![]() |
Tari Salam Sarane yang memadukan Islam-Kristen di Tanah Maluku (Foto: Suprapto) |
SAAT melintasi sebuah kawasan selepas Jembatan Merah
Putih (JMP), kawan yang menemani saya dari Bandara Pattimura menuju Kota Ambon
menjelaskan bahwa kami tengah melintas Batu Merah. Saat itu juga, saya
tiba-tiba ingat peristiwa 17 tahun lalu: konflik SARA yang meluluhlantakan
Ambon manise. Batu Merah tahun 1999 tiba-tiba menjadi nama yang sangat dikenal
dan sering muncul dalam pemberitaan sebagai ‘basis’ kaum Muslimin.
Tak begitu lama kemudian, kami melintasi sebuah
jembatan dan mulai masuk kawasan Mardika. Jembatan ini saat terjadi konflik tahun
1999 sekaligus sebagai pembatas antara kelompok Muslim dan Kristen. Mardika saat itu dianggap sebagai permukiman yang
sebagian besar penduduknya Bergama Kristen. Di sekitar tempat ini sekarang masih
terdapat pos keamanan yang dijaga tentara anggota Batalion Infantri 527 TNI AD
lengkap dengan senjata.
Tetapi, cerita kelabu masa lalu itu semua itu kini
hanya jadi kenangan yang menurut saya tak perlu lagi diingat. Dan warga Ambon
sendiri sepertinya tak berminat untuk bercerita kenangan buruk itu karena memang
sangat tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Bisa jadi di belahan dunia sana, Kristen-Islam
sering dijadikan alat untuk bertikai. Tapi di Ambon, Kristen, Islam, Hindu,
Budha, atau agama dan kepercayaan lain justru menjadi sebuah kekuatan dan
kelebihan. Hanya di Ambon lah kini terdapat Islam Center, Protestan Center,
Katolik Center, dan belum lama juga baru diresmikan Hindu dan Budha Center.
Sebelum konflik sosial terjadi 1999, orang Maluku
menyebut mereka itu bersaudara. Orang
Kristen biasa ikut membangun masjid. Begitu juga orang Islam sangat biasa ikut
membangun gereja. Bahkan ada salah satu gereja yang di tiangnya terdapat
tulisan kaum Muslimin sebagai bukti mereka ikut membangunnya, kata Barce, salah
seorang wartawati Kota Ambon.
![]() |
Tari Salam Sarane yang memadukan Islam-Kristen di Tanah Maluku (Foto:Suprapto) |
Dalam pengamatan penulis, di sepanjang perjalanan
dari Bandara sampai hotel di pusat Kota Ambon, bangunan gereja dan masjid
memang banyak yang saling berdekatan. Kehidupan warga Muslim dan Kristen pun
berbaur tak ada pembatas. Calon-calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
selalu mempertimbangkan keseimbangan Kristen-Islam. Jika calon wali kota dari
Kristen, maka calon wakil wali kotanya hampir pasti dari Islam.
Kesepakatan tak tertulis itu ‘hidup’ di tengah
masyarakat. Tidak hanya dalam dunia politik dan sosial, tetapi juga dalam
kebudayaan dan kesenian. Banyak kesenian di Maluku (Ambon termasuk di
dalamnya), yang mencerminkan persaudaraan warga Ambon. Ambon Basudara, mereka
punya slogan.
Rabu (7/9/2016) malam, ketika saya menghadiri jamuan
makan malam di rumah dinas Gubernur Maluku Ir Said Assagaff, salah satu
kesenian pembukanya adalah Tarian Salam Sarane. Ini adalah tarian yang
memadukan kesenian bernuansa Islam dan Kristen. Para penari Islam berpakaian
Muslim, tentu lengkap dengan kerudung. Para penari Kristen berpakaian kebaya
putih dan membawa sapu tangan. Alat musik yang mengiringi pun perpaduan Salam
(Islam) dan Sarane (Nasrani). Ada tifa, suling, kenong, dan rebana.
“Tarian ini adalah bukti bahwa Islam dan Nasrani
bagi masyarakat Maluku sudah hidup berdampingan dan basudara. Sekarang kesenian-kesenian seperti itu terus saya
kembangkan sebagai sarana perekat dan menghadapi kemungkinan adanya kelompok
tertentu yang tidak senang dengan kedamaian di Maluku,” kata Said Assagaff.
Keberagaman yang Indah
Sehari kemudian, saat pembukaan Pesta Teluk Ambon
2016 sekaligus launching peringatan
Hari Pers Nasional (HPN) 2017, salah satu tarian yang ditampilkan adalah Tari
Lenso yang penarinya juga terdiri atas dua kelompok wanita, yaitu mereka yang
berkerudung dan berkebaya putih dengan membawa sapu tangan.
Tari-tari lain yang
ditampilkan hampir semuanya mencerminkan sebuah keberagaman yang terjadi di
masyarakat Maluku. Ada tari yang berasal dari Portugis, ada kesenian yang khas
Maluku, dan ada pula yang hasil akulturasi.
Gubernur Maluku Ir Said Assagaff saat membuka Pesta
Teluk Ambon 2016 mengajak masyarakat Maluku untuk selalu bersyukur atas kekayaan
alam dan budaya Maluku yang sangat eksotik.
Event Pesta Teluk Ambon telah menjadi agenda
pariwisata tahunan Pemprov Maluku dalam rangka memperingati Hari Pariwisata Dunia (World Tourism Day), yang ditetapkan
oleh World Tourism Organization dan diperingati setiap tanggal 27 September.
![]() | ||
Gubernur Maluku Said Assagaf dan Ketua Dewan Penasehat PWI Tarman Azzam (Alm) | membuka Launching HPN 2017 |
Biasanya Pesta Teluk Ambon dilaksanakan setelah peringatan Hari
Pariwisata Dunia yaitu pada tanggal 28 s/d 30 September. Akan tetapi tahun ini
pelaksanaannya dimajukan dalam rangka
menyemarakan HUT GPM ke-81 pada 6
September, HUT ke-441 Kota Ambon pada 7
September, sekaligus launching Hari
Pers Nasional (HPN) 2017.
![]() |
Pesta Teluk Ambon 2016 (Foto: Suprapto) |
Eksotisme bahari Indonesia timur memang tak habis
dijelajah. Birunya laut dan putihnya pasir pantai seakan menjadi magnet
tersendiri untuk mengundang Anda kembali menikmati panorama bumi Tanah Air Beta.
Pesta Teluk Ambon dipusatkan di pinggir Teluk Ambon
dengan pemandangan yang sangat indah. Nun Jauh di seberang teluk itu terdapat
bukit-bukit menghijau. Di sebelah kanan membentang panjang Jembatan Merah Putih
yang tahun ini baru diresmikan. Di Teluk Ambon sendiri lalu lalang kapal-kapal,
termasuk perahu-perahu masyarakat yang akan mengikuti lomba.
Acara itu dimaksudkan untuk menarik minat pelancong
berkunjung baik domestik maupun internasional di samping menumbuhkan investasi
dan perluasan bisnis pariwisata. Pesta Teluk Ambon juga dipercaya mampu
mempererat tali persaudaraan dan nasionalisme baik bagi warga Maluku sendiri
dan seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan informasi Humas Pemprov Maluku, nama pesta
Teluk Ambon mencerminkan dua hal yang sangat khas untuk Maluku.
Pertama.
Teluk Ambon memiliki keindahan yang sangat menakjubkan, sekaligus menjadi pusat
transportasi dan perdagangan provinsi Maluku yang dikenal sejak zaman kolonial hingga dewasa
ini.
Di Teluk Ambon yang indah ini, kita selalu menyaksikan pelbagai perahu dan
kapal yang datang dan pergi sebagai pertanda bahwa teluk ini adalah urat nadi
kehidupan kita. Apalagi di Teluk Ambon kini
terpancang Jembatan Merah Putih, yang
menghubungkan Jazirah Leitimur dan Jazirah Leihitu, sebagai icon teluk, baik untuk mempermudah akses transportasi, maupun menambah
keindahan teluk ini.
Kedua. Teluk
Ambon ini memiliki nilai historis serta sosial kultural yang sangat kaya. Jika diperhatikan
secara baik, teluk ini berada di tengah antara wilayah adat Leihitu dan Leitimur,
yang dapat dimaknai sebagai penghubung atau pertalian antara masyarakat Leihitu
dan Leitimur, sekaligus menjadi sumber kehidupan untuk semua orang basudara di
daerah ini.
Pada aspek yang lain, keberadaan teluk Ambon sebagai
pusat transportasi dan dagang, telah menjadi media perjumpaan dan akulturasi
pelbagai budaya. Baik antara masyarakat indigeneous
people (masyarakat asli) dengan pendatang, maupun masyarakat pendatang
dengan masyarakat pendatang. Sehingga Maluku secara umum dan Ambon secara
khusus sejak awal pembentukannya sudah menjadi kota yang kosmopolitan.
Karena lahir dari Dadomi dan Tali Pusa Multikultural.
Menurut Said, sejak menjadi pusat rempah-rempah yaitu
Cengkeh dan Pala, Maluku, khususnya Ambon menjadi tempat perjumpaan pelbagai
saudagar, baik dari Nusantara, maupun dari mancanegara, terutama Arab, China, Persia, Gujarat, India, dan
Eropa. Semuanya datang ke negeri datuk-datuk ini melalui jalur sutera (silk road) dan jalur rempah (spice route).
Maka tak mengherankan sejak awal, Maluku, khususnya
kota Ambon selain menjadi Baeleo untuk
masyarakat Siwalima, tetapi juga
menjadi Baeleo Nusantara untuk
pelbagai suku bangsa di Nusantara, serta Baeleo
dunia untuk pelbagai bangsa yang datang dari belahan bumi ini.
Fakta Maluku, khususnya
Ambon telah menjadi Baeleo bersama Orang
Basudara itu dapat dilihat dari beragam fam atau marga di daerah ini,
misalnya, dari Sulawesi Selatan menggunakan fam Bugis atau Makassar, dari
Sulawesi Tenggara menggunakan inisial La
atau Wa, dari Sumatera, pake fam Padang,
Palembang. Dari Arab ada yang pakai fam Assagaf, Al-Idrus, Basalamah, Attamimi,
dll.
Dari Belanda ada yang pakai fam Van
Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie,
Payer, dll. Dari Portugis ada yang pakai fam Da Costa, De Fretes, De
Lima, Fareire, dll. Dari China ada yang pakai fam, Lie, Khouw, dll. Kemudian,
kita juga bisa temukan beragam agama di sini, ada Salam (Islam), ada Sarane
(Protestan dan Katolik), ada Hindu, ada Budha, dengan agama-agama suku, yang
dianut katong pung basudara daru suku Naulu dan Hualu.
Hal yang menarik, dari hasil
akulturasi itu muncul pelbagai seni budaya yang sangat kaya dengan nilai-nilai
multikultural. Menurut Said, akulturasi budaya lokal dengan Islam atau
Arab, seperi Abda’u di Tulehu, Pukul Sapu di Mamala-Morela, Tarian Sawat.
Akulturasi budaya lokal dengan Arab dan Melayu seperti tarian Dana-Dana. Serta akulturasi budaya lokal
dengan Barat, seperti Tari Katreji, musik
Hawaian, tarian Oralapei, Dansa Ola-Ola, dan tarian Cakaiba.
Hal yang menarik, walaupun ada
keragaman seni budaya serperti itu, tetapi ada juga seni budaya yang menyatukan
keragaman Orang Basudara di daerah ini, antara lain tari Cakalele, budaya Makan Patita, Bambu Gila, dll. Semua kekayaan seni budaya yang lahir dari perjumpaan
di Teluk Ambon ini merupakan potensi wisata budaya yang sangat kaya.
Dengan kondisi seperti itu, rasanya
tak percaya konflik sosial tahun 1999 bisa terjadi di Ambon. Tanpa perlu
diajari soal saling menghormati suku, agama, dan adat istiadat yang berbeda, Masyarakat
di sana sudah menjalaninya sebagai sebuah hal yang biasa dalam hidup mereka
sehari-hari. Perbedaan agama bukan menjadi sebuah kelemahan, tetapi justru
sebuah kekuatan. Di Ambon, kita benar-benar merasakan keberagaman Indonesia
adalah sebuah keindahan. (pro)