Ny Sri (50) baru lima hari
belakangan ini merasa lega. Sebelumnya, ia uring-uringan. Setiap kali ada
saudara atau tetangga datang, ibu satu anak ini ‘curhat’. Intonasi bicaranya
makin meninggi manakala topik obrolan menyangkut Pemilihan Gubernur (Pilgub)
DKI Jakarta 2012. Bukan saja karena dalam pilgub tersebut terjadi banyak kejutan,
tetapi lebih dari itu dia kesal lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI
Jakarta ‘menghilangkan’ keberadaannya sebagai warga Jakarta.
“Bayangkan saja, sejak saya usia 17 tahun, saya selalu ikut dalam
coblosan. Tetapi sekarang ini, saya bukan hanya tidak bisa mencoblos, tetapi
tidak diakui sebagai pemilih. Ini namanya kebangetan.
Bagaimana nih kerja KPU,” ujarnya usai
hari coblosan Pilgub DKI pada Rabu (11/7).
Warga Kalideres, Jakarta Barat, ini makin kesal jika ingat dua bulan
sebelum tanggal pemungutan suara, ada petugas yang datang ke rumahnya dan
mendata jumlah pemilih. Dia menyebutkan ada dua orang yang berhak memilih dan
menunjukkan bukti Kartau Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Dia juga menjelaskan
bahwa kedua orangtuanya yang sebelumnya mengikuti Pemilu 2009 sudah meninggal.
Karena itu, kalau masih terdaftar sebagai pemilih sebaiknya dicoret.
Cukupkah keterangannya itu? Ternyata, dua hari menjelang hari
pencoblosan, dia menerima satu surat panggilan. Nama dirinya tidak ada dalam
surat itu. Yang ada hanya nama anaknya. Berharap
ada perbaikan, pada hari pencoblosan, pegawai negeri ini mendatangi tempat
pemungutan suara (TPS) tak jauh dari rumahnya. Dia
juga membawa KTP DKI Jakarta serta bukti sudah terdaftar dalam program e-KTP.
“Ternyata, petugas KPPS (kelompok panitia pemungutan suara) tetap tidak
menerima. Padahal saya sudah tunjukkan KTP dan identitas lainnya. Tetap saja
ditolak. Setelah saya cek di daftar pemilih, nama saya memang tidak ada. Tetapi
yang membuat saya heran, nama almarhum ibu saya masih ada,” ujarnya.
Ny Sri hanya salah satu dari ribuan warga Jakarta yang kehilangan hak
pilih. Wahyu Riyadi, warga Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, mengatakan, ada
seorang anggota keluarganya yang tidak mendapatkan kartu panggilan sebagai
pemilih. Di RW 03 Kelurahan Kayuputih, Pulogadung, Jakarta Timur, 35 orang tidak tercantum dalam daftar pemilih
tetap (DPT). Wakil Ketua RT 03, Indra Kramadipa, mencurigai ada upaya
sistematis agar warganya tidak tercantum dalam DPT karena mereka simpatisan
partai tertentu (Kompas, 10 Juli
2012).
Hingga 9 Juli 2012, ada 4.196 pemilih yang disinyalir ganda di Jakarta Barat. Nama-nama itu
sudah ditandai dan diblok tinta hitam. Menurut Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran
Pemilih KPU Jakarta Barat
Junaedi, kartu pemilih ganda itu bisa dikembalikan ke Kantor KPU Jakbar.
Para warga yang kehilangan –atau mungkin malah dihilangkan-- hak
konstitusionalnya sebagai pemilih itu adalah korban dari carut marut pendataan
DPT yang dilakukan petugas KPU DKI. Sumber dari kekacauan itu adalah data dari
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta yang amburadul. “Data DP4 dari Dinas Dukcapil sangat kacau.
Akibatnya, data DPS (daftar pemilih sementara) dan DPT juga ikut kacau,” ujar
seorang petugas di bagian pendataan KPU DKI.
Buntut kekacauan pendataan pemilh dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 ini
adalah pemberian sanksi berupa peringatan tertulis oleh Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua KPU DKI Jakarta Dahlia Umar. DKPP juga
meminta agar Dahlia segera menetapkan DPT yang pasti dengan mengundang semua
pasangan calon.
Keputusan DKPP ini dibacakan dalam persidangan etik,
Jumat (6/7), dengan teradu Ketua KPU DKI Jakarta Dahliah Umar. Sebagai pemohon,
tiga pasang calon, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini, dan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sidang digelar menyusul
adanya kisruh Rapat Pleno Penetapan DPT pada 2 Juni 2012. Saat itu, lima dari
enam pasangan calon gubernur DKI memprotes penetapan DPT karena masih menemukan
banyak data ganda. Dua tim lain yang keberatan adalah Faisal Basri-Biem T
Benjamin dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Sementara itu, tim Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli menerima penetapan KPU DKI (Kompas, 7 Juli 2012).
Setelah jatuhnya vonis sanksi dari DKPP tersebut, 21.344
pemilih dicoret dari daftar DPT pada Senin (9/7) atau dua hari sebelum hari
pencoblosan. Nama-nama yang dicoret itu sebelumnya telah diberi tanda khusus
oleh petugas di bagian pendataan dan dianggap bermasalah. Sebelum pencoretan
pemilih itu, KPU DKI telah menetapkan DPT yang berjumlah 6.983.692 orang.
RINCIAN REKAPITULASI DAFTAR PEMILIH TETAP DAN JUMLAH TPS
|
|||||
DALAM PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA
TAHUN 2012
|
|||||
NO
|
KABUPATEN/KOTA
|
JUMLAH PEMILIH
|
JMLH TPS
|
||
LK
|
PR
|
JUMLAH
|
|||
1.
|
KAB. ADM. KEPULAUAN SERIBU
|
8,354
|
7,981
|
16,335
|
43
|
2.
|
KOTA ADM. JAKARTA PUSAT
|
401,605
|
389,458
|
791,063
|
1,713
|
3.
|
KOTA ADM. JAKARTA UTARA
|
594,855
|
570,223
|
1,165,078
|
2,587
|
4.
|
KOTA ADM. JAKARTA BARAT
|
768,446
|
734,988
|
1,503,434
|
3,331
|
5.
|
KOTA ADM. JAKARTA SELATAN
|
767,850
|
743,185
|
1,511,035
|
3,223
|
6.
|
KOTA ADM. JAKARTA TIMUR
|
1,013,175
|
983,572
|
1,996,747
|
4,162
|
PROVINSI DKI JAKARTA
|
3,554,285
|
3,429,407
|
6,983,692
|
15,059
|
Apakah karena pencoretan itu pula sehingga Ny Sri dan
beberapa warga kehilangan hak pilihnya. Belum ada yang bisa memastikan. Tetapi,
kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi, kata petugas di bagian pendataan, ada
beberapa orang yang memiliki KTP DKI Jakarta yang terpaksa dicoret karena NIK
orang-orang tersebut juga dimiliki oleh pemilih lain. Jadi, salah satu di
antara pemilih itu harus dicoret.
“Dalam kasus ini, sesungguhnya orang tersebut penduduk Jakarta. Tetapi, kebetulan
NIK-nya sama dengan NIK penduduk lain. Jadi, kita coret satu di antaranya,”
ujar petugas tersebut. Dia menduga, penyebab adanya satu NIK yang dipakai oleh
beberapa orang karena permainan petugas kelurahan yang sering memberikan KTP tembak
kepada warga. “Mereka kadang semaunya saja membuat NIK, yang penting KTP
keluar. Akibatnya, begitu dicek satu per satu ya seperti sekarang, terbongkar.”
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengimbau warga yang
kehilangan hak pilih dalam Pilkada Jakarta mengajukan gugatan hukum. "Kami mengimbau
masyarakat yang tidak bisa memilih melakukan gugatan untuk memperoleh payung
hukum ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua KIPP Wahyu Dinata, Jumat (13/7) seperti
dikutip www.Antaranews.com.
UUD 1945 mengatur hak konstitusi warga untuk
dipilih dan memilih. Secara tegas, hak itu juga diatur dalam UU No 8 tahun 2012
tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 19 ayat (1) UU No 8/2012
berbunyi: Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur
17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), di
pasal 43 juga menyatakan: Setiap warga
negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu.
Apa ancaman bagi para pihak yang dengan sengaja menghilangkan
hak pilih warga? Pasal 292 UU No 8 tahun 2012 secara tegas tindakan itu adalah
bentuk kejahatan Pemilu. Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).” Sekarang tinggal menunggu Ny Sri dan warga yang hak pilihnya
hilang atau dihilangkan berani menuntut haknya.
Siapa di balik hilang dan dobelnya hak pilih warga?
Palmerah, 18072012
**pro**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar