BANYAK cara memaknai kemerdekaan.
Tak sedikit pula kiat menjelaskan arti kemerdekaan. Tak ada yang salah. Begitu pun
tak ada yang bisa mengklaim pendapatnyalah yang paling benar dan kontekstual. Semua
tergantung siapa dan dari sudut mana dalam melihat kemerdekaan itu sendiri. Tentu juga tergantung dengan kondisi dan
posisinya saat ini.
Di sudut-sudut jalan di
Jakarta kini bertebaran spanduk berisi tentang pemaknaan Kemerdekaan Ke-67 RI.
Di sejumlah media massa, para politisi dan pimpinan berbagai organisasi
beriklan atau berkomentar hal serupa. Di
berbagai pertemuan, para tokoh masyarakat berbicara dan mencoba mengaitkan
kebebesan, kemerdekaan, Ramadan, dan Idul Fitri.
Sebuah spanduk yang
dipasang oleh salah satu partai politik (parpol) mencoba mengaitkan kemerdekaan
dengan Lebaran. “Kemerdekaan adalah Fitrah Manusia.” Demikian tulisan di spanduk
itu. Ada juga yang mencoba mengartikan kemerdekaan dengan kerja keras, kemerdekaan
adalah hak manusia yang paling hakiki, sampai pada berkesimpulan, kemerdekaan dalam
kaitan bulan Ramadan bermakna kemerdekaan dari kendali hawa nafsu dan diperalatan
oleh bisik-bisik syetan.
Sekali lagi, semua itu
boleh-boleh saja. Tetapi, adakah yang berpikir dan berpendapat lain? Simak arti
kemerdekaan yang diungkapkan dan diekspresikan oleh Wiwi (19). Perempuan
pekerja rumah tangga ini mengartikan
kemerdekaan kali ini adalah bisa mudik Lebaran lebih cepat. Tahun-tahun
sebelumnya, ia baru diizinkan pulang kampung oleh majikan di tempatnya bekerja tiga
hari sampai seminggu sebelum Hari Raya. Kebiasaan itu sudah berjalan paling
tidak dua tahun. Tetapi, kali ini, ia pulang ke kampungnya di Cilacap, Jawa Tengah,
15 hari sebelum Idul Fitri.
“Enak. Bisa santai dan
puas main sama temen-temen di kampung,”
ujarnya memberi alasan. Meski diizinkan mudik lebih cepat, hak yang ia dapat
tidak berkurang, bahkan sedikit lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Ia
tetap memperoleh satu bulan Tunjangan Hari Raya (THR), gaji bulanan, uang
transport dari sang nyonya dan ditambahi pula oleh sang tuan, biskuit dan sirop
untuk berlebaran, serta kue dan makanan untuk berbuka puasa dalam perjalanan.
Tak lupa, ia juga
membawa satu tas tangan berisi peralatan make
up, sabun, dan dompet, satu ransel
berisi pakaian, satu kardus untuk sepatu dan sandal-sandal, dan handuk , serta
dua kaleng biskuit dan tiga botol sirop yang dibiarkan dibungkus tas plastik (kresek)
bermerek sebuah pusat perbelanjaan. Tak
ketinggalan, dua handphone (HP) kaya fitur mirip smart HP merek kenamaan. Tapi, HP si Mbak ini buatan lokal. Meski
demikian, alat komunikasi itu tak hanya bisa digunakan untuk menelepon dan
kirim SMS, tetapi juga untuk mendengarkan musik, memotret, serta tersedia
berbagai fasilitas internet dan media sosial. Untuk yang terakhir, Wiwi masih
mengaku ‘gaptek’ alias gagap teknologi.
Berbekal itu semua serta
dengan berpakaian kaos dan celana ketat serta sepatu kets berwarna pink, Wiwi
benar-benar menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Begitu sampai di
terminal bus, meski berdesak-desakan, dia tetap happy dan merdeka yang
sesungguhnya. Bila selama ini, ketika sedang bekerja, ia selalu menerima
perintah, kali ini ia berperan sebaliknya. Jari telunjuk yang selama ini bisa
dibilang tak pernah digunakan, sekarang ia manfaatkan untuk menunjuk barang
bawaannya. Kepada kernet bus, dia menyuruhnya untuk membawakan tas dan kardus.
Apa yang dirasakaan Wiwi
pada umumnya juga dirasakan oleh para perempuan lain yang bekerja di perumahan (PRT). Begitu tiba di
terminal, stasiun, atau pelabuhan dan bertemu dengan teman-teman sekampungnya, mereka
benar-benar merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Sekaranglah saatnya
mereka ganti peran menjadi ‘majikan’. Mereka bisa menyuruh atau meminta tolong
kepada tukang kuli panggul, petugas porter, kernet bus, atau calo angkutan untuk
membantu mengurus keperluannya; bisa mengangkat barang, menunjukkan tempat
duduk, atau lainnya.
Mereka tak mau
dipusingkan oleh perdebatan para
politisi, pejabat, tokoh masyarkat, pimpinan organisasi, atau para aktivis
lembaga swadya masyarakat tentang arti dan makna setiap tujuh belas Agustus.
Kebebasan atau kemerdekaan yang sesungguhnya hanya
mereka rasakan setahun sekali, ketika mudik Lebaran! Di luar itu, mereka
seperti selalu dalam pengawasan. Karena itu, saya sangat prihatin jika masih
saja ada pejabat yang ketika mengunjungi terminal atau stasiun berbicara, “Kenapa
sih mau bersusah-susah,
berdesak-desakan di angkutan umum, atau mengeluarkan uang banyak setiap tahun
untuk mudik?” Pejabat seperti ini hanya melihat sesuatu dari posisinya yang
mungkin setiap saat bisa bepergian ke mana saja dengan anggaran negara. Dia mesti belajar ‘bisa merasa’ bukan hanya ‘merasa
bisa’
Ini cerita kemerdekaan
ku, apa ceritamu?
**pro**
Palmerah, 16082012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar