Pada Pemilihan
Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 banyak hal yang muncul di luar prediksi! Kejutan
pertama adalah melesatnya perolehan suara pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) yang mampu menjungkirbalikkan prediksi sejumlah lembaga
survei dengan ‘memenangi’ putaran pertama (I). Kejutan kedua adalah raihan
suara calon independen, yakni pasangan Faisal Basri Batubara-Biem T Benjamin yang
mampu mengungguli calon yang diusung dua partai politik, yakni Alex
Noerdin-Nono Sampono.
Kejutan ketiga adalah anjloknya perolehan suara
pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini yang diusung oleh Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Kejutan terakhir tentu
saja perolehan suara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang jauh di bawah dari
perkiraan, bahkan di bawah dari total perolehan suara partai pendukungnya.
“Ini memang di luar
perkiraan kami. Sebelumnya kami yakin bahwa Jokowi-Ahok akan masuk dalam
putaran kedua. Tetapi, kami tak mengira perolehan suaranya sebesar ini, bahkan
melebihi pasangan incumbent,” ujar M
Taufik, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Rabu (11/7) malam. Partai Gerindra yang
mempunyai 6 wakil di DPRD DKI (6,38 persen) berkoalisi dengan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meraih 11 kursi DPRD DKI (11,70 persen)
mengusung pasangan Jokowi-Ahok.
Beberapa kali survei
yang dilakukan oleh tim yang menjadi think
thank partai tersebut, hasil dukungan pemilih memang menunjukkan tren
positif terhadap calon yang dijagokannya tersebut. Tetapi, hingga survei
terakhir beberapa hari menjelang coblosan, 11 Juli 2012, perolehan suara
Jokowi-Ahok tetap masih di bawah perolehan suara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli (Foke-Nara). Memang ada sejumlah voters
yang masih belum menjatuhkan pilihan. Tetapi, tim tidak menduga bahwa swing voters kemudian menjatuhkan
pilihannya ke Jokowi-Ahok. Tidak tertutup kemungkin swing voters itulah yang akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada pasangan
dengan ciri khas baju kotak-kotak tersebut.
Sekadar pembanding,
pada 3 Juli 2012, Survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), MNC Riset, dan Prisma menyimpulkan bahwa pasangan
petahana Foke-Nara akan bersaing hingga putaran kedua dengan pasangan Jokowi-Ahok. Berdasarkan hasil
riset, perolehan dukungan terhadap kedua pasangan tersebut melebihi angka 20
persen sedangkan pasangan lainnya dibawah 10 persen.
Menurut Suhardi, salah
satu peneliti LP3ES, Foke-Nara memperoleh 24,5 persen
dukungan, sedangkan Jokowi-Ahok dengan 22,7 persen. Perolehan suara pasangan
lain adalah Hidayat-Didik 4,9 persen, Alex-Nono 2,8
persen, Faisal-Biem 2,7 persen, serta Hendardji-Riza 1,1 persen. Survei dilakukan melalui telepon atau
telepolling.
Sementara itu, Lingkaran Survey Indonesia (LSI)
pada 1 Juli 2012 juga merilis hasil survei. Baik pilgub satu atau dua putaran, hasil
survei itu menunjukkan bahwa pasangan Foke-Nara memiliki
kemungkinan terbesar memenangi Pilgub
DKI 2012. Salah satu peneliti LSI, Arman Salam, mengungkapkan, pasangan Foke-Nara
didukung oleh 43,7 persen pemilih,
pasangan Jokowi-Ahok 14,4 persen. Empat pasangan lainnya didukung
masing-masing di bawah 10 persen, bahkan ada yang di bawah 5 persen.
Survei-survei yang
dilakukan sejumlah lembaga survei lainnya pun menunjukkan angka yang kisaran
perolehan suaranya relatif sama. Posisi pertama pasangan Foke-Nara, diikuti
Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, dan pasangan lain. Tetapi, 11 Juli 2012, sekitar 4.623.204 pemilih telah menjatuhkan ‘vonis’.
Di luar perkirakan banyak pihak, perolehan suara Jokowi-Ahok mengejutkan banyak
pihak –bahkan bisa menjadi membuat stress kelompok tertentu.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Kompas, pasangan Jokowi-Ahok melesat, meninggalkan para pesaingnya
dengan memperoleh 42.59 persen dukungan disusul oleh pasangan Foke-Nara dengan
34,32 persen dukungan. Posisi ketiga ditempati pasangan Hidayat-Didik dengan
11,40 persen, Faisal-Biem 5,07 persen, Alex-Nono 4,74 persen, dan
Hendardji-Riza 1,88 persen. Lebih
lengkap bisa dilihat dalam data di bawah ini:
NOMOR
|
PASANGAN CALON
|
% DUKUNGAN
|
PERKIRAAN PEMILIH
|
||
1
|
Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli
|
34.32%
|
1,586,683.65
|
||
2
|
Hendardji-Riza
|
1.88%
|
86,916.24
|
||
3
|
Joko Widodo-Basuki T
Purnama
|
42.59%
|
1,969,022.63
|
||
4
|
Hidayat Nur Wahid-Didik
Rachbini
|
11.40%
|
527,045.27
|
||
5
|
Faisal Batubara-Biem
Benjamin
|
5.07%
|
234,396.45
|
||
6
|
Alex Noerdin-Nono
Sampono
|
4.74%
|
219,139.87
|
||
Catatan: Sumber hasil hitung
cepat Kompas diolah
|
|||||
Jumlah DPT 6.983.692,
golput 33,88 persen
|
|||||
Perolehan suara Faisal-Biem itu juga membuat banyak pihak yang terkesima.
Meski diyakini dia tak akan memenangi atau lolos pada putara kedua, dukungan
pemilih terhadap pasangan independen yang melebihi perolehan suara Alex-Nono jelas sebuah ‘prestasi’ yang layak
diacungi jempol. Faisal-Biem yang dari sisi finansial dan jaringan jauh di
bawah Alex-Nono, ternyata perolehan
suaranya mampu menduduki peringkat ketiga.
Alex-Nono yang dikung oleh 18 partai politik, tiga di antaranya adalah
peraih kursi di DPRD DKI, yakni Partai Golkar dengan 7 kursi (7,44 persen), PPP
7 kursi (7,44 persen), dan Partai Damai Sejahtera 4 kursi (4,25 persen), serta
15 parpol non-parlemen, ternyata hanya memperoleh dukungan 4,74 persen. Padahal,
jika dihitung dari jumlah raihan kursi DPRD DKI tiga partai pendukungnya saja
sudah mencapai 19,14 persen. Tetapi, perolehan suaranya hanya sekitar seperempat suara parpol pendukungnya.
Bisa jadi, ‘hukuman’ terhadap
Alex-Nono itu tak lepas dari sikap partai pendukungnya yang mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) –meski dengan catatan—pada rapat paripurna DPR beberapa waktu lalu. Di
samping itu, citra Partai Golkar juga sedang menurun karena kadernya di DPR yang
tersangkut kasus korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama.
Jika kita lihat perolehan suara pasangan Hidayat-Didik, tentu ada sesuatu
yang tidak beres. Pada Pemilu legislatif 2009, PKS di DKI Jakarta memperoleh 17,23
suara. Jika dihitung dengan perolehan kursi di DPRD DKI, yakni 18 kursi,
sesungguhnya partai ini memperoleh 34,04 persen kursi. Pada Pemilukada DKI
2007, calon yang diusung PKS, yakni Adang Daradjatun-Dani Anwar memperoleh 1.521.831
suara atau 42,11 persen. Tetapi, pada Pilgub DKI 2012, jago PKS hanya memperoleh 11,40 persen
(hasil hitung cepat Kompas). Anjloknya
perolehan suara itu bisa jadi karena mesin partai pendukungnya yang tidak
berputar maksimal, penilaian pemilih yang tak sreg, atau angka inilah
menggambarkan sesungguhnya kekuatan riil PKS di Jakarta.
Kejutan yang menghentakkan jantung
sejumlah pendukung Foke-Nara adalah peroleh suara pasangan calon petahana ini
yang hanya meraih 34,32 persen. Padahal, berdasarakn hitungan sejumlah lembaga survey,
perolehan suara Foke-Nara pada umumnya di atas 40 persen. Bahkan, survey internal
yang dilakukan oleh lembaga survey yang dibiayai oleh pasangan ini menunjukkan
bahwa Foke-Nara memperoleh dukungan sekitar 49 persen. Karena itu, optimisme
pasangan dan anggota tim sukses serta partai pendukung pasangan tersebut selama
ini begitu tinggi. Mereka pun sangat optimis akan memenangi pertandingan hanya
dalam satu putaran.
Pemilh telah menjatuhkan pilihan mereka. Hasilnya, Foke-Nara berdasarkan hasil
hitung cepat hanya didukung oleh 34,32 persen. Jumlah ini saja jauh di bawah
dukungan dari partai politik yang mengusungnya. Berdasarkan Keputusan KPU DKI No:
20/Kpts/KPU-Prov-010/2012, ada tujuh parpol yang mengusungnya, empat di
antaranya adalah parpol peraih kursi di DPRD DKI. Keempat parpol itu adalah
Partai Demokrat peraih 32 kursi (34,04 persen), PAN 4 kursi (4,25 persen),
Partai Hanura 4 kursi (4,25 persen), dan PKB 1 kursi (1,06 persen). Jumlah
kursi DPRD DKI 2009-2014 adalah 94 orang. Tiga partai pengusung lainnya adalah parta
yang tidak mempunyai wakil di DPRD DKI. Di tengah masa kampanye, dukungan
datang lagi dari empat parpol yang semula mendukung pasangan Jokowi-Ahok.
Ada apa dengan pasangan Foke-Nara sehingga sangat ‘ditinggalkan’ oleh warga
Jakarta. Sekadar pembanding, pada 2007, Fauzi Bowo yang berpasangan dengan
Prijanto memperoleh dukungan dari 2.091.909 pemilih atau setara dengan 57,88
persen. Tetapi, tahun 2012 ini Foke-Nara hanya didukung oleh 34,32 persen atau
setara dengan 1.586.683 pemilih. Banyak hal yang menyebabkan penurunan dukungan
itu. Dalam pandangan penulis, isu kedaerahan yang selalu menjadi ‘jualan’
pasangan ini justru menyebabkan larinya pendukung Foke pada Pemilukada 2007
dari etnis non-Betawi.
Data yang diperoleh penulis dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa
Betawi bukanlah etnis mayoritas di Jakarta. Hasil Sensus BPS tahun 2000
menunjukkan, penduduk Jakarta yang beretnis Betawi hanya 27,65 persen. Suku
bangsa (etnis) Jawa adalah penduduk Jakarta dengan persentase tertinggi seperti
terlihat dalam tabel di bawah ini.
PERSENTASE PENDUDUK
JAKARTA BERDASARKAN ETNIS
|
||
NO
|
ETNIS
|
PERSENTASE
|
1
|
JAWA
|
35,17
|
2
|
SUNDA
|
15,27
|
3
|
BETAWI
|
27,65
|
4
|
MADURA
|
0,56
|
5
|
BATAK
|
3,61
|
6
|
MINANG
|
3,18
|
7
|
BUGIS
|
0,59
|
8
|
MELAYU
|
1,00
|
9
|
CINA KETURUNAN
|
5,52
|
10
|
LAINNYA
|
7,45
|
Sumber: Sensus Penduduk 2000, BPS DKI Jakarta
Dengan persentase penduduk seperti terlihat di atas, jika Foke-Nara ingin
meraih simpati dukungan dari masyarakat Jakarta, mau tidak mau harus mengubah
strategi kampanye atau komunikasi politiknya. Pendekatan kedaerahan atau isu
primordialisme rasanya tak pas lagi untuk kondisi Jakarta yang memiliki
karakter penduduk sangat heterogen. Di samping itu, Foke-Nara juga tidak bisa
lagi mengandalkan dukungan dari partai politik –terutama Partai Demokrat yang
sekarang sedang dililit sejumlah kasus korupsi. Jangan lagi menjadikan
kader-kader partai yang telah disorot karena diduga terlibat kasus korupsi
sebagai juru kampanye.
Menunggu kejutan dalam putaran kedua!
**pro**
Palmerah, 12 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar