minum (pure drinking water filter) dari keramik buatan England, piano buatan tahun 1837, seperangkat billiard, lemari, meja, dan foto diri, serta gubuk kecil di Gunung Nini (bukit paling tinggi perkebunan teh) yang dimanfaatkan oleh Bossca untuk mengawasi aktivitas di perkebunan itu.Selain itu, saya juga tahu peninggalan lainnya, seperti Gedung ITB dan observatorium Bosscha.
Meski demikian, cerita-cerita keberadaan Bosscha yang masih hidup sangat diyakini oleh masyarakat di sekitar Malabar. Maman (60-an), petugas dapur  di rumah Bosscha; Ophir (60-an), juru kunci makam Bosscha; dan Endang (65),  tukang bersih taman di sekitar gubuk kecil di Gunung Nini, adalah orang-orang yang tetap yakin Bosscha masih ada dan terkadang hadir menengok peninggalannya. Cerita di antara mereka juga seperti saling melengkapi, sehingga jika kita mendengarkan omongan ketiga orang itu terkadang seperti membayangkan kehadiran sosok lelaki bertubuh besar dan berkumis tebal tersebut, seperti terlihat pada foto yang dipampang di rumah Bosscha.
“Kadang juragan Bosscha main piano. Waktu malam Natal kemarin (2011) banyak yang mendengar suara piana yang dimainkan juragan Bosscha,” ujar Endang yang tinggal di sebuah rumah di perkampungan khusus pekerja PT PN VIII, tak jauh dari rumah Bosscha. Dia mengatakan itu saat saya temui akhir tahun 2011.
Maman yang mengaku sudah pensiun dari PT PN VIII tetapi dipekerjakan kembali itu mengatakan, Bosscha  sering bermain billiard atau menonton orang yang memainkan billiard di rumahnya. Meja billiard, lengkap dengan tiga bola, stik, dan papan pencatat nilai, serta kursi panjang untuk tempat duduk penonton, masih terdapat di lantai bawah rumah Bosscha. “Ya percaya nggak percaya. Tetapi, juragan Bosscha memang sering main billiard. Saya pernah melihat malam-malam,” ujarnya.
Pendapat yang cukup mengejutkan disampaikah Ophir yang mengaku sudah beberapa tahun ini menjadi penjaga (kuncen) makam Bosscha yang terletak di hutan kecil tak jauh dari rumahnya. Kompleks makam yang dipagar itu terlihat rapi karena setiap hari dibersihkan oleh Ophir yang terkadang ditemani oleh istrinya. Dia membersihkan makam itu, selain karena memang mendapat tugas dari perusahaan, juga karena mengaku diperintah langsung oleh tuan Bosscha yang tidak suka jika makamnya kotor.
“Bahkan waktu bangku besi yang biasa dipakai untuk duduk-duduk juragan Bosscha hilang,  beliau bilang ke saya supaya diikhlaskan saja. Padahal bangku itu dulunya sering dipakai untuk istirahat juragan,” ujar Ophir. Dia menambahkan, Bosscha tidak hanya hadir di makam, tetapi secara berkala mengunjungi beberapa peninggalannya. Misalnya hari Senin dia menengok Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, hari Selasa melihat Gedung Merdeka, Badung, dan hari Rabu melihat Gedung  ITB. Hari-hari lainnya dia manfaatkan untuk mengontrol perkebunan Malabar, Ciwidey, dan juga melihat rumahnya.
“Saya nggak bohong. Saya kan bertemu juragan Bosscha di sini dan cerita bahwa juragan masih secara rutin ngontrol peninggalannya. Cerita saya juga nyambung dengan orang-orang yang pernah bertemu  dengan juragan Bosscha di Lembang, ITB, atau tempat lain. Pasti harinya sama,” ujar Ophir.
Masyarakat Malabar memang tahu bahwa Bosscha itu secara fisik telah dikubur di hutan kecil di tengah perkebunan teh. Tempat penguburan itu adalah permintaan terakhir sang meneer sebelum meninggal. Buat warga Malabar, Bosscha adalah sosok orang asing yang sangat baik. Dia tidak hanya sering membantu warga susah, tetapi juga mengembangkan pendidikan dan kesehatan. Sebuah sekolah dasar yang dibangun Bosscha di Malabar masih tetap ada dan menjadi tempat pendidikan hingga sekarang.
“Bahkan belum lama ini ada orang tua di sini yang sakit, dia minta tolong ke juragan Bosscha dan ternyata sembuh juga,” tambah Ophir.  “Memang dia kan orang asing, tetapi sudah dianggap seperti orang kita aja karena sangat baik.”
Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha lahir di Belanda tahun 1865 dan meninggalkan tahun 1928 di Malabar setelah terjatuh dari kudanya saat melihat-lihat perkebunan teh. Bosscha membangun, mengembangkan, dan mengelola  perkebunan teh di Malabar sekitar tahun 1896. Dia datang ke Indonesia tahun 1887. Secara resmi, dia tidak menikah. Tetapi, warga sekitar Malabar tahu bahwa juragan Bosscha memiliki istri selir dan mempunyai tiga orang anak. Meski Bosscha berasal dari negara penjajah, oleh warga sekitar tetap dihormati karena perilakunya yang baik. Seperti pepatah Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama. Meski secara fisik Bosscha sudah meninggal dan makamnya pun terawat dengan baik, masyarakat sekitar tetap menganggap juragannya itu masih hidup. Bahkan masih sering dimintai bantuan. Hebat!
Palmerah, 13 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar