Karena itu, pemimpin pemerintahan –apalagi
yang lebih dominan berperan sebagai pemimpin politik— akan menggunakan berbagai
cara supaya popularitasnya dan tingkat elektabilitasnya tetap tinggi. Pemimpin
seperti ini biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan
pencitraan melalui berbagai kebijakan maupun statemen yang ia lakukan. Kebijakan
publik dan permasalahan yang sebenarnya simpel jika masih menjadi sorotan media,
akan terus ‘diolah’ untuk memainkan dan menciptakan persepsi publik yang
positif.
Pada umumnya, pemimpin seperti ini juga
didukung oleh tim pencitraan yang kuat. Tim pencitaraan tidak hanya berasal
dari lingkungan pemerintahan, tetapi juga memanfaatkan atau bahkan membentuk
tim khusus yang bekerja jauh lebih militan dan memiliki kemampuan mumpuni
dibandingkan tim humas pemerintah.
Pada era teknologi informasi dan perkembangan
media sosial yang kian pesat, pencitraan tidak hanya dilakukan melalui media mainstream tetapi juga – dan biasanya
justru lebih dominan—menggunakan jejaring media sosial. Para relawan, baik yang
benar-benar bertindak sebagai relawan maupun relawan jadi-jadian, akan secara
aktif mengemas berbagai informasi yang bersifat melemparkan isu baru maupun
meng-counter isu atau berita-berita negatif terhadap pimpinan mereka.
Cara kerja relawan ini sudah seperti
mesin otomatis yang super canggih. Mereka akan langsung beroperasi 24 jam untuk
memproduksi berbagai isu dan menciptakan isu baru untuk tetap menjaga dan
mempertahankan popularitas sang tokoh. Informasi bernada negatif baik yang disebabkan
oleh buruknya perilaku sang tokoh atau pun serangan dari pihak luar, akan
langsung diolah menjadi informasi yang menguntungkan dan bercitra positif
terhadap sang tokoh.
Penggunaan
media sosial sebagai sarana komunikasi juga telah dilakukan sejumlah
pemerintahan daerah maupun pemerintah (pusat) di sejumlah Negara maju. Penelitian Sáez Martín (2015) di Uni Eropa berkesimpulan,
perkembangan dunia media sosial (jaringan sosial) mengubah strategi komunikasi
pemerintah dengan warga. Pemerintah kini memanfaatkan media sosial sebagai
sarana mendorong partisipasi warga dalam berbagai pengambilan keputusan terkait
dengan kebijakan publik. Nick Ellison (2014) mengatakan, komunikasi interaktif
melalui Facebook dan Twitter oleh pemerintah lokal Inggris juga mampu
mengurangi kesenjangan (komunikasi) yang selama ini terjadi.
Hanya
saja, gaya dan cara komunikasi yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan --termasuk
pemimpin pemerintahan yang dipilih melalui pemilu—di beberapa Negara maju pada
umumnya memang menyampaikan berbagai kebijakan atau urusan pemerintahan. Mereka
sarana komunikasi itu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai
aktivitas pemerintahan, menginformasikan kebijakan publik, menyerap keluhan
warga masyarakat, dan pada akhirnya tentu untuk mencapai tujuan pemerintahan
yaitu menyejahterakan rakyat.
Bagaimana
di Indonesia. Beberapa pemimpin pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai
tingkat daerah, juga sudah banyak yang memanfaatkan media internet, termasuk di
dalamnya media sosial, sebagai sarana komunikasi. Hanya saja, beberapa pemimpin
tersebut justru sering kali menggunakan media sosial untuk membangun citra.
Pernyataan
atau informasi yang disampaikan tidak terkait dengan urusan pemerintah tetapi
lebih dominan urusan politik dan
persoalan pribadi yang akhirnya berdampak pada pencitraan diri –bukan citra
lembaga pemerintahan yang dipimpinnya. Menjelekkan anak buah, menyerang
institusi atau lembaga lain, dan bahkan menyerang lembaga pemerintahan yang
dipimpinnya bisa dilakukan demi popularitas. Muncul kesan, bisa menhalalkan
segala cara demi meningkatkan citra
diri.
Kalau
tujuannya untuk meningkatkan citra, popularitas, dan elektabilitas, gaya
komunikasi seperti ini tentu sangat pas dan akan berhasil. Tetapi, dalam
konteks komunikasi pemerintahan, komunikasi seperti tidak tepat. Gaya seperti
itu lebih cocok sebagai komunikasi yang dibangun oleh politisi atau tokoh
politik karena tujuan akhirnya adalah kekuasaan.
Prof
Dr Erliana Hasan, pakar komunikasi pemerintahan, mengatakan, komunikasi
pemerintahan adalah penyampaian ide, program, dan gagasan pemerintah kepada
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara. Artinya, pemimpin pemerintahan
harus membangun komunikasi dengan tujuan akhir adalah tercapainya tujuan
pemerintah/Negara, yakni kesejahteraan rakyat. Apabila rakyat sejahtera pada
era kepemimpinannya, maka dengan sendirinya mereka akan memilih pemimpin itu
lagi. (pro)