Rabu, 18 Juli 2012

Ancaman Pidana bagi Petugas KPU



Ny Sri (50)  baru lima hari belakangan ini merasa lega. Sebelumnya, ia uring-uringan. Setiap kali ada saudara atau tetangga datang, ibu satu anak ini ‘curhat’. Intonasi bicaranya makin meninggi manakala topik obrolan menyangkut Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012. Bukan saja karena  dalam pilgub tersebut terjadi banyak kejutan, tetapi lebih dari itu dia kesal lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta ‘menghilangkan’ keberadaannya sebagai warga Jakarta.
“Bayangkan saja, sejak saya usia 17 tahun, saya selalu ikut dalam coblosan. Tetapi sekarang ini, saya bukan hanya tidak bisa mencoblos, tetapi tidak diakui sebagai pemilih. Ini namanya kebangetan. Bagaimana nih kerja KPU,” ujarnya usai hari coblosan Pilgub DKI pada Rabu (11/7).
Warga Kalideres, Jakarta Barat, ini makin kesal jika ingat dua bulan sebelum tanggal pemungutan suara, ada petugas yang datang ke rumahnya dan mendata jumlah pemilih. Dia menyebutkan ada dua orang yang berhak memilih dan menunjukkan bukti Kartau Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Dia juga menjelaskan bahwa kedua orangtuanya yang sebelumnya mengikuti Pemilu 2009 sudah meninggal. Karena itu, kalau masih terdaftar sebagai pemilih sebaiknya dicoret.
Cukupkah keterangannya itu? Ternyata, dua hari menjelang hari pencoblosan, dia menerima satu surat panggilan. Nama dirinya tidak ada dalam surat itu. Yang ada hanya nama anaknya.  Berharap ada perbaikan, pada hari pencoblosan, pegawai negeri ini mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) tak jauh dari rumahnya.   Dia juga membawa KTP DKI Jakarta serta bukti sudah terdaftar dalam program e-KTP.
“Ternyata, petugas KPPS (kelompok panitia pemungutan suara) tetap tidak menerima. Padahal saya sudah tunjukkan KTP dan identitas lainnya. Tetap saja ditolak. Setelah saya cek di daftar pemilih, nama saya memang tidak ada. Tetapi yang membuat saya heran, nama almarhum ibu saya masih ada,” ujarnya.
Ny Sri hanya salah satu dari ribuan warga Jakarta yang kehilangan hak pilih. Wahyu Riyadi, warga Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, mengatakan, ada seorang anggota keluarganya yang tidak mendapatkan kartu panggilan sebagai pemilih. Di RW 03 Kelurahan Kayuputih, Pulogadung, Jakarta Timur,  35 orang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Wakil Ketua RT 03, Indra Kramadipa, mencurigai ada upaya sistematis agar warganya tidak tercantum dalam DPT karena mereka simpatisan partai tertentu (Kompas, 10 Juli 2012).
Hingga 9 Juli 2012, ada 4.196 pemilih yang disinyalir ganda di Jakarta Barat. Nama-nama itu sudah ditandai dan diblok tinta hitam. Menurut Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KPU Jakarta Barat Junaedi, kartu pemilih ganda itu bisa dikembalikan ke Kantor  KPU Jakbar.
Para warga yang kehilangan –atau mungkin malah dihilangkan-- hak konstitusionalnya sebagai pemilih itu adalah korban dari carut marut pendataan DPT yang dilakukan petugas KPU DKI. Sumber dari kekacauan itu adalah data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta yang amburadul.  “Data DP4 dari Dinas Dukcapil sangat kacau. Akibatnya, data DPS (daftar pemilih sementara) dan DPT juga ikut kacau,” ujar seorang petugas di bagian pendataan KPU DKI.
Buntut kekacauan pendataan pemilh dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 ini adalah pemberian sanksi berupa peringatan tertulis oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua KPU DKI Jakarta Dahlia Umar. DKPP juga meminta agar Dahlia segera menetapkan DPT yang pasti dengan mengundang semua pasangan calon.
Keputusan DKPP ini dibacakan dalam persidangan etik, Jumat (6/7), dengan teradu Ketua KPU DKI Jakarta Dahliah Umar. Sebagai pemohon, tiga pasang calon, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, dan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sidang digelar menyusul adanya kisruh Rapat Pleno Penetapan DPT pada 2 Juni 2012. Saat itu, lima dari enam pasangan calon gubernur DKI memprotes penetapan DPT karena masih menemukan banyak data ganda. Dua tim lain yang keberatan adalah Faisal Basri-Biem T Benjamin dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Sementara itu, tim Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menerima penetapan KPU DKI (Kompas, 7 Juli 2012).
Setelah jatuhnya vonis sanksi dari DKPP tersebut, 21.344 pemilih dicoret dari daftar DPT pada Senin (9/7) atau dua hari sebelum hari pencoblosan. Nama-nama yang dicoret itu sebelumnya telah diberi tanda khusus oleh petugas di bagian pendataan dan dianggap bermasalah. Sebelum pencoretan pemilih itu, KPU DKI telah menetapkan DPT yang berjumlah 6.983.692 orang.
RINCIAN REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP DAN JUMLAH TPS
DALAM PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2012
NO
KABUPATEN/KOTA
 JUMLAH PEMILIH
 JMLH TPS
 LK
 PR
 JUMLAH
1.
KAB. ADM. KEPULAUAN SERIBU
                  8,354
                  7,981
               16,335
          43
2.
KOTA ADM. JAKARTA PUSAT
              401,605
              389,458
             791,063
     1,713
3.
KOTA ADM. JAKARTA UTARA
              594,855
              570,223
          1,165,078
     2,587
4.
KOTA ADM. JAKARTA BARAT
              768,446
              734,988
          1,503,434
     3,331
5.
KOTA ADM. JAKARTA SELATAN
              767,850
              743,185
          1,511,035
     3,223
6.
KOTA ADM. JAKARTA TIMUR
           1,013,175
              983,572
          1,996,747
     4,162
PROVINSI DKI JAKARTA
           3,554,285
           3,429,407
          6,983,692
   15,059

Apakah karena pencoretan itu pula sehingga Ny Sri dan beberapa warga kehilangan hak pilihnya. Belum ada yang bisa memastikan. Tetapi, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi, kata petugas di bagian pendataan, ada beberapa orang yang memiliki KTP DKI Jakarta yang terpaksa dicoret karena NIK orang-orang tersebut juga dimiliki oleh pemilih lain. Jadi, salah satu di antara pemilih itu harus dicoret.
“Dalam kasus ini, sesungguhnya  orang tersebut penduduk Jakarta. Tetapi, kebetulan NIK-nya sama dengan NIK penduduk lain. Jadi, kita coret satu di antaranya,” ujar petugas tersebut. Dia menduga, penyebab adanya satu NIK yang dipakai oleh beberapa orang karena permainan petugas kelurahan yang sering memberikan KTP tembak kepada warga. “Mereka kadang semaunya saja membuat NIK, yang penting KTP keluar. Akibatnya, begitu dicek satu per satu ya seperti sekarang, terbongkar.”
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengimbau warga yang kehilangan hak pilih dalam Pilkada Jakarta mengajukan gugatan hukum.  "Kami mengimbau masyarakat yang tidak bisa memilih melakukan gugatan untuk memperoleh payung hukum ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua KIPP Wahyu Dinata, Jumat (13/7) seperti dikutip www.Antaranews.com.
UUD 1945 mengatur hak konstitusi warga untuk dipilih dan memilih. Secara tegas, hak itu juga diatur dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 19 ayat (1) UU No 8/2012 berbunyi:  Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), di pasal 43 juga menyatakan: Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu.
Apa ancaman bagi para pihak yang dengan sengaja menghilangkan hak pilih warga? Pasal 292 UU No 8 tahun 2012 secara tegas tindakan itu adalah bentuk kejahatan Pemilu. Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).” Sekarang tinggal menunggu Ny Sri dan warga yang hak pilihnya hilang atau dihilangkan berani menuntut haknya.
Siapa di balik hilang dan dobelnya hak pilih warga?
Palmerah, 18072012
**pro**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar