Minggu, 22 April 2012

Jangan Mati di Jakarta




JANGAN mati di Jakarta. Kalimat itu terkadang keluar dari mulut warga yang kesal sulitnya mengurus pemakaman di Ibu Kota. Bukan cuma prosedur yang berbelit-belit, tapi juga praktik pungutan liar (pungli) masih saja merebak. Ancaman  tindakan tegas’ yang disampaikan pejabat seperti angin lalu.
Para pelaku pungli di lapangan selalu saja memperbaiki modus praktiknya. Jika sebelumnya dilakukan oleh aparat berbaju coklat, kini pungli itu dilakukan oleh para pegawai honorer atau pegawai/karyawan yang dijadikan mitra.
Sesuai Perda No 1 tahun 2006 tentang Retribusi, sewa lahan atau retribusi pemakaman untuk tiga tahun pertama paling murah Rp 0 (Blok AIII) dan termahal Rp 100.000 (blok AAI). Sewa berlaku tiga tahun dan dapat diperpanjang lagi dengan membayar retribusi sebesar 50 persen dari retribusi untuk tiga tahun kedua dan 100 persen dari retribusi untuk tiga tahun ketiga.
Tapi, retribusi itu hanya ada di atas kertas. Hasil investigasi Warta Kota, di lapangan, tarif berlaku sesuai permintaan petugas pemakaman. Di TPU Tegal Alur, Jakarta barat, kelas AAI sekitar Rp 2 juta-Rp 3 juta. Tergantung negosiasi. Di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat, tarifnya mencapai Rp 4,5 juta. Di TPU Joglo, Jakarta Barat, dan TPU Petamburan, Jakarta Pusat, tarif mencapai Rp 5 juta. Jika dikaitkan dengan retribusi resmi, berarti terjadi kenaikan ribuan persen. Petugas pemakaman biasanya tak akan memberikan kuitansi sebesar uang yang diterima.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkan) DKI membantah adanya praktik pungli di TPU yang dilakukan petugas resmi. Kepala Distamkan DKI Catharina Suryowati mengakui seringkali ahli waris membayar dengan uang yang banyak pada saat memakamkan keluarganya. "Namun itu semua bukan dilakukan oleh petugas TPU melainkan orang‑orang yang mencari keuntungan," ujarnya.
Dia mengakui dulu masih ada ahli waris yang membayar hingga Rp 5 juta untuk biaya pemakaman. Tetapi, uang itu diberikan kepada calo atau yang disebut sebagai mitra. "Dulu memang disebutnya mitra sehingga biaya bisa membengkak hingga Rp 5 juta. Tapi di bawah kepemimpinan saya, tidak ada lagi itu mitra. Mereka bukan mitra kerja kita, uangnya juga bukan masuk ke DKI," tegasnya.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkan) DKI
Penyebab masih maraknya pungli di TPU, kata Anggota Komisi D DPRD DKI, Syahrial, karena lemahnya pengawasan.  "Lemahnya pengawasan oleh jajaran Pemprov DKI membuat pungli TPU merajalela. Ini lah yang disebut orang mati pun masih diperjualbelikan," tegasnya.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna berpendapat, semua area TPU di Jakarta sudah dikuasai oleh warga dan preman setempat. Mereka lebih tahu lokasi mana yang kosong dan bisa digali untuk makam. "Dinas Pertamanan memang tidak bisa berbuat banyak, para mitra yang tidak resmi ini menguasai dan berhubungan langsung dengan para ahli waris," tuturnya.
Hingga Rp 10 juta
Sementara itu, para petugas di TPU biasanya tidak langsung menyebutkan angka biaya pemakaman ketika ditanya. Mereka hanya mengatakan biaya seperti biasa. Barulah ketika didesak, mereka menyebutkan jumlah tertentu sambil diembel-embeli dengan perkataan murah, yang lain biasanya lebih mahal, atau ini biaya seperti biasa.
"Kalau yang AAI Rp 2 jutaan. Tetapi, kalau mau ngasih lebih lagi juga nggak apa-apa. Kalau terpaksa nggak ada duit, ya nanti bisa dibicarakan lagi," ujar  seorang petugas yang mengaku mitra di TPU Tegalalur, Jakbar, pekan lalu.
Seorang petugas di TPU Joglo tak mau menyebut biaya pemakaman. Dia kemudian mengantarkan Warta Kota menemui seseorang berjaket jins yang biasa langsung berhubungan dengan ahli waris. Orang tersebut menyebut angka Rp 5 juta untuk biaya pemakaman di blok AAI  untuk agama Kristen. "Yah, kalo di sini mahal. Rp 5 juta ke atas lah. Nanti kuitansinya bisa dibuatkan kalau mau," ujar pria itu sembari tersenyum masam.
Menurutnya, biaya itu sudah termasuk murah karena untuk membayar sewa tenda, kursi, batu nisan, dan rumput, serta tukang gali makam. Padahal, Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkan DKI) telah mengalokasikan dana khusus untuk biaya gali makam sebesar Rp 300.000 per lubang. Biaya itu tidak jelas apakah sampai ke tukang gali atau berhenti di tempat tertentu.
Ujang (53), petugas di TPU Petamburan, mengatakan, biaya pemakaman untuk lubang baru sekitar Rp 5,5 juta. Biaya ini sudah termasuk untuk pemasangan rumput, nisan, dan tenda untuk prosesi penguburan. Tetapi, kalau ingin dimakamkan di lokasi yang strategis dan mesti membongkar makam lama, biayanya membengkak hingga Rp 10 juta.
Memang ada juga biaya pemakaman yang masih di bawah Rp 1 juta, terutama untuk lokasi makam yang tidak strategis dan berada di Blok A I atau AII. Tetapi, lokasinya tak terawat, kotor, dan ditumbuhi rumput yang tinggi-tinggi.
Distamkan DKI tidak hanya lemah dalam melakukan pengawasan, tetapi juga lemah dalam pendataan dan administrasi. Data jumlah warga yang dimakamkan pun tidak tersedia secara lengkap. Tahun 2011, dari 78 lokasi TPU di DKI Jakarta, 13 TPU di antaranya tidak melaporkan jumlah pemakaman. Bahkan ada salah satu Suku Distamkan yang data dalam setahun hanya diisi beberapa bulan.
Berdasarkan data Distamkan DKI yang tidak akurat itu, setahun sekitar 28.000 orang meninggal dunia. Jika ahli waris setiap orang yang meninggal itu rata-rata diminta membayar Rp 2 juta, berarti peredaran uang yang tidak jelas pertanggungjawabannya di TPU per tahun adalah Rp 5,6 miliar. 

BIAYA RESMI PEMAKAMAN
Blok AAI          Sebesar        Rp.   100.000
Blok AAII        Sebesar       Rp.     80.000
Blok AI             Sebesar        Rp.     60.000
Blok AII             Sebesar        Rp.     40.000
Blok AIII         Sebesar        Rp.          0
Sumber: Perda No 1 tahun 2006 tentang Retribusi
Catatan: Sewa untuk tiga tahun pertama

Palmerah 230412
**pro**

Jumat, 20 April 2012

Penduduk Asli Jakarta Bukan Cuma Betawi


Awal pekan ketiga April 2012, saya dan temen-temen di kantor ngobrolin seputar Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 dan kaitannya dengan Betawi. Kenapa ini jadi bahan omongan? Ya karena ada kecenderungan Betawi menjadi bahan jualan. Ada satu pasang calon yang sejak awal merasa paling Betawi, sehingga paling berhak memiliki dan memimpin Jakarta ketimbang calon lain. Gaya bicara, cara berpakaian, dan tingkah polahnya saat didaftarkan oleh partai pendukungnya sebagai calon gubernur pun, Betawi banget. Para simpatisannya tentu saja tak mau ketinggalan, bergaya Betawi!
Calon lain bagaimana? Ternyata ada yang mencoba ikut-ikutan. Meski jelas-jelas berasal dari etnis Tionghoa, si calon itu seperti kurang pede  kalau tidak bicara bahwa dirinya juga didukung etnis Betawi. Bahkan, pasangan calon ini akan membawa tokoh Si Doel dalam sinetron bergaya  Betawi untuk menjadi juru kampanyenya kelak. Cara itu tentu bagian dari  upaya untuk mencari dukungan dari orang Betawi.
Yang sedikit menggelikan, ada calon lain yang juga mencoba mencari simpati dari orang Betawi dengan cara membentuk organisasi kebetawian. Seperti organisasi-organisasi Betawi yang sudah ada, nama perkumpulan itu pun di depannya pakai istilah Forum Betawi ….
Fenoma itu tentu menarik. Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007, perebutan etnis Betawi tidak sedahsyat sekarang. Padahal saat itu ada dua calon yang beretnis Betawi, yaitu Fauzi Bowo yang menggandeng Prijanto, dan Dani Anwar yang menjadi calon wagub Adang Daradjatun. Saat ini, ketika calon lebih bervariatif, baik dari sisi etnis, agama, maupun latar belakang profesi,  dan jumlahnya lebih banyak, yakni enam pasang, ‘perebutan’ etnis Betawi justru lebih kentara.
Kenapa itu terjadi? Apakah Betawi adalah etnis atau suku mayoritas di Jakarta sehingga menjadi bahan rebutan atau menjadi komoditas. Benarkah Betawi adalah suku asli dan ‘pemilik’ Jakarta? Ke manakah warga Jakarta beretnis Betawi akan menyalurkan aspirasinya?
Betawi terus berkurang
Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik maupun survey yang dilakukan sejumlah lembaga survey ternyata menunjukkan bahwa etnis Jakarta kini tak lagi mayoritas di Ibu Kota. Data menunjukkan bahwa suku Jawalah yang lebih ‘menguasai’ tanah ‘Si Pitung’ ini. Pada tahun 1930-an, etnis Betawi memang mayoritas di Jakarta, tetapi lama kelamaan jumlahnya terus menurun.
Data Sensus Penduduk tahun 2000,  tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri atas orang Jawa sebanyak 35,16 persen, Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,1%).
Jumlah penduduk di Jakarta berdasarkan etnis juga selalu berubah dari tahun ke tahun. Pada sensus penduduk tahun 2000, jumlah etnis besar di Jakarta ada 11 etnis. Kesebelas etnis itu adalah Jawa sebanyak 35,16 %, Betawi (27,65%), Sunda (15,27 %), Tionghoa (5,53 %), Batak (3,61%), Minangkau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0.57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,10%). Suku lainnya sebanyak 6,47 %.
Berkurangnya etnis Betawi ini bisa jadi karena program pembangunan yang cukup pesar di Jakarta, terutama sejak era 1970-an berdampak pada berkurangnya etnis Betawi, terutama di pusat-pusat kota. Mereka banyak yang pindah ke pinggiran Jakarta, seperti  Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Etnis di Jakarta Tahun 1930, 1961, dan 2000
Etnis
Tahun 1930
Tahun 1961
Tahun 2000
11,01%
25,4% *
35,16%
36,19%
22,9%
27,65%
25,37%
32,85%
15,27%
14,67%
10,1%
5,53%
0,23%
1,0%
3,61%
0,60%
2,1%
3,18%
1,13%
2,8%
1,62%
--
0,6%
0,59%
0,05%
--
0,57
--
--
0,25
--
0,20
0,10
0,70%
0,70
--
Lain-lain
10,05%
1,35%
6,47%
* Catatan: Termasuk Suku Madura di dalamnya
Sumber: www.wikipedia.com
Jika melihat angka persentase tersebut, etnis Betawi di Jakarta kini tidak sampai sepertiga dari jumlah penduduk kota ini. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta per November 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa (http://www.kependudukancapil.go.id). Sebagian besar penduduk tersebut berada di Jakarta Timur (2.926.732 jiwa). Dari 10.187.595 jiwa penduduk J akarta, yang terdaftar dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) adalah 7.545.989 orang. Tetapi setelah diverifikasi selama hampir sebulan, 14 Maret hingga 12 April 2012, jumlah itu menyusut menjadi 7.044.991 Orang. Jumlah inilah yang oleh KPU DKI Jakarta pada Jumat (13/4) diumumkan sebagai angka Daftar Pemilih Sementara (DPS)
Penyebaran Penduduk Provinsi DKI Jakarta
Tabel Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta
Bulan :     November  2011
Wilayah
WNI
WNA
Total
LK
PR
Jumlah
LK
PR
Jumlah
Jakarta Pusat
575.220
547.754
1.122.974
342
354
696
1.123670
Jakarta Utara
887.059
828.479
1.715.538
433
374
807
1.716.345
Jakarta Barat
1.165.463
1.094.143
2.259.606
389
346
735
2.260.341
Jakarta Selatan
1.099.752
1.035.078
2.134.830
401
340
741
2.135.571
Jakarta Timur
1.510.461
1.415.161
2.925.622
574
536
1.110
2.926.732
Kep. Seribu
12.667
12.261
24.928
6
2
8
24.936
TOTAL
5.250.622
4.932.876
10.183.498
2.145
1.952
1.187.595
10.187.595

Minggu, 15 April 2012

Setengah Juta Pemilih Jakarta ‘Hilang’

Pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pekan lalu, cukup mengejutkan. Sekitar setengah juta orang pemilih ‘hilang’. Calon pemilih yang dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) mencapai 7.545.989 orang, tetapi setelah diverifikasi, jumlah itu menyusut menjadi 7.044.991 Orang. Jumlah inilah yang oleh KPU DKI Jakarta pada Jumat (13/4) diumumkan sebagai angka DPS.
Jika kita hitung, maka terjadi selisih yang sangat besar antara DP4 dan DPS, yakni 500.998 orang atau 6,63 persen dari DP4. Pertanyaannya, ke mana hilangnya warga Jakarta yang sebelumnya masuk sebagai potensial pemilih tersebut? Apakah hilangnya pemilih itu semata-mata kesalahan administrasi dalam pendataan, adanya orang yang meninggal, atau karena permainan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik kelompok tertentu pula?
“Berkurangnya jumlah pemilih karena ditemukan penduduk yang meninggal, pindah dan anggota TNI aktif. Anggota TNI terdaftar karena tercatat status  pekerjaan di KTP pelajar atau pegawai swasta,” ujar Ketua Pokja Pemutahiran KPU DKI Aminullah, saat menggelar jumpar pers di Media Center KPU DKI, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, Jumat (13/4), seperti dikutip http://kpujakarta.go.id.
Aminullah menerangkan, dalam melakukan pemutakhiran data, KPU merekrut Petugas Pemutahiran Data Pemilih (PPDP) satu orang per Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang kenal dengan daerah lokasi tersebut. Sebelumnya, PPDP diberikan bimbingan teknis tentang tata cara pemutahiran data, termasuk data yang harus dicoret atau direvisi/diperbaiki. Petugas itu bekerja tanggal 14 Maret hingga 12 April 2012.
Alasan yang diungkapkan Aminullah bisa jadi benar. Tetapi, tetap saja menimbulkan pertanyaan karena besarnya selisih angka antara DP4 dan DPS tersebut. Kalau memang benar ada penduduk yang meninggal, pindah, dan anggota TNI, apakah benar sampai sebesar itu. Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, jumlah penduduk Jakarta yang meninggal per tahun sekitar 28.000 orang atau per bulan 2.333 orang.
Data DP4 adalah data sampai dengan Oktober 2011. Berarti sampai dengan Maret 2012 ada selisih lima bulan. Katakanlah jumlah calon pemilih selama lima bulan itu meninggal semua, berarti totalnya hanya 5 x 2.333 orang = 11.665 orang. Jumlah pemilih Jakarta yang pindah selama lima bulan tentu tidak akan mencapai 5.000 orang. Begitu juga warga yang menjadi anggota TNI tetapi tercatat memiliki pekerjaan lain tidak akan mencapai 5.000 orang. Jika ditotal, maka jumlah pengurangan DP4 itu semestinya masih di bawah 50.0000 orang. Ini pun dengan asumsi, selama lima bulan (November 2011-Maret 2012), tidak ada penambahan  jumlah pemilih baru karena ada warga yang saat didata dalam DP4 masih di bawah 17 tahun, tetapi pada Maret 2012 sudah mencapai 17 tahun atau menikah.
Kejanggalan lain adalah ketika jumlah DPS per wilayah dijumlahkan, ternyata tidak sama dengan jumlah yang disampaikan Aminullah. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, jumlah DPS ternyata 7.043.542 orang. Rinciannya adalah DPS di Kepulauan Seribu sebanyak 16.609 orang, Jakarta Utara 1.193.306 orang, Jakarta Pusat 793.253 orang, Jakarta Barat 1.471.539 orang, Jakarta Selatan 1.536.608 orang, dan Jakarta Timur 2.032.227 orang. Sementara, jumlah total DPS yang disampaikan Aminullah adalah 7.044.991 Orang. Artinya, dari sini pun terjadi selisih sebesar 1.449 orang.
DAFTAR TPS, DP4, DAN DPS PEMILUKADA DKI 2012
WILAYAH
TPS
DP4
DPS
KEP SERIBU
44
17560
16609
JAKARTA UTARA
2607
1273669
1193306
JAKARTA PUSAT
1714
843457
793253
JAKARTA BARAT
3320
1686297
1471539
JAKARTA SELATAN
3227
1577611
1536608
JAKARTA TIMUR
4160
2147395
2032227
TOTAL
15072
7545989
7043542

Permohonan atau permintaan agar  anggota KPU DKI jangan ‘bermain-main’ dengan data pemilih pun dilontarkan sejumlah pihak, terutama calon peserta Pemilukada DKI 2012. Merekalah yang paling berkepentingan dengan data pemilih tersebut. Ini wajar saja karena mereka tentu khawatir  jangan-jangan pemilih di basis-basis massa kandidat tersebut bisa jadi tidak terdaftar sebagai pemilih sehingga akan kehilangan hak pilihnya.
"Jangan sekali-kali KPU DKI bermain dengan urusan teknis," ujar calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Didik J Rachbini, dalam acara ‘Kongkow Bareng Bang Didik Rachbini’ di Paparon Pizza Apartemen Park Royal Tower 1, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (13/4) seperti dikutip http://www.sindonews.com.
Didik menegaskan, DPS maupun DPT merupakan persoalan mendasar penyebab terjadinya kecurangan. Lebih lanjut dingatkan, kinerja KPU DKI Jakarta menjadi parameter akan keberhasilan pemerintah dalam menjalani birokrasi. "Ya semua tergantung dari masalah teknis KPU DKI yang harus berani melakukan sikap transparansi terhadap semua hal yang menyangkut tentang vertifikasi bakal calon Gubenur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta," imbuhnya.
Sebuah sumber menyebutkan, pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pun memiliki kekhawatiran adanya permainan pemilih, terutama di basis dukungan calon ini, antara lain di daerah Pecinan. “Kita akan menempatkan petugas-petugas khusus atau kader partai di daerah Pecinan, terutama pada hari pencoblosan. Tidak tertutup kemungkinan ada kelompok tertentu yang mendukung salah satu pasangan calon yang akan menakut-nakuti etnis Tionghoa untuk tidak memilih,” ujar sumber tersebut.
Kekhawatiran tokoh partai politik tersebut tentu beralasan. Apalagi berdasarkan hasil survey yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tanggal 26 Maret sampai 1 April 2012, 33,3 persen etnis Tionghoa di Jakarta akan memilih pasangan Jokowi-Ahok dan hanay 22,2 persen yang akan memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Selain itu, dari sisi agama, penduduk Jakarta yang beragama Kristen Protestan, 37,5 persen menyatakan akan memilih Jokowi-Ahok, sama besarnya dengan yang akan memilih Fauzi-Nachrowi. Sedangkan pemilih yang berama lainnya (di luar Islam dan Protestan), sekitar 50 persen akan memilih Jokowi-Ahok dan 21,4 persen memilih Fauzi-Nachrowi.
Kita berharap, mudah-mudahan saja  para kontentastan dan pendukungnya serta pihak penyelenggara Pemilukada DKI 2012 yang pemungutan suaranya bakal digelar 11 Juli 2012 itu, tetap bisa menjaga netralitas.  Yakinlah  bahwa pemilih Jakarta adalah pemilih cerdas yang akan memilih calon pemimpinnya dengan baik. Paling itu, sikap itu juga terlihat dari survey LSI yang menyebutkan bahwa 28,8 pemilih menyatakan kurang wajar, dan 35,6 persen menyatakan tidak wajar sama sekali jika ada pemilih yang memilih gubernur karena pemberian uang.

Ayo Jadi Pemilih Cerdas!
Palmerah, 150412
**pro**