Minggu, 22 Juli 2012

Betawi Tak Seloyal Tionghoa



-->
Saya tak bermaksud memprovokasi salah satu etnis. Tetapi, jika melihat hasil exit poll (survey yang dilakukan setelah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012), bisa dikatakan, etnis Betawi tak seloyal etnis Tionghoa dalam mendukung jagoannya. Bukti konkret adalah pasangan asli Betawi, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli hanya didukung oleh separuh warga asli Jakarta itu. Pasangan campuran Jawa-Tionghoa, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama,  didukung oleh hampir semua warga Jakarta beretnis Tionghoa.
Exit poll yang dilakukan Kompas pada 11 Juli 2012 menunjukkan, Foke-Nara –julukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli—hanya didukung oleh 58,5 persen warga Betawi. Padahal, pasangan ini adalah pasangan yang didukung secara penuh oleh berbagai ormas dan elemen masyarakat Betawi. Sejumlah ormas Betawi yang sudah cukup dikenal, seperti Forkabi, Forum Betawu Rempug, Bamus Betawi, Permata Jakarta, Pemuda Betawi, dan yang baru dibentuk menjelang pilgub, seperti Front Betawi Bersatu (FBB), berada di belakang pasangan ini.
Berdasarkan data dari petugas di Sekretariat Tim Sukses Foke-Nara, Dipo 61, di Jalan Diponegoro No 61, Menteng, Jakarta Pusat, sekitar 250 ormas berada di belakang pasangan Foke-Nara. Sebagian ormas-ormas itu adalah mereka yang mengatasnamakan Betawi, Jakarta, nama-nama kawasan di Jakarta, atau nama yang identik dengan Fauzi Bowo. Para pemimpin ormas itu pada umumnya mengaku asli Betawi atau warga Jakarta. Beberapa nama ormas itu –selain yang telah disebut di atas-- adalah Persatuan Orang Betawi, Barisan Jakarta, Forum Matahari Jakarta, Brigade Anak Jakarta, Eef Bee One, Lembaga Macan Kemayoran, dan BeCeng (Betawi Cengkareng).
Branding Foke-Nara sebagai calon Betawi tidak hanya ditunjukkan oleh para pendukungnya, tetapi juga oleh atribut mereka. Misalnya saja, pakaian yang dikenakan, baik saat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon pada 19 Maret 2012 malam, yang terpasang di sejumlah billboard, poster, dan spanduk, serta foto yang tercantum dalam surat suara, menunjukkan kebetawian pasangan ini. Beberapa artis pendukung dalam kampanye juga asli Betawi seperti Jaja Miharja. Bahkan, mantan Wakil Ketua Golkar DKI Jakarta Agus Zakaria mengaku rela dipecat dari kepengerusan partai ini ketimbang mengkhianati saudara Betawinya, Foke-Nara. Dalam setiap kampanye, beberapa lagu yang dinyanyikan pun berdialek Betawi. Bahkan, bahasa kampanyenya sering menggunakan bahasa Betawi.

Tetapi, hasil exit poll yang dirilis Harian Kompas pada 13 Juli 2012 menunjukkan, pasangan Foke-Nara hanya meraih dukungan 58,5 persen dari etnis Betawi. Pasangan nomor 2, yakni Hendardji- A Riza Patria mendapat dukungan 3,5 persen, Joko Widodo-Basuki 21,8 persen, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini 9,2 persen, Faisal Basri Batubara-Biem Benjamin 4,4 persen, dan Alex Noerdin-Nono Sampono 2,6 persen. Dengan demikian, Joko-Basuki mampu meraih simpati dari masyarakat Betawi terbesar kedua  setelah Foke-Nara.
Sebenarnya, ketidakkompakan tokoh etnis Betawi dalam mendukung pasangan calon sudah bisa dirasakan jauh sebelum pemungutan suara. Tokoh dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, adalah salah satu di antaranya yang paling getol menyuarakan penolakan terhadap Foke-Nara. "Pasangan Foke-Nachrowi bagi saya paling ancur. Kredibilitas dan kemampuannya memimpin, gagal membawa Ibu Kota lebih baik. Pasangan ini malah yang akan memperoleh suara rendah alias kalah," ujar Ridwan Saidi kepada wartawan, Jum'at (13/4/2012) seperti dikutip www.tribunnews.com.
Seorang ulama asli Betawi yang cukup terkenal dari Jakarta Timur yang digandeng oleh Ketua PWNU DKI Jakarta, Djan Faridz, dan para habaib dari kawasan Condet,  juga mendukung Joko Widodo-Basuki. Beberapa masyarakat asli Betawi di Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, malah menjadi saksi untuk pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra ini. “Di beberapa TPS di Kamal, saksi Jokowi-Ahok asli Betawi,” ujar seorang pengurus PDIP Kecamatan Kalideres. Dia mengatakan, mereka mendukung Jokowi-Ahok karena kedekatan dan pendekatan yang dilakukannya.
Bisa jadi karena faktor itu sehingga suara Betawi pecah. Di samping itu, kalau kita kaji asal usul etnis ini, ternyata bukanlah ‘pemilik’ asli Jakarta. Jauh sebelum Betawi ada, Jakarta (Batavia) sudah ditempati oleh orang dari berbagai suku bangsa, seperti Sunda, Jawa,  Bugis, Makassar, Ambon, Melayu, dan Bali. Dalam buku pengantar pameran bertajuk “Betawi Punye Gaye” hasil kerja sama Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) disebutkan, Betawi ibarat gado-gado yang lahir dari berbagai macam suku bangsa (baca: Penduduk Asli Jakarta Bukan Cuma Betawi)
Antropolog Universitas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, sekitar tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi (www.wikipedia.org).
Karena asal usulnya yang ‘gado-gado’ itu membuat suku Betawi memiliki sifat yang lebih terbuka, berjiwa sosial –meskit erkadang cenderung tendensius-- dan menghargai plurarisme. Meski sebagian besar etnis Betawi Bergama Islam, sebagian lainnya ada juga yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Bisa jadi, kondisi itu pula yang memengaruhi perilaku politik mereka dalam Pilgub DKI 2012 ini.
Bagaimana dengan etnis Tionghoa? Dukungan mayoritas diberikan etnis ini kepada Joko Widodo-Basuki atau yang dikenal sebagai pasangan Jokowi-Ahok. Pasangan ini hampir menyapu bersih pemilih Tionghoa di Jakarta, dengan meraih dukungan 92,7 persen. Sisa warga Tionghoa sebanyak 7,3 persen menyalurkan aspirasi politiknya dengan memilih Foke-Nara. Empat pasangan lainnya sama sekali tak meraih dukungan yang siginifikan dari etnis yang berdasarakan Sensus Penduduk tahun 2000 BPS mencapai 5,52 persen dari penduduk Jakarta ini. 
Kalau kita cermati melalui pemberitaan, kampanye, maupun gerakan yang dilakukan oleh pasangan ini, dukungan dari warga Tionghoa tak segerlap dukungan etnis Betawi terhadap Foke-Nara. Tetapi, harus diakui bahwa tidak ada –atau tidak terdengar-- tokoh Tionghoa yang menolak Ahok yang secara terus menerus bicara melalui media.
Dukungan menonjol terhadap Ahok sebenarnya hanya diberikan oleh Persatuan Tionghoa Raya (Petir) –yang sebagian pengurusnya juga anggota Partai Gerindra. Dukungan itu diberikan Petir saat bertemu dengan Ahok dalam pertemuan yang berlangsung 12 April 2012 di Jakarta. Saat itu, Ahok pun mengaku tidak suka dengan istilah pribumi dan nonpribumi.
"Saya Indonesia asli. Sejujurnya saya tidak suka memakai istilah pribumi dan nonpribumi. Jangan lihat warna kulit, tetapi lihat karakternya. Saya menjadi pejabat, itu memperjuangkan semua suku yang ada di Jakarta. Mau Melayu, Tionghoa, atau Betawi," ujar Ahok, seperti dikutip oleh www.tribunnews.com Rabu (11/4/2012).
Mengenai loyalitas etnis Tionghoa dalam mendukung Jokowi-Ahok,  tidak tertutup kemungkinan ini adalah bentuk dari luapan sikap tertekan mereka selama ini. Seperti kita ketahui, pada masa Orde Baru, etnis ni banyak diperlakukan diskriminatif, terutama di bidang politik dan sosial budaya. Mereka lebih banyak diarahkan untuk masuk ke bidang ekonomi. Karena itu, begitu ada di antara mereka yang berpeluang  masuk ke dunia politik, mereka pun menjadi merasa senasib untuk sama-sama memperjuangkan calon tersebut.
Seorang ketua RW di sebuah kompleks perumahan di daerah Jakarta Barat mengaku bahwa sebagian besar warganya memang memilih pasangan Jokowi-Ahok. “Faktor Ahok sangat berpengaruh sekali. Kalau Jokowi sih tidak terlalu dilihat,” ujar ketua RW yang sebagian besar warganya beretnis Tionghoa. Dia tak mau menjelaskan secara detail alasan dukungan warganya terhadap Ahok tersebut.
Prof Nurul Aini, dosen di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mengatakan, ada empat faktor yang memengaruhi pemilih, yaitu program kandidat, parpol kandidat, orientasi kandidat itu sendiri, serta birorkat. Faktor etnis dan agama masuk dalam orientasi kandidat.
Tetapi, penelitian yang dilakukan William Liddle dan Saiful Mujani pada 2003 dan 2007 sebagaimana dikutip dari Kajian Bulanan Edisi 9 Januari 2008 Lingkaran Survei Indonesia dengan judul Faktor Etnis dalam Pilkada (www.lsi.co.id) menghasilkan temuan bahwa aspek etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non-Jawa tidak terlihat punya perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden.
Hasil penelitian beda ditunjukkan oleh Aris Ananta dkk tahun 2004. Hasil penelitian ini menunjukkan etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku pemilih di Indonesia. Ada partai yang diidentikkan sebagai Jawa dan partai luar Jawa. Besar kecilnya kontribusi variabel etnis dalam menjelaskan pilihan pemilih tergantung pada partai masingmasing. Temuan Ananta dkk ini menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa terdapat pada PKB dan PDIP. Ini mengukuhkan pandangan bahwa kedua partai ini memang partai Jawa. Wilayah yang banyak suku Jawanya punya kecenderungan untuk memilih kedua partai. Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty ) yang relatif tinggi dan partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas (Kajian Bulanan Edisi 9 Januari 2008 LSI, www.lsi.co.id).
Jika mengacu pada penelitian Ananta dkk, bisa jadi Tionghoa termasuk etnis yang loyal dalam memilih calon gubernur Jakarta. Atau dengan kata lain, Betawi tak seloyal Tionghoa dalam Pilgub DKI 2012!
Palmerah, 22072012
**pro**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar