Kamis, 16 Agustus 2012

Merdeka Itu Ya Mudik!








BANYAK cara memaknai kemerdekaan. Tak sedikit pula kiat menjelaskan arti kemerdekaan. Tak ada yang salah. Begitu pun tak ada yang bisa mengklaim pendapatnyalah yang paling benar dan kontekstual. Semua tergantung siapa dan dari sudut mana dalam melihat kemerdekaan itu sendiri.  Tentu juga tergantung dengan kondisi dan posisinya saat ini.
Di sudut-sudut jalan di Jakarta kini bertebaran spanduk berisi tentang pemaknaan Kemerdekaan Ke-67 RI. Di sejumlah media massa, para politisi dan pimpinan berbagai organisasi beriklan atau berkomentar hal serupa.  Di berbagai pertemuan, para tokoh masyarakat berbicara dan mencoba mengaitkan kebebesan, kemerdekaan, Ramadan, dan Idul Fitri.
Sebuah spanduk yang dipasang oleh salah satu partai politik (parpol) mencoba mengaitkan kemerdekaan dengan Lebaran. “Kemerdekaan adalah Fitrah Manusia.” Demikian tulisan di spanduk itu. Ada juga yang mencoba mengartikan kemerdekaan dengan kerja keras, kemerdekaan adalah hak manusia yang paling hakiki, sampai pada berkesimpulan, kemerdekaan dalam kaitan bulan Ramadan bermakna kemerdekaan dari kendali hawa nafsu dan diperalatan oleh bisik-bisik syetan.
Sekali lagi, semua itu boleh-boleh saja. Tetapi, adakah yang berpikir dan berpendapat lain? Simak arti kemerdekaan yang diungkapkan dan diekspresikan oleh Wiwi (19). Perempuan pekerja rumah tangga  ini mengartikan kemerdekaan kali ini adalah bisa mudik Lebaran lebih cepat. Tahun-tahun sebelumnya, ia baru diizinkan pulang kampung oleh majikan di tempatnya bekerja tiga hari sampai seminggu sebelum Hari Raya. Kebiasaan itu sudah berjalan paling tidak dua tahun. Tetapi, kali ini, ia pulang ke kampungnya di Cilacap, Jawa Tengah, 15 hari sebelum Idul Fitri.
“Enak. Bisa santai dan puas main sama temen-temen  di kampung,” ujarnya memberi alasan. Meski diizinkan mudik lebih cepat, hak yang ia dapat tidak berkurang, bahkan sedikit lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Ia tetap memperoleh satu bulan Tunjangan Hari Raya (THR), gaji bulanan, uang transport dari sang nyonya dan ditambahi pula oleh sang tuan, biskuit dan sirop untuk berlebaran, serta kue dan makanan untuk berbuka puasa dalam perjalanan.
Tak lupa, ia juga membawa satu tas tangan berisi peralatan make up, sabun, dan dompet, satu ransel berisi pakaian, satu kardus untuk sepatu dan sandal-sandal, dan handuk , serta dua kaleng biskuit dan tiga botol sirop yang dibiarkan dibungkus tas plastik (kresek) bermerek sebuah pusat perbelanjaan.  Tak ketinggalan, dua handphone (HP) kaya fitur mirip smart HP merek kenamaan. Tapi, HP si Mbak ini buatan lokal. Meski demikian, alat komunikasi itu tak hanya bisa digunakan untuk menelepon dan kirim SMS, tetapi juga untuk mendengarkan musik, memotret, serta tersedia berbagai fasilitas internet dan media sosial. Untuk yang terakhir, Wiwi masih mengaku ‘gaptek’ alias gagap teknologi.
Berbekal itu semua serta dengan berpakaian kaos dan celana ketat serta sepatu kets berwarna pink, Wiwi benar-benar menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Begitu sampai di terminal bus, meski berdesak-desakan, dia tetap happy dan  merdeka yang sesungguhnya. Bila selama ini, ketika sedang bekerja, ia selalu menerima perintah, kali ini ia berperan sebaliknya. Jari telunjuk yang selama ini bisa dibilang tak pernah digunakan, sekarang ia manfaatkan untuk menunjuk barang bawaannya. Kepada kernet bus, dia menyuruhnya untuk membawakan tas dan kardus.
Apa yang dirasakaan Wiwi pada umumnya juga dirasakan oleh para perempuan lain yang  bekerja di perumahan (PRT). Begitu tiba di terminal, stasiun, atau pelabuhan dan bertemu dengan teman-teman sekampungnya, mereka benar-benar merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Sekaranglah saatnya mereka ganti peran menjadi ‘majikan’. Mereka bisa menyuruh atau meminta tolong kepada tukang kuli panggul, petugas porter, kernet bus, atau calo angkutan untuk membantu mengurus keperluannya; bisa mengangkat barang, menunjukkan tempat duduk, atau lainnya.
Mereka tak mau dipusingkan oleh perdebatan  para politisi, pejabat, tokoh masyarkat, pimpinan organisasi, atau para aktivis lembaga swadya masyarakat tentang arti dan makna setiap tujuh belas Agustus. Kebebasan atau kemerdekaan yang sesungguhnya  hanya  mereka rasakan setahun sekali, ketika mudik Lebaran! Di luar itu, mereka seperti selalu dalam pengawasan. Karena itu, saya sangat prihatin jika masih saja ada pejabat yang ketika mengunjungi terminal atau stasiun berbicara, “Kenapa sih mau bersusah-susah, berdesak-desakan di angkutan umum, atau mengeluarkan uang banyak setiap tahun untuk mudik?” Pejabat seperti ini hanya melihat sesuatu dari posisinya yang mungkin setiap saat bisa bepergian ke mana saja dengan anggaran negara.  Dia mesti belajar ‘bisa merasa’ bukan hanya ‘merasa bisa’
Ini cerita kemerdekaan ku, apa ceritamu?
**pro**
Palmerah, 16082012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar