Rangkaian Kereta Commuter Line di Stasiun Duri, Jakarta Barat. Foto: Suprapto |
SAYA memang warga Jakarta dan
bertahun-tahun tinggal di kota ini. Tapi, jujur saya akui tidak semua
perkembangan di Ibu Kota ini saya ikuti secara langsung. Peristiwa pada Kamis (11/9/2014) malam menunjukkan itu.
Saat itu, saya melaksanakan niat yang sudah
tertanam sejak beberapa hari lalu yaitu pulang kerja naik kereta. Terpaksalah
Chinelli --sepeda hitam manis yang paginya saya gowes—ditinggal di kantor.
Sepeda dirantai ke pagar besi di lokasi parkir, maklum masih trauma kejadian
beberapa waktu lalu ketika si putih Heist 4.0 yang sudah menjelajah sampai Nusa
Tenggara Timur hilang di lokasi yang sama.
Sekitar pukul 19:30, selepas salat Isya,
saya berkemas. Kepada rekan sekantor yang selama ini dijuluki sebagai sesepuh
anker (anak kereta), Bang Apr, saya menyampaikan permohonan untuk pulang
bersama. Selain membutuhkan teman, saat itu saya butuh ‘bimbingan’ dari sang
senior. Dan ternyata pilihan itu tidak salah. Julukan sesepuh kereta memang
sangat tepat.
Begitu sampai di Stasiun KA Palmerah, saya
langsung ditunjukkan cara membeli tiket/karcis yang sekarang sistem dan bentuk
fisik, serta pelayannya ternyata sudah berubah. Dulu ketika saya kecil dan
sering naik spur, karcis kereta itu
seukuran kartu domino/gaple. Warnanya hijau. Ketika ada orang beli, di karcis
itu baru dicetak stasiun tujuan. Dalam perkembangannya, karcis mirip kartu
gaple itu diganti kertas selembar sukuran kuitansi yang dicetak menggunakan
printer. Di tiket itu juga tertulis stasiun tujuan akhir penumpang.
Tiket elektronik Commuter Line. Foto:Suprapto |
Karcis model kartu gaple dan kertas
selembar itu sama-sama harus ditunjukkan kepada petugas jaga di pintu masuk
stasiun sebelum penumpang masuk peron, tempat menunggu kereta. Di dalam kereta,
akan ada kondektur mondar mandir dari satu gerbong ke gerbong lainnya untuk
memeriksa karcis penumpang. Mereka membawa alat mirip tang/catut atau pelubang
kertas. Karcis yang sudah diperiksa, diberi lubanga atau digunting. Penumpang
yang tak punya karcis biasanya langsung kasih uang. Bisa jadi dari situ lah
muncul istilah tukang catut.
Tapi, Kamis malam semuanya menjadi masa lalu. Kepada petugas loket ketika saya
jelaskan akan beli karcis kereta untuk tujuan ke Stasiun Rawabuaya, Jakarta
Barat, dia tak lagi mencetak karcis. Saya kasih uang Rp 10.000 dan dikembalikan
Rp 3.000 plus tiket KA berwarna putih, mirip kartu ATM. Inilah yang dinamakan
tiket elektronik –salah satu hasil perbaikan sistem perkeretapian yang
dilakukan Dirut PT KAI Ignatuis Jonan.
Untuk bisa masuk ke stasiun, cukup tempelkan tiket elektronik atau
e-ticket ini ke pintu otomatis –mirip pintu masuk ke tempat rekreasi Ancol.
Sangat praktis dan tak butuh banyak petugas untuk memeriksanya. Untuk keluar
stasiun, juga cukup tempelkan e-ticket dan semua beres.
Di dalam stasiun, petugas PT KAI secara
rutin mengumumkan sejumlah kereta yang akan melintasi stasiun tersebut. Saya diajak oleh Bang Apr untuk menyeberang,
menuju ke sisi timur atau spur dua. Di spur dua inilah tempat kereta melintas
menuju ke Tanahabang, stasiun transit pertama yang akan saya dan Bang Apr tuju.
Selama menunggu kereta, Bang Apr bercerita banyak tentang dunia perkeretapian,
khususnya tempat stasiun transit yang harus saya lewati. Pertama transit di
Stasiun Tanahabang. Kemudian naik kereta tujuan ke Stasiun Duri. Di Stasiun
Duri naik lagi kereta tujuan Tangerang dan turun di Stasiun Rawabuaya.
Peta Commuter Line Jabodetabek. Foto: Suprapto |
Tertinggal Kereta
Di Stasiun Tanahabang kami berpisah. Bang
Apr naik kereta ke Bogor, sedangkan saya menunggu kereta tujuan Duri. Tapi,
sebelum dia naik kereta terlebih dahulu berpesan bahwa kereta tujuan Duri
sebentar lagi akan tiba. Waktu menunjukkan pukul 20.15-an. Tak begitu lama
setelah kereta Bogor di jalur tiga tiba, datanglah kereta lain di jalur dua,
tempat saya menunggu. Saya dengar petugas KA mengumumkan bahwa kereta di jalur
dua tujuan Stasiun Jatinegara. Semula saya akan naik, tapi kemudian membatalkan
diri karena saya tak yakin. Dalam hati,
jika dari Stasiun Tanahabang maka letak Stasiun Jatinegara adanya di sebelah
selatan timur, sedangkan stasiun Duri terletak di sebelah barat/utara. Karena
itu tak mungkin kereta yang disebutkan tujuan ke Jatinegara akan lewat Duri.
Ternyata, logika saya salah. Setelah kereta
tersebut berangkat dan saya tanya ke beberapa penumpang, kereta ke Jatinegara
itu memang melewati Duri. Saya belum yakin dan mencoba cari tahu lagi.
Sampailah mendapatkan gambar diagram perjalan kereta Commuter Line Jabodetabek.
Ternyata, ada kereta yang memang berputar atau pulang balik di dalam kota,
melayani beberapa stasiun termasuk di antaranya ya Stasiun Duri serta
Jatinegara. Karena tertinggal kereta,
maka saya harus menunggu kereta berikutnya sekitar 15 menit kemudian.
Peristiwa itu membuat saya tersadar bahwa
terkadang logika ini memiliki keterbatasan dan sering kali membuat kita keliru mengambil keputusan. Di samping
itu, perkembangan kota yang begitu cepat ternyata tidak bisa hanya kita ikuti
melalui pemberitaan, dari belakang meja semata. Turun ke lapangan, menyaksikan
dan mencoba secara langsung ternyata memberikan informasi yang jauh lebih besar
dan bermanfaat.
Dan yang jelas, perjalanan kereta malam itu
meski membuat saya tiba di rumah lebih lambat dibandingkan menggowes, tetaplah
pengalaman yang menyenangkan. Rasanya
tak berlebihan kita memberikan apresiasi kepada Dirut PT KAI Ignatius Jonan dan
para stakeholder kereta api yang sudah melakukan perubahan. Mudah-mudahan
perubahan tak berhenti demi pelayanan kepada warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar